Popular Posts

irfblogBacklink






Rating for erosisland.blogspot.com

My Ping in TotalPing.com

desain 1

Lawan rasa takut dan jalin silaturahmi dengan sesama rekan alumni.

desain 2

Lawan rasa takut dan jalin silaturahmi dengan sesama rekan alumni.

desain 3

Lawan rasa takut dan jalin silaturahmi dengan sesama rekan alumni.

desain 4

Lawan rasa takut dan jalin silaturahmi dengan sesama rekan alumni.

desain 5

Lawan rasa takut dan jalin silaturahmi dengan sesama rekan alumni.

Tampilkan postingan dengan label history. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label history. Tampilkan semua postingan

Senin, 02 September 2013

Haji Misbach, Kiai Merah

Haji Misbach, lengkapnya Haji Mohamad Misbach, punya posisi unik dalam sejarah di Tanah Air. Namanya memang tidak sedahsyat Semaun, Tan Malaka, atau tokoh kiri lainnya. Di kalangan gerakan Islam, namanya juga hampir tidak pernah disebut. Maklum, haji dari Kauman Surakarta ini adalah seorang komunis, meski menolak menjadi ateis. Baginya, Islam dan komunisme tidak selalu harus dipertentangkan. Malah dengan menyerap ajaran komunismelah, menurut Haji Misbach, Islam menjadi agama yang bergerak untuk melawan penindasan dan ketidakadilan. Berikut tulisan Iqbal Setyarso, yang diolah dari berbagai sumber antara lain yang terpenting An Age in Motion: Popular Radicalism in Java, 1912-1926, karya Takashi Shiraisi.

Inilah datangnya hari-hari mencekam di Hindia Belanda. Pada 1923 itu, ijazah-ijazah sekolah bumiputera "Ongko Loro" (Angka Dua) dibakar. Ketika gubernur jenderal datang ke Yogyakarta (Mei) bom dilemparkan ke kereta api. Banyak orang jadi berani melemparkan kotoran ke kantor-kantor pemerintah, mencopoti potret-potret Ratu Wilhelmina, melumurinya dengan kotoran dan kalimat celaan.

Kejadian seperti itu meningkat menjelang peringatan Ratu Wilhelmina akhir Agustus dan awal September. Di Yogya, pada Juli ada kereta api tergelincir dari relnya. Di Madiun, akhir Agustus seorang aktivis Sarekat Ra'jat (SR) dan bekas buruh kereta api negara terbunuh, sejumlah lainnya terluka ketika bom buatan mereka tiba-tiba meledak. Di Semarang, sejak akhir Agustus hingga awal September ada delapan bom telah dilemparkan. Maka di Madiun, pemimpin SR dan guru-guru Sarekat Islam (SI) ditangkapi. Namun, di tempat-tempat lain polisi tak berdaya, tak seorang pun ditangkap

Di Surakarta, pertengahan Oktober 1923, menjelang dan sesudah perayaan Sekaten, sejumlah rumah dibakar. Bangsal perayaan sekatenan dirobohkan orang. Di pedesaan, tempat pengeringan tembakau dibakar. Polisi seolah-olah tak berkutik. Dan lagi-lagi, tak ada satu tersangka pun yang ditangkap.

Darma Kanda, media yang menyuarakan aspirasi kaum ningrat mengingatkan bahaya "zaman Tjipto" (Tjipto Mangunkusumo). Para pangeran kasunanan dan pejabat tinggi ketakutan pada "komunis-komunis" dan menebar cerita. Haji Mohamad Misbach berada di balik serangkaian kejadian itu. Misbach disebut-sebut telah membangun "pasukan sabotase", melatih prajurit untuk melakukan pengeboman, pembakaran rumah, perampokan, penggelinciran kereta api, dan aksi teror lainnya. Pada awal Oktober pamflet stensilan dengan simbol palu dan arit di atas gambar tengkorak manusia disebarluaskan orang-orang tak dikenal. Pamflet itu isinya mengingatkan orang agar tidak menghadiri perayaan sekaten.

Siapa Misbach yang dicap begitu berbahaya itu?

Keislaman dan Kerakyatan

Lelaki ini lahir di Kauman, Surakarta. Diduga ia lahir pada 1876 dan besar di lingkungan keluarga pedagang batik yang makmur. Masa kecilnya ia dipanggil Ahmad. Saat menikah berganti nama menjadi Darmodiprono. Setelah menunaikan ibadah haji, orang mengenalnya sebagai Haji Mohamad Misbach.

