Popular Posts

irfblogBacklink






Rating for erosisland.blogspot.com

My Ping in TotalPing.com

desain 1

Lawan rasa takut dan jalin silaturahmi dengan sesama rekan alumni.

desain 2

Lawan rasa takut dan jalin silaturahmi dengan sesama rekan alumni.

desain 3

Lawan rasa takut dan jalin silaturahmi dengan sesama rekan alumni.

desain 4

Lawan rasa takut dan jalin silaturahmi dengan sesama rekan alumni.

desain 5

Lawan rasa takut dan jalin silaturahmi dengan sesama rekan alumni.

Tampilkan postingan dengan label News. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label News. Tampilkan semua postingan

Rabu, 13 Februari 2013

UNDANG-UNDANG TENTANG NARKOTIKA (bag III)

Lanjutan Undang-Undang Tentang Narkotika (bag II) >>>

Pasal 55

Ayat (1)


Ketentuan ini menegaskan bahwa untuk membantu Pemerintah dalam menanggulangi masalah dan bahaya penyalahgunaan Narkotika, khususnya untuk pecandu Narkotika, maka diperlukan keikutsertaan orang tua/wali, masyarakat, guna meningkatkan tanggung jawab
pengawasan dan bimbingan terhadap anak-anaknya. Yang dimaksud dengan “belum cukup umur” dalam ketentuan ini adalah seseorang yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun.

Ayat (2)


Cukup jelas.

Ayat (3)


Cukup jelas.

Pasal 56

Ayat (1)


Ketentuan ini menegaskan bahwa rehabilitasi bagi Pecandu Narkotika dilakukan dengan maksud untuk memulihkan dan/atau mengembangkan kemampuan fisik, mental, dan sosial penderita yang bersangkutan.

Ayat (2)


Yang dimaksud dengan “instansi pemerintah” misalnya Lembaga Pemasyarakatan Narkotika dan Pemerintah Daerah. Ketentuan ini menegaskan bahwa untuk rehabilitasi medis bagi Pecandu Narkotika pengguna jarum suntik dapat diberikan serangkaian terapi untuk mencegah penularan antara lain penularan HIV/AIDS melalui jarum suntik dengan pengawasan ketat Departemen Kesehatan.

Pasal 57


Cukup jelas.

Pasal 58


Rehabilitasi sosial dalam ketentuan ini termasuk melalui pendekatan keagamaan, tradisional, dan pendekatan alternatif lainnya. Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “mantan Pecandu Narkotika” adalah orang yang telah sembuh dari ketergantungan terhadap Narkotika secara fisik dan psikis. Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “lembaga rehabilitasi

sosial” adalah lembaga rehabilitasi sosial yang diselenggarakan baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat.

Pasal 59


Cukup jelas.

Pasal 60

Ayat (1)


Cukup jelas.

Ayat (2)

Huruf a


Cukup jelas.

Huruf b


Cukup jelas.

Huruf c


Ketentuan ini tidak mengurangi upaya pencegahan melalui kegiatan ekstrakurikuler pada perguruan tinggi.

Huruf d


Cukup jelas.

Huruf e


Yang dimaksud dengan “kemampuan lembaga” dalam ketentuan ini misalnya memberikan penguatan, dorongan, atau fasilitasi agar lembaga rehabilitasi medis terjaga keberlangsungannya.

Pasal 61


Cukup jelas.

Pasal 62


Cukup jelas.

Pasal 63


Ketentuan ini menegaskan bahwa kerja sama internasional meliputi juga kerja sama dalam rangka pencegahan dan pemberantasan kejahatan Narkotika transnasional yang terorganisasi.

Pasal 64

Ayat (1)


Ketentuan ini menegaskan bahwa dengan dibentuknya Badan Narkotika Nasional yang bertanggung jawab langsung kepada yang mempunyai tugas dan fungsi koordinasi dan operasional dalam pengelolaan Narkotika dan Prekursor Narkotika, pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, diharapkan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika dapat

dicegah dan diberantas sampai ke akar-akarnya.

Ayat (2)


Cukup jelas.

Pasal 65


Cukup jelas.

Pasal 66


Cukup jelas.

Pasal 67


Cukup jelas.

Pasal 68


Cukup jelas.

Pasal 69


Cukup jelas.

Pasal 70

Huruf a


Cukup jelas.

Huruf b


Cukup jelas

Huruf c


Yang dimaksud “berkoordinasi dengan Kepala Kepolisian Negara ” dalam ketentuan ini adalah

tidak mengurangi kemandirian dalam menentukan kebijakan dan melaksanakan tugas dan wewenang BNN.

Huruf d


Cukup jelas.

Huruf e


Cukup jelas.

Huruf f


Cukup jelas.

Huruf g


Cukup jelas.

Huruf h


Cukup jelas.

Huruf i


Cukup jelas.

Huruf j


Cukup jelas.

Pasal 71


Cukup jelas.

Pasal 72


Cukup jelas.

Pasal 73


Cukup jelas.

Pasal 74

Ayat (1)


Ketentuan ini menegaskan bahwa jika terdapat perkara lain yang oleh undang-undang juga ditentukan untuk didahulukan, maka penentuan prioritas diserahkan kepada pengadilan. Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “penyelesaian secepatnya” adalah mulai dari pemeriksaan, pengambilan putusan, sampai dengan pelaksanaan putusan atau eksekusi.

Ayat (2)


Cukup jelas.

Pasal 75

Huruf a


Cukup jelas.

Huruf b


Cukup jelas.

Huruf c


Cukup jelas.

Huruf d


Cukup jelas.

Huruf e


Cukup jelas.

Huruf f


Cukup jelas.

Huruf g


Cukup jelas.

Huruf h


Yang dimaksud dengan ”interdiksi” adalah mengejar dan/atau menghentikan seseorang/kelompok orang, kapal, pesawat terbang, atau kendaraan yang diduga membawa

Narkotika dan Prekursor Narkotika, untuk ditangkap tersangkanya dan disita barang buktinya.

Huruf i


Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “penyadapan” adalah kegiatan atau serangkaian kegiatan penyelidikan dan/atau penyidikan yang dilakukan oleh penyidik BNN atau Penyidik Kepolisian Negara dengan cara menggunakan alat-alat elektronik sesuai dengan kemajuan teknologi terhadap pembicaraan dan/atau pengiriman pesan melalui telepon atau alat komunikasi elektronik lainnya. Termasuk di dalam penyadapan adalah pemantauan

elektronik dengan cara antara lain:

  • a. pemasangan transmitter di ruangan/kamar sasaran untuk mendengar/merekam semua pembicaraan (bugging);
  • b. pemasangan transmitter pada mobil/orang/barang yang bisa dilacak keberadaanya (bird dog);
  • c. intersepsi internet;
  • d. cloning pager, pelayan layanan singkat (SMS), dan fax;
  • e. CCTV (Close Circuit Television);
  • f. pelacak lokasi tersangka (direction finder). Perluasan pengertian penyadapan dimaksudkan untuk mengantisipasi perkembangan teknologi informasi yang digunakan oleh para pelaku tindak pidana Narkotika dan tindak pidana Prekursor Narkotika dalam mengembangkan jaringannya baik nasional maupun internasional karena perkembangan teknologi berpotensi dimanfaatkan oleh pelaku kriminal yang sangat menguntungkan mereka. Untuk melumpuhkan/memberantas jaringan/sindikat Narkotika dan Prekursor Narkotika maka sistem komunikasi/telekomunikasi mereka harus bisa ditembus oleh penyidik, termasuk melacak keberadaan jaringan tersebut.

Huruf j


Cukup jelas.

Huruf k


Cukup jelas.

Huruf l


Tes urine, tes darah, tes rambut, dan tes bagian tubuh lainnya dilakukan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk membuktikan ada tidaknya Narkotika di dalam tubuh satu orang atau beberapa orang, dan tes asam dioksiribonukleat (DNA) untuk identifikasi korban, pecandu, dan tersangka.

Huruf m


Cukup jelas.