Kauman, tempat Misbach dilahirkan, letaknya di sisi barat alun-alun utara, persis di depan keraton Kasunanan dekat Masjid Agung. Di situ tinggal juga para pejabat keagamaan Sunan. Ayah Misbach sendiri pejabat keagamaan. Namun karena lingkungannya religius, Misbach pun pada usia sekolah mengisi wawasannya dengan pelajaran keagamaan dari pesantren. Selain belajar di pesantren, Misbach pernah belajar di sekolah bumiputera "Ongko Loro" selama delapan bulan.

Menjelang dewasa, Misbach terjun ke dunia usaha sebagai pedagang batik di Kauman mengikuti jejak bapaknya. Bisnisnya pun menanjak dan ia berhasil membuka rumah pembatikan dan sukses. Pada 1912 di Surakarta berdiri Sarekat Islam (SI). Misbach masuk SI meski selama setahun pertama perjalanan SI ia tidak terlalu aktif. Misbach baru aktif pada 1914, ketika SI membentuk Indlandsche Journalisten Bond (IJB). Melalui media massa, Misbach dinilai sebagai tokoh yang rajin memaparkan gagasannya. Dia tak kenal lelah meluncurkan gagasan menerbitkan surat kabar Islam, sekolah-sekolah Islam, dan gagasan pengembangan Islam yang sangat maju untuk ukuran zamannya.

Pada 1915, Misbach menerbitkan Medan Moeslimin, surat kabar bulanan. Dua tahun kemudian diterbitkannya pula Islam Bergerak. Bicara kepribadian Misbach, orang memuji keramahannya kepada setiap orang dan sikap egaliternya tak membedakan priyayi atau orang kebanyakan. Sebagai seorang haji ia lebih suka mengenakan kain kepala ala Jawa ketimbang peci Turki alias torbus ala Haji Agus Salim, atau sorban seperti kebanyakan haji zaman itu.

Orang menggambarkan Haji Misbach sebagai sosok yang tak segan bergaul dengan anak-anak muda penikmat klenengan dengan tembang-tembang yang sedang hit. Satu tulisan tentang Misbach menyebutkan, di tengah komunitas pemuda, Misbach menjadi kawan berbincang yang enak, sementara di tengah pecandu wayang orang Misbach lebih dihormati ketimbang direktur wayang orang. Misbach digambarkan demikian, "... di mana-mana golongan Ra'jat, Misbach mempoenjai kawan oentoek melakoekan pergerakannya. Tetapi didalem kalangannya orang-orang jang mengakoe Islam dan lebih mementingkan mengoempoelken harta benda daripada menolong kesoesahan Ra'jat, Misbach seperti harimau didalem kalangannya binatang-binatang ketjil. Kerna dia tidak takoet lagi menyela kelakoeannja orang-orang yang sama mengakoe Islam tetapi selaloe mengisep darah temen hidoep bersama."

Tentara Tjokro

Takashi Shiraisi mengungkapkan perbedaan dinamika sosial Islam di Yogya dan Surakarta. Ini dikaitkan dengan persamaan dan perbedaan antara KH Achmad Dahlan yang pendiri Muhammadiyah dan Misbach, seorang muslim ortodoks yang saleh, progresif, dan hidup di kota Surakarta.

Di Yogya, Muhammadiyah yang lahir pada 1912 di Kauman, segera menjadi sentral kegiatan kaum muslimin yang saleh yang kebanyakan berlatar belakang keluarga pegawai keagamaan Sultan. Ayah Dahlan adalah chatib amin Masjid Agung dan ibunya putri penghulu (pegawai keagamaan kesultanan) di Yogya. Dahlan sendiri sempat dipercaya menjadi chatib amin. Para penganjur Muhammadiyah pun umumnya anak-anak pegawai keagamaan. Kala itu birokrat keagamaan umumnya adalah alat negara sehingga, kata Shiraisi, wewenang keagamaannya tidak berasal dari kedalaman pengetahuan tentang Islam tetapi karena jabatannya. Meskipun mereka berhaji dan belajar Islam, masih kalah wibawa dibandingkan para kiai yang pesantrennya bebas dari negara.

Kendati demikian, reformisme Muhammadiyah berhasil menyatukan umat Islam yang terserpih-serpih. Tablig-tablignya, kajian ayat yang dijelaskan dengan membacakan dan menjelaskan maknanya di masjid-masjid, pendirian lembaga pendidikan Islam, membangunkan keterlenaan umat Islam. Mereka tumbuh menjadi pesaing tangguh misionaris Kristen dan aktivis sekolah-sekolah bumiputera yang didirikan pemerintah.