Huruf n


Yang dimaksud dengan ”pemindaian” dalam ketentuan ini adalah scanning baik yang dapat dibawa-bawa (portable) maupun stationere.

Huruf o


Cukup jelas.

Huruf p


Cukup jelas.

Huruf q


Cukup jelas.

Huruf r


Cukup jelas.

Huruf s


Cukup jelas.

Pasal 76


Cukup jelas.

Pasal 77


Cukup jelas.

Pasal 78


Cukup jelas.

Pasal 79


Cukup jelas.

Pasal 80


Cukup jelas.

Pasal 81


Cukup jelas.

Pasal 82

Ayat (1)


Cukup jelas.

Ayat (2)


Yang dimaksud dengan “kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Narkotika dan Prekursor Narkotika” adalah Kementerian Kesehatan, Kementerian Keuangan dalam hal ini Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dan Badan Pengawas Obat dan Makanan. Kewenangan penyidik pegawai negeri sipil kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian tersebut sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing yang dalam pelaksanaannya tetap memperhatikan fungsi koordinasi

sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 83


Cukup jelas.

Pasal 84


Cukup jelas.

Pasal 85


Cukup jelas.

Pasal 86


Cukup jelas.

Pasal 87


Cukup jelas.

Pasal 88


Cukup jelas.

Pasal 89


Cukup jelas.

Pasal 90


Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “laboratorium tertentu” adalah laboratorium yang sudah terakreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 91


Cukup jelas.

Pasal 92

Ayat (1)


Ketentuan ini menegaskan bahwa tanaman Narkotika yang dimaksud pada ayat ini tidak hanya yang ditemukan di ladang juga yang ditemukan di tempat-tempat lain atau tempat tertentu yang ditanami Narkotika, termasuk tanaman Narkotika dalam bentuk lainnya yang ditemukan dalam waktu bersamaan ditempat tersebut. Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “sebagian kecil” adalah dalam jumlah yang wajar dari tanaman Narkotika untuk digunakan sebagai barang bukti dalam penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan.

Ayat (2)


Ketentuan ini menegaskan bahwa jangka waktu 14 (empat belas) hari dimaksudkan agar penyidik Kepolisian Negara yang bertugas di daerah yang letak geografisnya dan transportasinya sulit dicapai dapat melaksanakan tugas pemusnahan Narkotika yang ditemukan dengan sebaik-baiknya karena pelanggaran terhadap jangka waktu ini dapat dikenakan pidana.

Ayat (3)

Huruf a


Cukup jelas.

Huruf b


Cukup jelas.

Huruf c


Cukup jelas.

Huruf d


Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “pejabat yang menyaksikan pemusnahan” adalah pejabat yang mewakili unsur kejaksaan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan. Dalam hal kondisi tempat tanaman Narkotika ditemukan tidak memungkinkan untuk menghadirkan unsur pejabat tersebut maka pemusnahan disaksikan oleh pihak lain yaitu pejabat atau anggota masyarakat setempat.

Ayat (4)


Cukup jelas.

Ayat (5)


Ketentuan ini dimaksudkan untuk kepentingan identifikasi jenis, isi dan kadar Narkotika (drugs profiling).

Ayat (6)


Cukup jelas.

Pasal 93


Cukup jelas.

Pasal 94


Cukup jelas.

Pasal 95


Cukup jelas.

Pasal 96


Cukup jelas.

Pasal 97


Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “seluruh harta kekayaan dan harta benda” adalah seluruh kekayaan yang dimiliki, baik benda bergerak maupun tidak bergerak, yang berwujud maupun tidak berwujud, yang ada dalam penguasaannya atau yang ada dalam penguasaan pihak lain (isteri atau suami, anak dan setiap orang atau badan), yang diperoleh atau diduga diperoleh dari tindak pidana Narkotika yang dilakukan oleh tersangka atau terdakwa.

Pasal 98


Berdasarkan ketentuan ini Hakim bebas untuk melaksanakan kewenangannya meminta terdakwa untuk membuktikan bahwa seluruh harta bendanya dan harta benda isteri atau suami, anak dan setiap orang atau badan bukan berasal dari tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika.

Pasal 99


Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan perlindungan terhadap keselamatan pelapor yang memberikan keterangan mengenai suatu tindak pidana Narkotika, agar nama dan alamat

pelapor tidak diketahui oleh tersangka, terdakwa, atau jaringannya pada tingkat pemeriksaan di sidang pengadilan.

Pasal 100

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “keluarganya” adalah orang yang mempunyai hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah dan garis menyamping sampai derajat kesatu.

Ayat (2)


Cukup jelas.

Pasal 101

Ayat (1)


Ketentuan ini menegaskan bahwa dalam menetapkan Narkotika dan Prekursor Narkotika yang dirampas untuk negara, hakim memperhatikan ketetapan dalam proses penyidikan tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika. Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “hasilnya” adalah baik yang berupa uang atau benda lain yang diketahui atau diduga keras diperoleh dari tindak pidana Narkotika.

Ayat (2)


Cukup jelas.

Ayat (3)


Perampasan harta dan kekayaan atau aset hasil tindak pidana pencucian uang berdasarkan putusan pengadilan yang tetap, dirampas untuk negara dan dapat digunakan untuk biaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika serta untuk pembayaran premi bagi anggota masyarakat yang telah berjasa mengungkap adanya tindak pidana Narkotika dan tindak pidana Prekursor Narkotika. Dengan demikian masyarakat dirangsang untuk berpartisipasi aktif dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika. Disamping itu harta dan kekayaan atau aset yang disita negara tersebut dapat pula digunakan

untuk membiayai rehabilitasi medis dan sosial para korban penyalahguna Narkotika dan Prekursor Narkotika. Proses penyidikan harta dan kekayaan atau aset hasil tindak pidana pencucian uang dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003.

Ayat (4)


Cukup jelas.

Pasal 102


Cukup jelas.

Pasal 103

Ayat (1)

Huruf a


Ketentuan ini menegaskan bahwa penggunaan kata memutuskan bagi Pecandu Narkotika yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika mengandung pengertian bahwa putusan hakim tersebut merupakan vonis (hukuman) bagi Pecandu Narkotika yang ber - sangkutan.

Huruf b


Ketentuan ini menegaskan bahwa penggunaan kata menetapkan bagi Pecandu Narkotika yang tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika mengandung pengertian bahwa penetapan hakim tersebut bukan merupakan vonis (hukuman) bagi Pecandu Narkotika yang bersangkutan. Penetapan tersebut dimaksudkan untuk memberikan suatu penekanan bahwa Pecandu Narkotika tersebut walaupun tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika, tetapi tetap wajib menjalani pengobatan dan perawatan. Biaya pengobatan dan atau perawatan bagi Pecandu Narkotika yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika sepenuhnya menjadi beban dan tanggung jawab negara, karena pengobatan dan atau perawatan tersebut merupakan bagian dari masa menjalani hukuman. Sedangkan bagi pecandu Narkotika yang tidak terbukti bersalah biaya pengobatan dan/atau perawatan selama dalam status tahanan tetap menjadi beban negara, kecuali tahanan rumah dan tahanan kota.

Ayat (2)


Cukup jelas.

Pasal 104


Cukup jelas.

Pasal 105


Cukup jelas.

Pasal 106


Cukup jelas.

Pasal 107


Cukup jelas.

Pasal 108


Cukup jelas.

Pasal 109


Ketentuan ini menegaskan bahwa dalam pemberian penghargaan harus tetap memperhatikan jaminan keamanan dan perlindungan terhadap yang diberi penghargaan. Penghargaan diberikan dalam bentuk piagam, tanda jasa, premi, dan/atau bentuk penghargaan lainnya.

Pasal 110


Cukup jelas.

Pasal 111


Cukup jelas.

Pasal 112


Cukup jelas.

Pasal 113


Cukup jelas.

Pasal 114


Cukup jelas.

Pasal 115


Cukup jelas.

Pasal 116

Ayat (1)


Cukup jelas.

Ayat (2)


Yang dimaksud dengan “cacat permanen” dalam ketentuan ini adalah cacat fisik dan/atau cacat mental yang bersifat tetap atau tidak dapat dipulihkan/disembuhkan.

Pasal 117


Cukup jelas.

Pasal 118


Cukup jelas.

Pasal 119


Cukup jelas.

Pasal 120


Cukup jelas.

Pasal 121


Cukup jelas.

Pasal 122


Cukup jelas.

Pasal 123


Cukup jelas.

Pasal 124


Cukup jelas.

Pasal 125


Cukup jelas.

Pasal 126


Cukup jelas.

Pasal 127


Cukup jelas.

Pasal 128


Cukup jelas.

Pasal 129


Cukup jelas.

Pasal 130


Cukup jelas.

Pasal 131


Cukup jelas.

Pasal 132

Ayat (1)


Yang dimaksud dengan ”percobaan” adalah adanya unsurunsur niat, adanya permulaan  pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.

Ayat (2)


Cukup jelas.

Ayat (3)


Cukup jelas.

Pasal 133


Cukup jelas.

Pasal 134


Cukup jelas.

Pasal 135


Cukup jelas.

Pasal 136


Cukup jelas.

Pasal 137


Cukup jelas.

Pasal 138


Cukup jelas.

Pasal 139


Cukup jelas.

Pasal 140


Cukup jelas.

Pasal 141


Cukup jelas.

Pasal 142


Cukup jelas.

Pasal 143


Cukup jelas.

Pasal 144


Cukup jelas.

Pasal 145


Cukup jelas.

Pasal 146


Cukup jelas.

Pasal 147


Cukup jelas.

Pasal 148


Cukup jelas.

Pasal 149


Cukup jelas.

Pasal 150


Cukup jelas.

Pasal 151


Cukup jelas.

Pasal 152


Cukup jelas.

Pasal 153


Cukup jelas.

Pasal 154


Cukup jelas.

Pasal 155


Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA TAHUN 2009 NOMOR 5062

LAMPIRAN I

UNDANG-UNDANG

NOMOR 35 TAHUN 2009

TENTANG NARKOTIKA

DAFTAR NARKOTIKA GOLONGAN I


  1. Tanaman Papaver Somniferum L dan semua bagian-bagiannya termasuk buah dan jeraminya, kecuali bijinya.
  2. Opium mentah, yaitu getah yang membeku sendiri, diperoleh dari buah tanaman Papaver Somniferum L yang hanya mengalami pengolahan sekedar untuk pembungkus dan pengangkutan tanpa memperhatikan kadar morfinnya.
  3. Opium masak terdiri dari : (a). candu, hasil yang diperoleh dari opium mentah melalui suatu rentetan pengolahan khususnya dengan pelarutan, pemanasan dan peragian dengan atau tanpa penambahan bahan-bahan lain, dengan maksud mengubahnya menjadi suatu ekstrak yang cocok untuk pemadatan. (b). jicing, sisa-sisa dari candu setelah dihisap, tanpa memperhatikan apakah candu itu dicampur dengan daun atau bahan lain. (c). jicingko, hasil yang diperoleh dari pengolahan jicing.
  4. Tanaman koka, tanaman dari semua genus Erythroxylon dari keluarga Erythroxylaceae termasuk buah dan bijinya.
  5. Daun koka, daun yang belum atau sudah dikeringkan atau dalam bentuk serbuk dari semua tanaman genus Erythroxylon dari keluarga Erythroxylaceae yang menghasilkan kokain secara langsung atau melalui perubahan kimia.
  6. Kokain mentah, semua hasil-hasil yang diperoleh dari daun koka yang dapat diolah secara langsung untuk mendapatkan kokaina.
  7. Kokaina, metil ester-1-bensoil ekgonina.
  8. Tanaman ganja, semua tanaman genus genus cannabis dan semua bagian dari tanaman termasuk biji, buah, jerami, hasil olahan tanaman ganja atau bagian tanaman ganja termasuk damar ganja dan hasis.
  9. Tetrahydrocannabinol, dan semua isomer serta semua bentuk stereo kimianya.
  10. Delta 9 tetrahydrocannabinol, dan semua bentuk stereo kimianya.
  11. Asetorfina : 3-0-acetiltetrahidro-7a-(1-hidroksi-1-metilbutil)-6, 14-endoeteno-oripavina.
  12. Acetil – alfa – metil fentanil N-[1-(a-metilfenetil)-4-piperidil] asetanilida.
  13. Alfa-metilfentanil
  14. Alfa-metiltiofentanil
  15. Beta-hidroksifentanil
  16. Beta-hidroksi-3-metil-fentanil
  17. Desmorfina
  18. Etorfina
  19. Heroina
  20. Ketobemidona
  21. 3-metilfentanil
  22. 3-metiltiofentanil : N-[1 (a-metilfenetil)-4-piperidil] propionanilida : N-[1-] 1-metil-2-(2-tienil) etil]-4-iperidil] priopionanilida : N-[1-(beta-hidroksifenetil)-4-piperidil] propionanilida : N-[1-(beta-hidroksifenetil)-3-metil-4 piperidil] propio-nanilida. : Dihidrodeoksimorfina : tetrahidro-7a-(1-hidroksi-1-metilbutil)-6, 14-endoeteno-oripavina : Diacetilmorfina : 4-meta-hidroksifenil-1-metil-4propionilpiperidina : N-(3-metil-1-fenetil-4-piperidil) propionanilida : N-[3-metil-1-[2-(2-tienil) etil]-4-piperidil] propionanilida.
  23. MPPP : 1-metil-4-fenil-4-piperidinol propianat (ester)
  24. Para-fluorofentanil : 4‘-fluoro-N-(1-fenetil-4-piperidil) propionanilida
  25. PEPAP : 1-fenetil-4-fenil-4-piperidinolasetat (ester)
  26. Tiofentanil : N-[1-[2-(2-tienil)etil]-4-piperidil] propionanilida
  27. BROLAMFETAMINA, nama lain : (±)-4-bromo-2,5-dimetoksi- a -metilfenetilamina DOB.
  28. DET : 3-[2-( dietilamino )etil] indol
  29. DMA : ( + )-2,5-dimetoksi-a -metilfenetilamina
  30. DMHP : 3-(1 ,2-dimetilheptil)-7 ,8,9, 10-tetrahidro-6,6,9-trimetil-6H-dibenzo[b, d] piran-1-ol.
  31. DMT : 3-[2-( dimetilamino )etil] indol
  32. DOET : (±)-4-etil-2,5-dimetoksi- a –metilfenetilamina
  33. ETISIKLIDINA, nama lain PCE : N-etil-1-fenilsikloheksilamina
  34. ETRIPTAMINA. : 3-(2aminobutil) indole
  35. KATINONA : (-)-(S)- 2-aminopropiofenon
  36. ( + )-LISERGIDA, nama lain : 9,10-didehidro-N, N-dietil-6-metilergolina-8 ß – LSD, LSD-25 karboksamida
  37. MDMA : (±)-N, a -dimetil-3,4-(metilendioksi) fenetilamina
  38. Meskalina : 3,4,5-trimetoksifenetilamina
  39. METKATINONA : 2-(metilamino )-1- fenilpropan-1-on
  40. 4- metilaminoreks : (±)-sis- 2-amino-4-metil- 5- fenil- 2-oksazolina
  41. MMDA : 5-metoksi- a -metil-3,4-(metilendioksi) fenetilamina
  42. N-etil MDA : (±)-N-etil- a -metil-3,4-(metilendioksi) fenetilamin
  43. N-hidroksi MDA : (±)-N-[ a -metil-3,4] (metilendioksi) fenetil]hidroksilamina
  44. Paraheksil : 3-heksil-7,8,9, 10-tetrahidro-6,6, 9-trimetil-6H-dibenzo [b,d] piran-1-ol
  45. PMA : p-metoksi- a -metilfenetilamina
  46. psilosina, psilotsin : 3-[2-( dimetilamino )etil]indol-4-ol
  47. PSILOSIBINA : 3-[2-(dimetilamino)etil]indol-4-il dihidrogen fosfat
  48. ROLISIKLIDINA, nama lain : 1-( 1- fenilsikloheksil)pirolidina PHP,PCPY
  49. STP, DOM : 2,5-dimetoksi-a ,4-dimetilfenetilamina
  50. TENAMFETAMINA, nama lain : a -metil-3,4-(metilendioksi) fenetilamina MDA
  51. TENOSIKLIDINA, nama lain : 1- [1-(2-tienil) sikloheksil]piperidinaTCP
  52. TMA : (±)-3,4,5-trimetoksi- a -metilfenetilamina
  53. AMFETAMINA : (±)-a –metilfenetilamina
  54. DEKSAMFETAMINA : ( + )-a –metilfenetilamina
  55. FENETILINA : 7-[2-[( a -metilfenetil)amino]etil] teofilina
  56. FENMETRAZINA : 3- metil- 2 fenilmorfolin
  57. FENSIKLIDINA, nama lain PCP : 1-( 1- fenilsikloheksil) piperidina
  58. LEVAMFETAMINA, nama lain : (- )-(R)-a -metilfenetilamina levamfetamina
  59. Levometamfetamina : ( -)- N, a -dimetilfenetilamina
  60. MEKLOKUALON : 3-( o-klorofenil)- 2-metil-4(3H)- kuinazolinon
  61. METAMFETAMINA : (+ )-(S)-N, a –dimetilfenetilamina
  62. METAKUALON : 2- metil- 3-o-to lil-4(3H)- kuinazolinon
  63. ZIPEPPROL : a – ( a metoksibenzil)-4-( ß-metoksifenetil )-1piperazinetano
  64. Opium Obat
  65. Campuran atau sediaan opium obat dengan bahan lain bukan narkotika