Lain dengan di Surakarta. Kala itu belum ada pengaruh sekuat Dahlan dan Muhammadiyah. Ini karena di Surakarta sudah ada sekolah agama modern pertama di Jawa, Madrasah Mamba'ul Ulum yang didirikan patih R. Adipati Sosrodiningrat (1906) dan SI pun sudah lebih dulu berkiprah sebagai wadah aktivis pergerakan Islam. Di Surakarta, pegawai keagamaan yang progresif, kiai, guru-guru Al-Quran, dan para pedagang batik mempunyai forum yang berwibawa, Medan Moeslimin. Di situlah pendapat mereka yang kerap berbeda satu sama lain tersalur. Kelompok ini menyebut diri "kaum muda Islam".

Beda pergerakan Islam Surakarta dan Yogya, di Yogya reformis tentu juga modernis, tetapi di Surakarta kaum muda Islam memang modernis tetapi belum tentu reformis. Kegiatan keislaman di Solo banyak dipengaruhi kiai progresif tapi ortodoks, seperti Kiai Arfah dan KH Adnan. Sampai suatu ketika ortodoksi yang cenderung menghindar ijtihad itu terpecah pada 1918.

Perpecahan kelompok Islam di Surakarta dipicu artikel yang dimuat dalam Djawi Hiswara, ditulis Martodharsono, seorang guru terkenal dan mantan pemimpin SI. Ketika artikel itu muncul di Surakarta tidak langsung terjadi protes, tetapi Tjokroaminoto memperluas isi artikel dan menyerukan pembelaan Islam atas pelecehan oleh Martodharsono. Seruan itu muncul di Oetoesan Hindia, sehingga bangkitlah kaum muda Islam Surakarta.

Tjokroaminoto membentuk Tentara Kanjeng Nabi Muhammad (TKNM), yang mencuatkan nama Misbach sebagai mubalig vokal. Mengiringi terbentuknya TKNM, lahir perkumpulan tablig yang reformis bernama Sidik, Amanah, Tableg, Vatonah (SATV). Haji Misbach menyebar seruan tertulis menyerang Martodharsono serta mendorong terlaksananya rapat umum dan membentuk sub-komite TKNM. Segeralah beredar cerita, Misbach akan berhadapan dengan Martodharsono di podium. Komunitas yang dulunya kurang greget menyikapi keadaan itu tiba-tiba menjadi dinamis. Kaum muslimin Surakarta berbondong-bondong menghadiri rapat umum di lapangan Sriwedari, pada 24 Februari 1918 yang konon dihadiri 20.000-an orang. Tjokroaminoto mengirim Haji Hasan bin Semit dan Sosrosoedewo (penerbit dan redaktur jurnal Islam Surabaya, Sinar Islam), dua orang ke-percayaannya di TKNM.

Waktu itu terhimpun sejumlah dana untuk pengembangan organisasi ini. Muslimin Surakarta bergerak proaktif menjaga wibawa Islam terhadap setiap upaya penghinaan terhadapnya. Inilah awal perang membela Islam dari "kaum putihan" Surakarta. Belakangan, muncul kekecewaan jamaah TKNM ketika Tjokro tiba-tiba saja mengendurkan perlawanan kepada Martodharsono dan Djawi Hiswara setelah mencuatnya pertikaian menyangkut soal keuangan dengan H Hasan bin Semit. Buntutnya, Hasan bin Semit keluar dari TKNM. Beredar artikel menyerang petinggi TKNM. Muncul statemen seperti "korupsi di TKNM dianggap sudah menodai Nabi dan Islam".

Dalam situasi itu muncul Misbach menggantikan Hisamzaijni, ketua sub-komite TKNM dan menjadi hoofdredacteur (pemimpin redaksi) Medan Moeslimin. Artikel pertama Misbach di media ini, Seroean Kita. Dalam artikel itu Misbach menyajikan gaya penulisan yang khas, yang kata Takashi, menulis seperti berbicara dalam forum tablig. Ia mengungkapkan pendapatnya, bergerak masuk ke dalam kutipan Al-Quran kemudian keluar lagi dari ayat itu. "Persis seperti membaca, menerjemahkan, dan menerangkan arti ayat Al-Quran dalam pertemuan tablig."

Sikap Misbach ini segera menjadi tren, apalagi kemudian secara kelembagaan perkumpulan tablig SATV benar-benar eksis melibatkan para pedagang batik dan generasi santri yang lebih muda. Menurut Shiraisi, ada dua perbedaan SATV dibanding Muhammadiyah. Pertama, Muhammadiyah menempati posisi strategis di tengah masyarakat keagamaan Yogya, sedangkan SATV adalah perhimpunan muslimin saleh yang merasa dikhianati oleh kekuasaan keagamaan, manipulasi pemerintah, dan para kapitalis non-muslim. Kedua, militansi para penganjur Muhammadiyah bergerak atas dasar keyakinan bahwa bekerja di Muhammadiyah berarti hidup menjadi muslim sejati. Sedangkan militansi SATV berasal dari rasa takut untuk melakukan manipulasi, dan keinginan kuat membuktikan keislamannya dengan tindakan nyata. Di mata pengikut SATV, muslim mana pun yang perbuatannya mengkhianati kata-katanya berarti muslim gadungan.

SATV menyerang para elite pemimpin TKNM, kekuasaan keagamaan di Surakarta, menyebut mereka bukan Islam sejati, tetapi "Islam lamisan", "kaum terpelajar yang berkata mana yang bijaksana yang menjilat hanya untuk menyelamatkan namanya sendiri." Dasar keyakinan SATV dengan Misbach sebagai ideologinya, "membuat agama Islam bergerak". Misbach kondang di tengah muslimin bukan sekadar karena tablignya, melainkan ia menjadi pelaku dari kata-kata keras yang dilontarkannya di berbagai kesempatan. Ia dikenal luas karena perbuatannya "menggerakkan Islam": menggelar tablig, menerbitkan jurnal, mendirikan sekolah, dan menentang keras penyakit hidup boros dan bermewah-mewah, dan semua bentuk penghisapan dan penindasan.

Membuat Kartun

Misbach sangat antikapitalis. Siapa yang secara kuat diyakini menjadi antek kapitalis yang menyengsarakan rakyat akan dihadapinya melalui artikel di Medan Moeslimin atau Islam Bergerak. Tak peduli apakah dia juga seorang aktivis organisasi Islam. Berdamai dengan pemerintah Hindia Belanda, no way. Maka kelompok yang antipolitik, antipemogokan, secara tegas dianggap berseberangan dengan misi keadilan.
Misbach membuat kartun di Islam Bergerak edisi 20 April 1919. Isinya menohok kapitalis Belanda yang menghisap petani, bersama mempekerjapaksakan mereka, memberi upah kecil, menarik pajak. Residen Surakarta digugat, Paku Buwono X digugat karena ikut-ikutan menindas. Retorika khas Misbach, muncul dalam kartun itu sebagai "suara dari luar dunia petani". Bunyinya, "Jangan takut, jangan kawatir". Kalimat ini memicu kesadaran dan keberanian petani untuk mogok. Ekstremitas sikap Misbach membuat ia ditangkap, 7 Mei 1919, setelah melakukan belasan pertemuan kring (sub-kelompok petani perkebunan). Tapi akhirnya Misbach dibebaskan pada 22 Oktober sebagai kemenangan penting Sarekat Hindia (SH), organisasi para bumiputera.

Tidak kapok dipenjara, Misbach malah menegaskan rakyat "jangan takut dihukum, dibuang, digantung", seraya memaparkan kesulitan Nabi menyiarkan Islam. Misbach pun sosok yang selain menempatkan diri dalam perjuangan melawan kapitalis, ia meyakini paham komunis. Menurut ahli sejarah Ahmad Mansyur Suryanegara, Misbach mengagumi Karl Marx dan menulis artikel Islamisme dan Komunisme di pengasingan. Marx di mata Misbach berjasa membela rakyat miskin, mencela kapitalisme sebagai biang kehancuran nilai-nilai kemanusiaan. Agama pun dirusak oleh kapitalisme sehingga kapitalisme harus dilawan dengan historis materialisme.

Misbach kecewa terhadap lembaga-lembaga Islam yang tidak tegas membela kaum dhuafa. Berjuang melawan kapitalisme tak membuat Misbach tidak menegakkan Islam. Baginya, perlawanan terhadap kapitalis dan pengikutnya sama dengan berjuang melawan setan. Misbach pun ketika CSI (Central Sarekat Islam) pecah melahirkan PKI/SI Merah, memilih ikut Perserikatan Kommunist di Indie (PKI), bahkan mendirikan PKI afdeling Surakarta.

Terkait dengan "teror-teror" yang terjadi di Jawa, Misbach tetap dipercaya sebagai otaknya. Misbach ditangkap. Dalam pengusutan sejumlah fakta memberatkan kepada Misbach meskipun belakangan para saksi mengaku memberi kesaksian palsu karena iming-iming bayaran dari Hardjosumarto, orang yang "ditangkap" bersama Misbach. Hardjosumarto sendiri juga mengaku menyebarkan pamflet bergambar palu arit dan tengkorak, membakar bangsal sekatenan, dan mengebom Mangkunegaran.