DAFTAR NARKOTIKA GOLONGAN II

  1. Alfasetilmetadol : Alfa-3-asetoksi-6-dimetil amino-4,4-difenilheptana
  2. Alfameprodina : Alfa-3-etil-1-metil-4-fenil-4-propionoksipiperidina
  3. Alfametadol : alfa-6-dimetilamino-4,4-difenil-3-heptanol
  4. Alfaprodina : alfa-l, 3-dimetil-4-fenil-4-propionoksipiperidina
  5. Alfentanil : N-[1-[2-(4-etil-4,5-dihidro-5-okso-l H-tetrazol-1-il)etil]4-(metoksimetil)-4-pipe ridinil]-N-fenilpropanamida.
  6. Allilprodina : 3-allil-1-metil-4-fenil-4-propionoksipiperidina
  7. Anileridina : Asam 1-para-aminofenetil-4-fenilpiperidina)-4karboksilatetil ester
  8. Asetilmetadol : 3-asetoksi-6-dimetilamino-4, 4-difenilheptana
  9. Benzetidin : asam 1-(2-benziloksietil)-4-fenilpiperidina-4karboksilatetil ester
  10. Benzilmorfina : 3-benzilmorfina
  11. Betameprodina : beta-3-etil-1-metil-4-fenil-4-propionoksipipe ridina
  12. Betametadol : beta-6-dimetilamino-4,4-difenil-3–heptanol
  13. Betaprodina : beta-1,3-dimetil-4-fenil-4-propionoksipipe ridina
  14. Betasetilmetadol : beta-3-asetoksi-6-dimetilamino-4, 4-difenilheptana
  15. Bezitramida : 1-(3-siano-3,3-difenilpropil)-4-(2-okso-3-propionil-1benzimidazolinil)- piperidina.
  16. Dekstromoramida : (+)-4-[2-metil-4-okso-3,3-difenil-4-(1-pirolidinil)butil]morfolina
  17. Diampromida : N-[2-(metilfenetilamino)-propil]propionanilida
  18. Dietiltiambutena : 3-dietilamino-1,1-di(2’-tienil)-1-butena
  19. Difenoksilat : asam 1-(3-siano-3,3-difenilpropil)-4fenilpiperidina-4karboksilatetilester
  20. Difenoksin : asam 1-(3-siano-3,3-difenilpropil)-4-fenilisonipekotik
  21. Dihidromorfina
  22. Dimefheptanol : 6-dimetilamino-4,4-difenil-3-heptanol
  23. Dimenoksadol : 2-dimetilaminoetil-1-etoksi-1,1-difenilasetat
  24. Dimetiltiambutena : 3-dimetilamino-1,1-di-(2′-tienil)-1-butena
  25. Dioksafetil butirat : etil-4-morfolino-2, 2-difenilbutirat
  26. Dipipanona : 4, 4-difenil-6-piperidina-3-heptanona
  27. Drotebanol : 3,4-dimetoksi-17-metilmorfinan-6ß,14-diol
  28. Ekgonina, termasuk ester dan derivatnya yang setara dengan ekgonina dan kokaina.
  29. Etilmetiltiambutena : 3-etilmetilamino-1, 1-di-(2′-tienil)-1-butena
  30. Etokseridina : asam1-[2-(2-hidroksietoksi)-etil]-4fenilpiperidina-4karboksilatetil ester
  31. Etonitazena : 1-dietilaminoetil-2-para-etoksibenzil-5nitrobenzimedazol
  32. Furetidina : asam 1-(2-tetrahidrofurfuriloksietil)4 fenilpiperidina-4karboksilatetil ester)
  33. Hidrokodona : dihidrokodeinona
  34. Hidroksipetidina : asam 4-meta-hidroksifenil-1-metilpiperidina-4-karboksilat etilester
  35. Hidromorfinol : 14-hidroksidihidromorfina
  36. Hidromorfona : dihidrimorfinona
  37. Isometadona : 6-dimetilamino- 5 -metil-4, 4-difenil-3-heksanona
  38. Fenadoksona : 6-morfolino-4, 4-difenil-3-heptanona
  39. Fenampromida : N-(1-metil-2-piperidinoetil)-propionanilida
  40. Fenazosina : 2′-hidroksi-5,9-dimetil- 2-fenetil-6,7-benzomorfan
  41. Fenomorfan : 3-hidroksi-N–fenetilmorfinan
  42. Fenoperidina : asam1-(3-hidroksi-3-fenilpropil)-4-fenilpiperidina-4-karboksilat Etil este
  43. Fentanil : 1-fenetil-4-N-propionilanilinopiperidina
  44. Klonitazena : 2-para-klorbenzil-1-dietilaminoetil-5-nitrobenzimidazol
  45. Kodoksima : dihidrokodeinona-6-karboksimetiloksima
  46. Levofenasilmorfan : (1)-3-hidroksi-N-fenasilmorfinan
  47. Levomoramida : (-)-4-[2-metil-4-okso-3,3-difenil-4-(1pirolidinil)butil] morfolina
  48. Levometorfan : (-)-3-metoksi-N-metilmorfinan
  49. Levorfanol : (-)-3-hidroksi-N-metilmorfinan
  50. Metadona : 6-dimetilamino-4, 4-difenil-3-heptanona
  51. Metadona intermediate : 4-siano-2-dimetilamino-4, 4-difenilbutana
  52. Metazosina : 2′-hidroksi-2,5,9-trimetil-6, 7-benzomorfan
  53. Metildesorfina : 6-metil-delta-6-deoksimorfina
  54. Metildihidromorfina : 6-metildihidromorfina
  55. Metopon : 5-metildihidromorfinona
  56. Mirofina : Miristilbenzilmorfina
  57. Moramida intermediate : asam (2-metil-3-morfolino-1, 1difenilpropana karboksilat
  58. Morferidina : asam 1-(2-morfolinoetil)-4-fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester
  59. Morfina-N-oksida
  60. Morfin metobromida dan turunan morfina nitrogen pentafalent lainnya termasuk bagian turunan morfina-N-oksida, salah satunya kodeina-N-oksida
  61. Morfina
  62. Nikomorfina : 3,6-dinikotinilmorfina
  63. Norasimetadol : (±)-alfa-3-asetoksi-6metilamino-4,4-difenilheptana
  64. Norlevorfanol : (-)-3-hidroksimorfinan
  65. Normetadona : 6-dimetilamino-4,4-difenil-3-heksanona
  66. Normorfina : dimetilmorfina atau N-demetilatedmorfina
  67. Norpipanona : 4,4-difenil-6-piperidino-3-heksanona
  68. Oksikodona : 14-hidroksidihidrokodeinona
  69. Oksimorfona : 14-hidroksidihidromorfinona
  70. Petidina intermediat A : 4-siano-1-metil-4-fenilpiperidina
  71. Petidina intermediat B : asam4-fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester
  72. Petidina intermediat C : Asam1-metil-4-fenilpiperidina-4-karboksilat
  73. Petidina : Asam1-metil-4-fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester
  74. Piminodina : asam 4-fenil-1-( 3-fenilaminopropil)- pipe ridina-4-karboksilat etilester
  75. Piritramida : asam1-(3-siano-3,3-difenilpropil)-4(1-piperidino)-piperdina-4Karbosilat armida.
  76. Proheptasina : 1,3-dimetil-4-fenil-4-propionoksiazasikloheptana
  77. Properidina : asam1-metil-4-fenilpiperidina-4-karboksilat isopropil ester
  78. Rasemetorfan : (±)-3-metoksi-N-metilmorfinan
  79. Rasemoramida : (±)-4-[2-metil-4-okso-3,3-difenil-4-(1-pirolidinil)-butil]-morfolina
  80. Rasemorfan : (±)-3-hidroksi-N-metilmorfinan
  81. Sufentanil : N-[4-(metoksimetil)-1-[2-(2-tienil)-etil-4-piperidil]propionanilida
  82. Tebaina
  83. Tebakon: asetildihidrokodeinona
  84. Tilidina : (±)-etil-trans-2-(dimetilamino)-1-fenil-3-sikloheksena-1karboksilat
  85. Trimeperidina : 1,2,5-trimetil-4-fenil-4-propionoksipiperidina
  86. Garam-garam dari Narkotika dalam golongan tersebut di atas