Meski demikian, Misbach tetap tidak dibebaskan. Dia dibuang ke Manokwari, Papua, didampingi istri dan tiga anaknya. Selama ditahan di Semarang, tak seorang pun diizinkan menjenguknya. Misbach hanya dibolehkan membaca Al-Quran. Di pengasingan, selain mengirim laporan perjalanannya, Misbach juga menyusun artikel berseri "Islamisme dan Komunisme". Sesungguhnya, tulis Misbach, karangan saya hal komunisme dan islamisme adalah penting bagi orang yang dirinya mengaku Islam dan komunis yang sejati, yakni suka menjalankan apa yang telah diwajibkan kepada mereka oleh agama dan komunis.

Medan Moeslimin yang terbit pada 1 April 1926 memuat artikel Misbach, Nasehat, yang antara lain menyatakan: agama berdasarkan sama rata sama rasa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa hak persamaan untuk segenap manusia dalam dunia tentang pergaulan hidup, tinggi, dan hinanya manusia hanya tergantung atas budi kemanusiaannya. Budi terbagi tiga bagian: budi kemanusiaan, budi binatang, budi setan. Budi kemanusiaan dasarnya mempunyai perasaan keselamatan umum; budi binatang hanya mengejar keselamatan dan kesenangan diri sendiri; dan budi setan yang selalu berbuat kerusakan dan keselamatan umum.

Ini secuil kisah Misbach yang sangat jarang dibicarakan orang. "Kiai Merah" yang tetap taat berislam ini akhirnya terserang malaria dan meninggal di pengasingan pada 24 Mei 1926 dan dimakamkan di kuburan Penindi, Manokwari, di samping kuburan istrinya.

Tulisan ini diambil dari majalah Panji Masyarakat, No. 09 Tahun IV - 21 Juni 2000.

Minggu, 01 September 2013

Kitab Al-Barzanji

Menurut Ensiklopedi Hukum Islam:

Kitab “Iqd Al-Jawahir” (Kalung Permata) yang lebih terkenal dengan sebutan Al-Barzanji ditulis oleh Syekh Ja'far Al-Barzanji bin Husin bin Abdul Karim yang lahir tahun 1690 M dan meninggal kira-kira 1763 / 1766 M di Madinah.

Nama Al-Barzanji dibangsakan kepada nama penulisnya, yang juga diambil dari tempat asal keturunannya, yakni daerah Barzinj (Kurdistan). Nama tersebut menjadi populer di dunia Islam pada tahun 1920-an ketika Syekh Mahmud Al-Barzanji memimpin pemberontakan Nasional Kurdi terhadap Inggris yang pada waktu itu menguasai Irak. Di dalam Al-Barzanji dilukiskan riwayat hidup Nabi Muhammad SAW dengan bahasa yang indah dalam bentuk puisi serta prosa (nasr) dan kasidah yang sangat menarik perhatian pembaca/pendengarnya. Apalagi yang memahami arti dan maksudnya.

Secara garis besar paparan Al-Barzanji dapat diringkas sebagai berikut:
  1. Silsilah Nabi Muhammad SAW adalah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdul Manaf bin Qusay bin Kilab bin Murrah bin Ka'ab bin Fihr bin Malik bin Nadar bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudarbin Nizar bin Ma'ad bin Adnan.
  2. Pada masa kanak-kanaknya banyak kelihatan hal luar biasa pada diri Muhammad SAW, misalnya malaikat membelah dadanya dan mengeluarkan segala kotoran dari dalamnya.
  3. Pada masa remajanya, ketika berumur 12 tahun, beliau dibawa pamannya berniaga ke Syam (Suriah). Dalam perjalanan pulang, seorang pendeta melihat tanda-tanda kenabian pada dirinya.
  4. Pada waktu berumur 25 tahun beliau melangsungkan pernikahannya dengan Khadijah binti Khuwailid.
  5. Pada saat berumur 40 tahun beliau diangkat menjadi rasul. Sejak saat itu beliau menyiarkan agama Islam sampai berumur 62 tahun dalam dua periode, yakni Makkah dan Madinah, dan wafat di Madinah sewaktu berumur 62 tahun setelah dakwahnya dianggap sempurna oleh Allah SWT.
Kitab Al-Barzanji dalam bahasa aslinya (Arab) dibaca di mana-mana pada berbagai kesempatan, antara lain pada peringatan maulid Nabi SAW (hari lahir), upacara pemberian nama bagi seorang anak (bayi), acara khitanan, upacara pernikahan, upacara memasuki rumah baru, berbagai upacara syukuran, dan ritus peralihan lainnya, sebagai sebuah acara ritual yang "dianggap" dapat meningkatkan iman dan membawa banyak manfaat. (Sumber: Republika Online).