DAFTAR NARKOTIKA GOLONGAN III

  1. Asetildihidrokodeina
  2. Dekstropropoksifena : a-(+)-4-dimetilamino-1,2-difenil-3-metil-2-butanol propionat
  3. Dihidrokodeina
  4. Etilmorfina : 3-etil morfina
  5. Kodeina : 3-metil morfina
  6. Nikodikodina : 6-nikotinildihidrokodeina
  7. Nikokodina : 6-nikotinilkodeina
  8. Norkodeina : N-demetilkodeina
  9. Polkodina : Morfoliniletilmorfina
  10. Propiram : N-(1-metil-2-piperidinoetil)-N-2-piridilpropionamida
  11. Buprenorfina : 21-siklopropil-7-a-[(S)-1-hidroksi-1,2,2-trimetilpropil]6,14- endo-entano-6,7,8,14-tetrahidrooripavina
  12. Garam-garam dari Narkotika dalam golongan tersebut diatas
  13. Campuran atau sediaan difenoksin dengan bahan lain bukan narkotika
  14. Campuran atau sediaan difenoksilat dengan bahan lain bukan narkotika

ttd

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDOYONO

LAMPIRAN II

UNDANG-UNDANG

NOMOR 35 TAHUN 2009

TENTANG NARKOTIKA

GOLONGAN DAN JENIS PREKURSOR

TABEL I


  1. Acetic Anhydride.
  2. N-Acetylanthranilic Acid.
  3. Ephedrine.
  4. Ergometrine.
  5. Ergotamine.
  6. Isosafrole.
  7. Lysergic Acid.
  8. 3,4-Methylenedioxyphenyl-2-propanone.
  9. Norephedrine.
  10. 1-Phenyl-2-Propanone.
  11. Piperonal.
  12. Potassium Permanganat.
  13. Pseudoephedrine.
  14. Safrole.

TABEL II


  1. Acetone.
  2. Anthranilic Acid.
  3. Ethyl Ether.
  4. Hydrochloric Acid.
  5. Methyl Ethyl Ketone.
  6. Phenylacetic Acid.
  7. Piperidine.
  8. Sulphuric Acid.
  9. Toluene.

ttd

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDOYONO

UNDANG-UNDANG TENTANG NARKOTIKA (bag II)

Lanjutan dari Undang-Undang Tentang Narkotika (bag I)

Pasal 116

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan I terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

(2) Dalam hal penggunaan narkotika terhadap orang lain atau pemberian Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal 117

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal 118

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal 119

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal 120

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal 121

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan II tehadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan II untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).

(2) Dalam hal penggunaan Narkotika terhadap orang lain atau pemberian Narkotika Golongan II untuk digunakan orang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal 122

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan Narkotika Golongan III sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal 123

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan III sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal 124

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan III sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal 125

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan III sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal 126

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan III tehadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan III untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(2) Dalam hal penggunaan Narkotika tehadap orang lain atau pemberian Narkotika Golongan III untuk digunakan orang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal 127

(1) Setiap Penyalah Guna:
(a). Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun; (b). Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan (c). Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.
(2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103.
(3) Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalah Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Pasal 128

(1) Orang tua atau wali dari pecandu yang belum cukup umur, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) yang sengaja tidak melapor, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
(2) Pecandu Narkotika yang belum cukup umur dan telah dilaporkan oleh orang tua atau walinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) tidak dituntut pidana.
(3). Pecandu Narkotika yang telah cukup umur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat 2 yang sedang menjalani rehabilitasi medis 2 (dua) kali masa perawatan dokter di rumah sakit dan/atau lembaga rehabilitasi medis yang ditunjuk oleh pemerintah tidak dituntut pidana.
(4) Rumah sakit dan/atau lembaga rehabilitasi medis sebagaimana dimaksud pada ayat 3 harus memenuhi standar kesehatan yang ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 129

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum:
(a). memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika; (b). memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika; (c). menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika; (d). membawa,mengirim, mengangkut, atau mentransito Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika.

Pasal 130

(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, dan Pasal 129 dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal-Pasal tersebut. (2). Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat 1, korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:
a. pencabutan izin usaha; dan/atau
b. pencabutan status badan hukum.

Pasal 131

Setiap orang yang dengan sengaja tidak melaporkan adanya tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, Pasal 127 ayat (1), Pasal 128 ayat (1), dan Pasal 129 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

Pasal 132

(1). Percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, dan Pasal 129, pelakunya dipidana dengan pidana penjara yang sama sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal-Pasal tersebut. (2). Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, dan Pasal 129 dilakukan secara terorganisasi, pidana penjara dan pidana denda maksimumnya ditambah 1/3 (sepertiga). (3). Pemberatan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku bagi tindak pidana yang diancam dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara 20 (dua puluh) tahun.

Pasal 133

(1). Setiap orang yang menyuruh, memberi atau menjanjikan sesuatu, memberikan kesempatan, menganjurkan, memberikan kemudahan, memaksa dengan ancaman, memaksa dengan kekerasan, melakukan tipu muslihat, atau membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, dan Pasal 129 dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp 20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah). (2). Setiap orang yang menyuruh, memberi atau menjanjikan sesuatu, memberikan kesempatan, menganjurkan, memberikan kemudahan, memaksa dengan ancaman, memaksa dengan kekerasan, melakukan tipu muslihat, atau membujuk anak yang belum cukup umur untuk menggunakan Narkotika, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Pasal 134

(1). Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur dan dengan sengaja tidak melaporkan diri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah).
(2). Keluarga dari Pecandu Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dengan sengaja tidak melaporkan Pecandu Narkotika tersebut dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).

Pasal 135

Pengurus Industri Farmasi yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).

Pasal 136

Narkotika dan Prekursor Narkotika serta hasil-hasil yang diperoleh dari tindak pidana Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika, baik berupa aset dalam bentuk benda bergerak maupun tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud serta barang-barang atau peralatan yang digunakan untuk melakukan tindak pidana Narkotika dan tindak pidana Prekursor Narkotika dirampas untuk negara.

Pasal 137

Setiap orang yang:
(a). menempatkan, membayarkan atau membelanjakan, menitipkan, menukarkan, menyembunyikan ataumenyamarkan, menginvestasikan, menyimpan, menghibahkan, mewariskan, dan/atau mentransfer uang,harta, dan benda atau aset baik dalam bentuk benda bergerak maupun tidak bergerak, berwujud atau tidakberwujud yang berasal dari tindak pidana Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika, dipidanadengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah); (b). menerima penempatan, pembayaran atau pembelanjaan, penitipan, penukaran, penyembunyian atau penyamaran investasi, simpanan atau transfer, hibah, waris, harta atau uang, benda atau aset baik dalam bentuk benda bergerak maupun tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud yang diketahuinya berasal dari tindak pidana Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 138

Setiap orang yang menghalang-halangi atau mempersulit penyidikan serta penuntutan dan pemeriksaan perkara tindak pidana Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika di muka sidang pengadilan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 139

Nakhoda atau kapten penerbang yang secara melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 atau Pasal 28 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 140

(1). Penyidik pegawai negeri sipil yang secara melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 dan Pasal 89 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (2). Penyidik Kepolisian Negara dan penyidik BNN yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87, Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91 ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 92 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 141

Kepala kejaksaan negeri yang secara melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 142

Petugas laboratorium yang memalsukan hasil pengujian atau secara melawan hukum tidak melaksanakan kewajiban melaporkan hasil pengujiannya kepada penyidik atau penuntut umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 143

Saksi yang memberi keterangan tidak benar dalam pemeriksaan perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika di muka sidang pengadilan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Pasal 144

(1). Setiap orang yang dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun melakukan pengulangan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, Pasal 127 ayat (1), Pasal 128 ayat (1), dan Pasal 129 pidana maksimumnya ditambah dengan 1/3 (sepertiga). (2). Ancaman dengan tambahan 1/3 (sepertiga) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi pelaku tindak pidana yang dijatuhi dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara 20 (dua puluh) tahun.

Pasal 145

Setiap orang yang melakukan tindak pidana Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, Pasal 127 ayat (1), Pasal 128 ayat (1), dan Pasal 129 di luar wilayah Negara diberlakukan juga ketentuan Undang-Undang ini.

Pasal 146

(1). Terhadap warga negara asing yang melakukan tindak pidana Narkotika dan/atau tindak pidana PrekursorNarkotika dan telah menjalani pidananya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, dilakukan pengusiran keluar wilayah Negara . (2). Warga negara asing yang telah diusir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang masuk kembali ke wilayah Negara. (3). Warga negara asing yang pernah melakukan tindak pidana Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika di luar negeri, dilarang memasuki wilayah Negara .

Pasal 147

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), bagi: (a). pimpinan rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan, sarana penyimpanan sediaan farmasi milik pemerintah, dan apotek yang mengedarkan Narkotika Golongan II dan III bukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan; (b). pimpinan lembaga ilmu pengetahuan yang menanam, membeli, menyimpan, atau menguasai tanaman Narkotika bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan; (c). pimpinan Industri Farmasi tertentu yang memproduksi Narkotika Golongan I bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan; atau (d). pimpinan pedagang besar farmasi yang mengedarkan Narkotika Golongan I yang bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan atau mengedarkan Narkotika Golongan II dan III bukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan.

Pasal 148

Apabila putusan pidana denda sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini tidak dapat dibayar oleh pelaku tindak pidana Narkotika dan tindak pidana Prekursor Narkotika, pelaku dijatuhi pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun sebagai pengganti pidana denda yang tidak dapat dibayar.

BAB XVI

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 149

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
(a). Badan Narkotika Nasional yang dibentuk berdasarkan Peraturan Nomor 83 Tahun 2007 tentang Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika provinsi, dan Badan Narkotika kabupaten/kota, dinyatakan sebagai BNN, BNN provinsi, dan BNN kabupaten/kota berdasarkan Undang-Undang ini; (b). Kepala Pelaksana Harian BNN untuk pertama kali ditetapkan sebagai Kepala BNN berdasarkan Undang-Undang ini; (c). Pejabat dan pegawai di lingkungan Badan Narkotika Nasional yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Nomor 83 Tahun 2007 adalah pejabat dan pegawai BNN berdasarkan Undang-Undang ini; (d). dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan, struktur organisasi dan tata kerja Badan Narkotika Nasional yang dibentuk berdasarkan Peraturan Nomor 83 Tahun 2007 harus sudah disesuaikan dengan Undang-Undang ini; (e). dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan, struktur organisasi dan tata kerja BNN provinsi dan BNN kabupaten/kota yang dibentuk berdasarkan Peraturan Nomor 83 Tahun 2007 harus sudah disesuaikan dengan Undang-Undang ini.

Pasal 150

Program dan kegiatan Badan Narkotika Nasional yang dibentuk berdasarkan Peraturan Nomor 83 Tahun 2007 yang telah dilaksanakan tetapi belum selesai, masih tetap dapat dijalankan sampai dengan selesainya program dan kegiatan dimaksud termasuk dukungan anggarannya.

Pasal 151

Seluruh aset Badan Narkotika Nasional yang dibentuk berdasarkan Peraturan Nomor 83 Tahun 2007, baik yang berada di BNN provinsi, maupun di BNN kabupaten/kota dinyatakan sebagai aset BNN berdasarkan Undang-Undang ini.

BAB XVII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 152

Semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3698) pada saat Undang-Undang ini diundangkan, masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan baru berdasarkan Undang-Undang ini.

Pasal 153

Dengan berlakunya Undang-Undang ini:
(a). Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3698); dan (b). Lampiran mengenai jenis Psikotropika Golongan I dan Golongan II sebagaimana tercantum dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3671) yang telah dipindahkan menjadi Narkotika Golongan I menurut Undang-Undang ini, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 154

Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus telah ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal 155

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara.

Disahkan di Jakarta pada tanggal 12 Oktober 2009,

ttd

DR.H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 12 Oktober 2009

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,

ttd

ANDI MATTALATTA

LEMBARAN NEGARA TAHUN 2009 NOMOR 143

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009

TENTANG NARKOTIKA

I. UMUM

Narkotika merupakan zat atau obat yang sangat bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan penyakit tertentu. Namun, jika disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan dapat menimbulkan akibat yang sangat merugikan bagi perseorangan atau masyarakat khususnya generasi muda.

Hal ini akan lebih merugikan jika disertai dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika yang dapat mengakibatkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan nasional. Untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika yang sangat merugikan dan membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara, pada Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 2002 melalui Ketetapan Majelis  Permusyawaratan Rakyat Nomor VI/MPR/2002 telah merekomendasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan untuk melakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika mengatur upaya pemberantasan terhadap tindak pidana Narkotika melalui ancaman pidana denda, pidana penjara, pidana seumur hidup, dan pidana mati. Di samping itu, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 juga mengatur mengenai pemanfaatan Narkotika untuk kepentingan pengobatan dan kesehatan serta mengatur tentang rehabilitasi medis dan sosial. Namun, dalam kenyataannya tindak pidana Narkotika di dalam masyarakat menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan korban yang meluas, terutama di kalangan anak-anak, remaja, dan generasi muda pada umumnya.

Tindak pidana Narkotika tidak lagi dilakukan secara perseorangan, melainkan melibatkan banyak orang yang secara bersama – sama, bahkan merupakan satu sindikat yang terorganisasi dengan jaringan yang luas yang bekerja secara rapi dan sangat rahasia baik di tingkat nasional maupun internasional. Berdasarkan hal tersebut guna peningkatan upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Narkotika perlu dilakukan pembaruan terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.

Hal ini juga untuk mencegah adanya kecenderungan yang semakin meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan korban yang meluas, terutama di kalangan anak-anak, remaja, dan generasi muda pada umumnya. Selain itu, untuk melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan Narkotika dan mencegah serta memberantas peredaran gelap Narkotika, dalam Undang-Undang ini diatur juga mengenai Prekursor Narkotika karena Prekursor Narkotika merupakan zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika. Dalam Undang-Undang ini dilampirkan mengenai Prekursor Narkotika dengan melakukan penggolongan terhadap jenis-jenis Prekursor Narkotika.