Menurut Pemahaman Para Ulama:

Al-BARZANJI, KITAB INDUK PERINGATAN MAULÎD NABI SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM

SEPUTAR KITAB BARZANJI
Secara umum peringatan maulid Nabi Shallallahu alaihi wa sallam selalu disemarakkan dengan shalawatan dan puji-pujian kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, yang mereka ambil dari kitab Barzanji maupun Daiba’, ada kalanya ditambah dengan senandung qasîdah Burdah. Meskipun kitab Barzanji lebih populer di kalangan orang awam daripada yang lainnya, tetapi biasanya kitab Daiba’, Barzanji dan Qasidah Burdah dijadikan satu paket untuk meramaikan maulid Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang diawali dengan membaca Daiba’, lalu Barzanji, kemudian ditutup dengan Qasîdah Burdah. Biasanya kitab Barzanji menjadi kitab induk peringatan maulîd Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahkan sebagian pembacanya lebih tekun membaca kitab Barzanji daripada membaca al-Qur’an. Maka tidak aneh jika banyak di antara mereka yang lebih hafal kitab Barzanji bersama lagu-lagunya dibanding al-Quran. Fokus pembahasan dan kritikan terhadap kitab Barzanji ini adalah karena populernya, meskipun penyimpangan kitab Daiba’ lebih parah daripada kitab Barzanji. Berikut uraiannya :

Secara umum kandungan kitab Barzanji terbagi menjadi tiga :
  1. Cerita tentang perjalanan hidup Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan satra bahasa tinggi yang terkadang tercemar dengan riwayat-riwayat lemah.
  2. Syair-syair pujian dan sanjungan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan bahasa yang sangat indah, namun telah tercemar dengan muatan dan sikap ghuluw (berlebihan).
  3. Shalawat kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, tetapi telah bercampur aduk dengan shalawat bid’ah dan shalawat-shalawat yang tidak berasal dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

PENULIS KITAB BARZANJI
Kitab Barzanji ditulis oleh “Ja’far al-Barjanzi al-Madani, dia adalah khathîb di Masjidil harâm dan seorang mufti dari kalangan Syâf’iyyah. Wafat di Madinah pada tahun 1177H/1763 M dan di antara karyanya adalah Kisah Maulîd Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.[1]

Sebagai seorang penganut paham tasawwuf yang bermadzhab Syiah tentu Ja’far al-Barjanzi sangat mengkultuskan keluarga, keturunan dan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ini dibuktikan dalam doanya “Dan berilah taufik kepada apa yang Engkau ridhai pada setiap kondisi bagi para pemimpin dari keturunan az-Zahrâ di bumi Nu’mân”.[2]

KESALAHAN UMUM KITAB BARZANJI
Kesalahan kitab Barzanji tidaklah separah kesalahan yang ada pada kitab Daiba` dan Qasîdah Burdah. Namun, penyimpangannya menjadi parah ketika kitab Barzanji dijadikan sebagai bacaan seperti al-Qur’an. Bahkan, dianggap lebih mulia dari pada Al Qur’an. Padahal, tidak ada nash syar’î yang memberi jaminan pahala bagi orang yang membaca Barzanji, Daiba` atau Qasîdah Burdah. Sementara, membaca al-Qur’an yang jelas pahalanya, kurang diperhatikan. Bahkan, sebagian mereka lebih sering membaca Barzanji daripada membaca al-Qur’an apalagi pada saat perayaan maulîd Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Padahal Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَن قَرَأَ حَرفًا مِن كِتَابِ اللهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لاأَقُوْلُ الـمّ حَرْفٌ وَلكِن ْأَلَِفٌ حَرْفٌ وَلاًّمُ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرفٌ. رَوَاهُ التِّرْمِذِيْ وَصَحَّحَهُ اْلأَلْباَنِِيْ

"Barang siapa membaca satu huruf dari Al-Qur’an maka dia akan mendapatkan satu kebaikan yang kebaikan tersebut akan dilipatgandakan menjadi 10 pahala. Aku tidak mengatakan Alif Lâm Mîm satu huruf. Akan tetapi, Alif satu huruf, lâm satu huruf mîm satu huruf".[3]

KESALAHAN KHUSUS KITAB BARZANJI
Adapun kesalahan yang paling fatal dalam kitab Barzanji antara lain:

Kesalahan Pertama
Penulis kitab Barzanji meyakini melalui ungkapan syairnya bahwa kedua orang tua Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam termasuk ahlul Iman dan termasuk orang-orang yang selamat dari neraka bahkan ia mengungkapkan dengan sumpah.