Selain itu, diatur pula mengenai sanksi pidana bagi penyalahgunaan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika. Untuk menimbulkan efek jera terhadap pelaku penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, diatur mengenai pemberatan sanksi pidana, baik dalam bentuk pidana minimum khusus, pidana penjara 20 (dua puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup, maupun pidana mati. Pemberatan pidana tersebut dilakukan dengan mendasarkan pada golongan, jenis, ukuran, dan jumlah Narkotika.

Untuk lebih mengefektifkan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, diatur mengenai penguatan kelembagaan yang sudah ada yaitu Badan Narkotika Nasional (BNN). BNN tersebut didasarkan pada Peraturan Nomor 83 Tahun 2007 tentang Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika Provinsi, dan Badan Narkotika Kabupaten/Kota. BNN tersebut merupakan lembaga non struktural yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden, yang hanya mempunyai tugas dan fungsi melakukan koordinasi.

Dalam Undang-Undang ini, BNN tersebut ditingkatkan menjadi lembaga pemerintah nonkementerian (LPNK) dan diperkuat kewenangannya untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan. BNN berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Selain itu, BNN juga mempunyai perwakilan di daerah provinsi dan kabupaten/kota sebagai instansi vertikal, yakni BNN provinsi dan BNN kabupaten/kota.

Untuk lebih memperkuat kelembagaan, diatur pula mengenai seluruh harta kekayaan atau harta benda yang merupakan hasil tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika dan tindak pidana pencucian uang dari tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dirampas untuk negara dan digunakan untuk kepentingan pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika dan upaya rehabilitasi medis dan sosial.

Untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang modus operandinya semakin canggih, dalam Undang-Undang ini juga diatur mengenai

perluasan teknik penyidikan penyadapan (wiretapping), teknik pembelian terselubung (under cover buy), dan teknik penyerahan yang diawasi (controlled delevery), serta teknik penyidikan lainnya guna melacak dan mengungkap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.

Dalam rangka mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang dilakukan secara terorganisasi dan memiliki jaringan yang luas melampaui batas negara, dalam Undang-Undang ini diatur mengenai kerja sama, baik bilateral, regional, maupun internasional.

Dalam Undang-Undang ini diatur juga peran serta masyarakat dalam usaha pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika termasuk pemberian penghargaan bagi anggota masyarakat yang berjasa dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika. Penghargaan tersebut diberikan kepada penegak hukum dan masyarakat yang telah

berjasa dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2

Cukup jelas.

Pasal 3

Cukup jelas.

Pasal 4

Cukup jelas.

Pasal 5

Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “Prekursor Narkotika” hanya untuk industri farmasi.

Pasal 6

Ayat (1)

Huruf a

Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan ”Narkotika Golongan I” adalah Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.

Huruf b

Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan ”Narkotika Golongan II” adalah Narkotika berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.

Huruf c

Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan ”Narkotika Golongan III” adalah Narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan ”perubahan penggolongan Narkotika” adalah penyesuaian penggolongan Narkotika berdasarkan kesepakatan internasional dan pertimbangan kepentingan nasional.

Pasal 7

Yang dimaksud dengan “pelayanan kesehatan” adalah termasuk pelayanan rehabilitasi medis. Yang dimaksud dengan “pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi” adalah penggunaan Narkotika terutama untuk kepentingan pengobatan dan rehabilitasi, termasuk untuk kepentingan pendidikan, pelatihan, penelitian dan pengembangan serta keterampilan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah yang tugas dan fungsinya melakukan pengawasan, penyelidikan, penyidikan, dan pemberantasan peredaran gelap Narkotika. Kepentingan pendidikan, pelatihan dan keterampilan adalah termasuk untuk kepentingan melatih anjing pelacak Narkotika dari pihak Kepolisian Negara , Bea dan Cukai dan Badan Narkotika Nasional serta instansi lainnya.

Pasal 8

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan Narkotika Golongan I sebagai:
(a). reagensia diagnostik adalah Narkotika Golongan I tersebut secara terbatas dipergunakan untuk mendeteksi suatu zat/bahan/benda yang digunakan oleh seseorang apakah termasuk jenis Narkotika atau bukan.  (b). reagensia laboratorium adalah Narkotika Golongan I tersebut secara terbatas dipergunakan untuk mendeteksi suatu zat/bahan/benda yang disita atau ditentukan oleh pihak Penyidik apakah termasuk jenis Narkotika atau bukan.

Pasal 9

Cukup jelas.

Pasal 10

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “Narkotika dari sumber lain” adalah Narkotika yang dikuasai oleh pemerintah yang diperoleh antara lain dari bantuan atau berdasarkan kerja sama dengan pemerintah atau lembaga asing dan yang diperoleh dari hasil penyitaan atau perampasan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini. Narkotika yang diperoleh dari sumber lain dipergunakan terutama untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan, dan teknologi termasuk juga keperluan pendidikan, pelatihan, dan keterampilan yang dilaksanakan oleh instansi Pemerintah yang tugas dan fungsinya melakukan pengawasan, penyidikan, dan pemberantasan peredaran gelap Narkotika.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 11

Ayat (1)

Ketentuan ini membuka kemungkinan untuk memberikan izin kepada lebih dari satu industri farmasi yang berhak memproduksi obat Narkotika, tetapi dilakukan sangat selektif dengan maksud agar pengendalian dan pengawasan Narkotika dapat lebih mudah dilakukan.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Pasal 12

Ayat (1)

Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “produksi” adalah termasuk pembudidayaan (kultivasi) tanaman yang mengandung Narkotika. Yang dimaksud dengan “jumlah yang sangat terbatas” adalah tidak melebihi kebutuhan yang diperlukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 13

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan ”swasta” adalah lembaga ilmu pengetahuan yang secara khusus atau yang salah satu fungsinya melakukan kegiatan percobaan penelitian dan pengembangan.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 14

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “balai pengobatan” adalah balai pengobatan yang dipimpin oleh dokter.

Ayat (2)

Ketentuan ini memberi kewajiban bagi dokter yang melakukan praktek pribadi untuk membuat laporan yang di dalamnya memuat catatan mengenai kegiatan yang berhubungan dengan Narkotika yang sudah melekat pada rekam medis dan disimpan sesuai dengan ketentuan masa simpan resep selama 3 (tiga) tahun.

Dokter yang melakukan praktek pada sarana kesehatan yang memberikan pelayanan medis, wajib membuat laporan mengenai kegiatan yang berhubungan dengan Narkotika, dan disimpan sesuai dengan ketentuan masa simpan resep selama 3 (tiga) tahun.

Catatan mengenai Narkotika di badan usaha sebagaimana diatur pada ayat ini disimpan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dokumen pelaporan mengenai Narkotika yang berada dibawah kewenangan Badan Pengawas Obat dan Makanan, disimpan dengan ketentuan sekurang-kurangnya dalam waktu 3 (tiga) tahun. Maksud adanya kewajiban untuk membuat, menyimpan, dan menyampaikan laporan adalah agar Pemerintah setiap waktu dapat mengetahui tentang persediaan Narkotika yang ada di dalam peredaran dan sekaligus sebagai bahan dalam penyusunan rencana kebutuhan tahunan Narkotika.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Yang dimaksud dengan “pelanggaran” termasuk juga segala bentuk penyimpangan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan.

huruf a

Cukup jelas.

huruf b

Cukup jelas.

huruf c

Cukup jelas.

huruf d

Cukup jelas.

huruf e

Yang dimaksud dengan “pencabutan izin” adalah izin yang berkaitan dengan kewenangan untuk mengelola Narkotika.

Pasal 15

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan ”dalam keadaan tertentu” dalam ketentuan ini adalah apabila perusahaan besar farmasi milik negara dimaksud tidak dapat melaksanakan fungsinya dalam melakukan impor Narkotika karena bencana alam, kebakaran dan lain-lain.

Pasal 16

Cukup jelas.

Pasal 17

Cukup jelas.

Pasal 18

Cukup jelas.

Pasal 19

Cukup jelas.

Pasal 20

Cukup jelas.

Pasal 21

Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “kawasan pabean tertentu yang dibuka untuk perdagangan luar negeri” adalah kawasan di pelabuhan laut dan pelabuhan udara internasional tertentu yang ditetapkan sebagai pintu impor dan ekspor Narkotika agar lalu lintas Narkotika mudah diawasi. Pelaksanaan impor atau ekspor Narkotika tetap tunduk pada Undang-Undang tentang Kepabeanan dan/atau peraturan perundang-undangan lainnya.

Pasal 22

Cukup jelas.

Pasal 23

Cukup jelas.

Pasal 24

Cukup jelas.

Pasal 25

Ketentuan ini berintikan jaminan bahwa masuknya Narkotika baik melalui laut maupun udara wajib ditempuh prosedur kepabeanan yang telah ditentukan, demi pengamanan lalu lintas Narkotika di Wilayah Negara. Yang dimaksud dengan “penanggung jawab pengangkut” adalah kapten penerbang atau nakhoda.

Pasal 26

Cukup jelas.

Pasal 27

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan ”kemasan khusus atau di tempat yang aman” dalam ketentuan ini adalah kemasan yang berbeda dengan kemasan lainnya yang ditempatkan pada tempat tersendiri yang disediakan secara khusus.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Ketentuan mengenai batas waktu dalam menyampaikan laporan dimaksudkan untuk menjamin kepastian hukum dan memperketat pengawasan.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Pasal 28

Cukup jelas.

Pasal 29

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Huruf a

Cukup jelas. .

Huruf b

Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “jenis” adalah sediaan bentuk garam atau basa.
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “bentuk” adalah sediaan dalam bentuk bahan baku atau obat jadi seperti tanaman, serbuk, tablet, suntikan, kapsul, cairan. Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “jumlah” adalah angka yang menunjukkan banyaknya Narkotika yang terdiri dari jumlah satuan berat dalam kilogram, isi dalam milliliter.

Huruf c

Cukup jelas.

Pasal 30

Ketentuan ini menegaskan bahwa pada dasarnya dalam transito Narkotika dilarang mengubah arah negara tujuan. Namun, apabila dalam keadaan tertentu misalnya terjadi keadaan memaksa (force majeur) sehingga harus dilakukan perubahan negara tujuan, maka perubahan tersebut harus memenuhi syarat yang ditentukan dalam ketentuan ini. Selama menunggu pemenuhan persyaratan yang diperlukan, Narkotika tetap disimpan di kawasan pabean, dan tanggung jawab pengawasannya berada di bawah Pejabat Bea dan Cukai.

Pasal 31

Ketentuan ini menegaskan bahwa dilibatkannya Petugas Badan Pengawas Obat dan Makanan dalam pengemasan kembali Narkotika pada Transito Narkotika adalah sesuai dengan tugas dan fungsi Badan Pengawas Obat dan Makanan.

Pasal 32

Cukup jelas.

Pasal 33

Cukup jelas.

Pasal 34

Ketentuan ini menegaskan bahwa batas waktu 3 (tiga) hari kerja dibuktikan dengan stempel pos tercatat, atau tanda terima jika laporan diserahkan secara langsung. Dengan adanya pembatasan waktu kewajiban menyampaikan laporan, maka importir harus segera memeriksa jenis, mutu, dan jumlah atau bobot Narkotika yang diterimanya sesuai dengan Surat Persetujuan Impor yang dimiliki.

Pasal 35

Cukup jelas.

Pasal 36

Cukup jelas.

Pasal 37

Cukup jelas.

Pasal 38

Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “wajib dilengkapi dengan dokumen yang sah” adalah bahwa setiap peredaran Narkotika termasuk pemindahan Narkotika ke luar kawasan
pabean ke gudang importir, wajib disertai dengan dokumen yang dibuat oleh importir, eksportir, industri farmasi, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter, atau apotek. Dokumen tersebut berupa Surat Persetujuan Impor/Ekspor, faktur, surat angkut, surat penyerahan barang, resep dokter atau salinan resep dokter, yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Narkotika bersangkutan.

Pasal 39

Ayat (1)

Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “industri farmasi, dan pedagang besar farmasi” adalah industri farmasi, dan pedagang besar farmasi tertentu yang telah memiliki izin khusus untuk menyalurkan Narkotika.

Ayat (2)

Ketentuan ini menegaskan bahwa Izin khusus penyaluran Narkotika bagi sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah diperlukan sepanjang surat keputusan pendirian sarana penyimpanan sediaan farmasi tersebut tidak dikeluarkan oleh Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.

Pasal 40

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu” adalah sarana yang mengelola sediaan farmasi dan alat kesehatan milik Pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, TNI dan Kepolisian Negara , Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah dalam rangka pelayanan kesehatan.

Huruf d

Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan ”rumah sakit” adalah rumah sakit yang telah memiliki instalasi farmasi memperoleh Narkotika dari industri farmasi tertentu atau pedagang besar farmasi tertentu.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 41

Cukup jelas.

Pasal 42

Cukup jelas.

Pasal 43

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Ketentuan ini menegaskan bahwa rumah sakit yang belum mempunyai instalasi farmasi hanya dapat memperoleh Narkotika dari apotek.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Huruf a

Ketentuan ini menegaskan bahwa pemberian kewenangan penyimpanan dan penyerahan Narkotika dalam bentuk suntik dan tablet untuk pemakaian oral (khususnya tablet morphin) salah satu tujuannya adalah untuk memudahkan dokter memberikan tablet Narkotika tersebut kepada pasien yang mengidap penyakit kanker stadium yang tidak dapat disembuhkan dan hanya morphin satu-satunya obat yang dapat menghilangkan rasa sakit yang tidak terhingga dari penderita kanker tersebut.

Huruf b

Lihat penjelasan huruf a.

Huruf c

Ketentuan ini menegaskan bahwa penyerahan Narkotika oleh dokter yang menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek memerlukan surat izin penyimpanan Narkotika dari Menteri Kesehatan atau pejabat yang diberi wewenang. Izin tersebut melekat pada surat keputusan penempatan di daerah terpencil yang tidak ada apotek.

Ayat (5)

Ketentuan ini dimaksudkan hanya untuk Narkotika Golongan II dan Golongan III.

Pasal 44

Cukup jelas.

Pasal 45

Ayat (1)

Ketentuan ini menegaskan bahwa pencantuman label dimaksudkan untuk memudahkan pengenalan sehingga memudahkan pula dalam pengendalian dan pengawasannya.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “label” adalah label khusus yang diperuntukan bagi Narkotika yang berbeda dari label untuk obat lainnya.

Pasal 46

Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “dipublikasikan” adalah yang mempunyai kepentingan ilmiah dan komersial untuk Narkotika baik dalam bentuk obat jadi maupun bahan baku Narkotika, di kalangan terbatas kedokteran dan farmasi. Penyuluhan dan pembinaan kepada masyarakat mengenai bahaya penyalahgunaan Narkotika, tidak termasuk kriteria publikasi.

Pasal 47

Cukup jelas.

Pasal 48

Cukup jelas.

Pasal 49

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan ”menteri terkait” antara lain menteri yang membidangi urusan perindustrian dan menteri yang membidangi urusan perdagangan.

Pasal 50

Cukup jelas.

Pasal 51

Cukup jelas.

Pasal 52

Cukup jelas.

Pasal 53

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan ”bukti yang sah” antara lain surat keterangan dokter, salinan resep, atau label/etiket.

Pasal 54

Yang dimaksud dengan ”korban penyalahgunaan Narkotika” adalah seseorang yang tidak  sengaja menggunakan Narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau diancam
untuk menggunakan Narkotika.
Lanjut Ke Bag III >>>

irfblog. Diberdayakan oleh Blogger.