وَقَدْ أَصْبَحَا وَاللهِ مِنْ أَهْلِ اْلإِيْمَانِ وَجَاءَ لِهَذَا فِيْ الْحَدِيْثِ شَوَاهِدُ
وَمَالَ إِليْهِ الْجَمُّ مِنْ أَهْلِ الْعِرْفَانِ فَسَلِّمْ فَإِنَّ اللهَ جَلَّ جَلاَلُــهُ
وَإِنَّ اْلإِمَامَ اْلأَشْعَرِيَ لَمُثْبِـتَ نَجَاتَهُمَا نَصًّا بِمُحْكَمِ تِبْــيَانِ

Dan sungguh kedua (orang tuanya) demi Allah Azza wa Jalla termasuk ahli iman dan telah datang dalîl dari hadîts sebagai bukti-buktinya. Banyak ahli ilmu yang condong terhadap pendapat in,i maka ucapkanlah salam karena sesungguhnya Allah Maha Agung. Dan sesungguhnya Imam al-Asy’ari menetapkan bahwa keduanya selamat menurut nash tibyan (al-Qur’an).[4]

Jelas, yang demikian itu bertentangan dengan hadîts dari Anas Radhiyallahu 'anhu bahwa sesungguhnya seorang laki-laki bertanya: “Wahai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, di manakah ayahku (setelah mati)?” Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Dia berada di Neraka.” Ketika orang itu pergi, beliau Shallallahu alaihi wa sallam memanggilnya dan bersabda: “Sesungguhnya bapakku dan bapakmu berada di Neraka”.[5]

Imam Nawawi rahimahullah berkata: ”Makna hadits ini adalah bahwa barangsiapa yang mati dalam keadaan kafir, ia kelak berada di Neraka dan tidak berguna baginya kedekatan kerabat. Begitu juga orang yang mati pada masa fatrah (jahiliyah) dari kalangan orang Arab penyembah berhala, maka ia berada di Neraka. Ini tidak menafikan penyampaian dakwah kepada mereka, karena sudah sampai kepada mereka dakwah nabi Ibrahim Alaihissalam dan yang lainnya.”[6]

Semua hadits yang menjelaskan tentang dihidupkannya kembali kedua orang tua Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan keduanya beriman serta selamat dari neraka semuanya palsu, diada-adakan secara dusta dan lemah sekali serta tidak ada satupun yang shâhih. Para ahli hadits sepakat akan kedhaifannya seperti Dâruquthni al-Jauzaqani, Ibnu Syahin, al-Khathîb, Ibnu Ashâkir, Ibnu Nashr, Ibnul Jauzi, as-Suhaili, al-Qurthubi, at-Thabari dan Fathuddin Ibnu Sayyidin Nas.[7]

Adapun anggapan bahwa Imam al-Asyari yang berpendapat bahwa kedua orang tua Nabi Shallallahu alaihi wa sallam beriman, harus dibuktikan kebenarannya. Memang benar, Imam as-Suyuthi rahimahullah berpendapat bahwa kedua orang tua Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam beriman dan selamat dari neraka, namun hal ini menyelisihi para hâfidz dan para ulama peneliti hadîts.[8]

Kesalahan Kedua
Penulis kitab Barzanji mengajak para pembacanya agar mereka menyakini bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam hadir pada saat membaca shalawat, terutama ketika Mahallul Qiyâm (posisi berdiri), hal itu sangat nampak sekali di awal qiyâm (berdiri) membaca:

مَرْحَبًا يَا مَرْحَبًا يَا مَرْحَبًا مَرْحَبًا ياَ جَدَّ الْحُسَيْنِ مَرْحَبًا

Selamat datang, selamat datang, selamat datang, selamat datang wahai kakek Husain selamat datang.

Bukankah ucapan selamat datang hanya bisa diberikan kepada orang yang hadir secara fisik?. Meskipun di tengah mereka terjadi perbedaan, apakah yang hadir jasad nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam bersama ruhnya ataukah ruhnya saja. Muhammad Alawi al-Maliki (seorang pembela perayaan maulid-red) mengingkari dengan keras pendapat yang menyatakan bahwa yang hadir adalah jasadnya. Menurutnya, yang hadir hanyalah ruhnya.

Padahal Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah berada di alam Barzah yang tinggi dan ruhnya dimuliakan Allah Azza wa Jalla di surga, sehingga tidak mungkin kembali ke dunia dan hadir di antara manusia.

Pada bait berikutnya semakin jelas nampak bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam diyakini hadir, meskipun sebagian mereka meyakini yang hadir adalah ruhnya.

يَا نَبِيْ سَلاَمٌ عَلَيْكَ يَا رَسُوْلُ سَلاَمٌ عَلَيْكَ
يَا حَبِيْبُ سَلاَمٌ عَلَيْكَ صَلَوَاتُ اللهِ عَلَيْكَ

Wahai Nabi salam sejahtera atasmu, wahai Rasul salam sejahtera atasmu
Wahai kekasih salam sejahtera atasmu, semoga rahmat Allah tercurah atasmu.

Para pembela Barzanji seperti penulis “Fikih Tradisionalis” berkilah, bahwa tujuan membaca shalawat itu adalah untuk mengagungkan nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Menurutnya, salah satu cara mengagungkan seseorang adalah dengan berdiri, karena berdiri untuk menghormati sesuatu sebetulnya sudah menjadi tradisi kita. Bahkan tidak jarang hal itu dilakukan untuk menghormati benda mati. Misalnya, setiap kali upacara bendera dilaksanakan pada hari Senin, setiap tanggal 17 Agustus, maupun pada waktu yang lain, ketika bendera merah putih dinaikkan dan lagu Indonesia Raya dinyanyikan, seluruh peserta upacara diharuskan berdiri. Tujuannya tidak lain adalah untuk menghormati bendera merah putih dan mengenang jasa para pejuang bangsa. Jika dalam upacara bendera saja harus berdiri, tentu berdiri untuk menghormati Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam lebih layak dilakukan, sebagai ekspresi bentuk penghormatan kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Bukankah Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah manusia teragung yang lebih layak dihormati dari pada orang lain?[9]

Ini adalah qiyâs yang sangat rancu dan rusak. Bagaimana mungkin menghormati Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam disamakan dengan hormat bendera ketika upacara, sedangkan kedudukan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sangat mulia dan derajatnya sangat agung, baik saat hidup atau setelah wafat. Bagaimana mungkin beliau disambut dengan cara seperti itu, sedangkan beliau berada di alam Barzah yang tidak mungkin kembali dan hadir ke dunia lagi. Disamping itu, kehadiran Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam ke dunia merupakan keyakinan batil karena termasuk perkara ghaib yang tidak bisa ditetapkan kecuali berdasarkan wahyu Allah Azza wa Jalla, dan bukan dengan logika atau qiyas. Bahkan, pengagungan dengan cara tersebut merupakan perkara bid’ah. Pengagungan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terwujud dengan cara menaatinya, melaksanakan perintahnya, menjauhi larangannya, dan mencintainya.

Melakukan amalan bid'ah, khurafat, dan pelanggaran, bukan merupakan bentuk pengagungan terhadap Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Demikian juga dengan acara perayaan maulîd Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan perbuatan tersebut termasuk bid'ah yang tercela.

Manusia yang paling besar pengagungannya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah para sahabat Radhiyallahu 'anhum -semoga Allah meridhai mereka- sebagaimana perkataan Urwah bin Mas'ûd kepada kaum Quraisy: “Wahai kaumku, demi Allah, aku pernah menjadi utusan kepada raja-raja besar, aku menjadi utusan kepada kaisar, aku pernah menjadi utusan kepada Kisra dan Najasyi, demi Allah aku belum pernah melihat seorang raja yang diagungkan oleh pengikutnya sebagaimana pengikut Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam mengagungkan Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tidaklah Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam meludah kemudian mengenai telapak tangan seseorang di antara mereka, melainkan mereka langsung mengusapkannya ke wajah dan kulit mereka. Apabila ia memerintahkan suatu perkara, mereka bersegera melaksanakannya. Apabila beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berwudhu, mereka saling berebut bekas air wudhunya. Apabila mereka berkata, mereka merendahkan suaranya dan mereka tidak berani memandang langsung kepadanya sebagai wujud pengagungan mereka”.[10]

Bentuk pengagungan para sahabat kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas sangat besar. Namun, mereka tidak pernah mengadakan acara maulid dan kemudian berdiri dengan keyakinan ruh Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam sedang hadir di tengah mereka. Seandainya perbuatan tersebut disyariatkan, niscaya mereka tidak akan meninggalkannya.

Jika para pembela maulîd tersebut berdalih dengan hadîts Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam,’Berdirilah kalian untuk tuan atau orang yang paling baik di antara kalian [11], maka alasan ini tidak tepat.

Memang benar Imam Nawawi rahimahullah berpendapat bahwa pada hadits di atas terdapat anjuran untuk berdiri dalam rangka menyambut kedatangan orang yang mempunyai keutamaan[12]. Namun, tidak dilakukan kepada orang yang telah wafat meskipun terhadap Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Bahkan pendapat yang benar, hadits tersebut sebagai anjuran dan perintah Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada orang-orang Anshar Radhiyallahu 'anhum agar berdiri dalam rangka membantu Sa’ad bin Muadz Radhiyallahu 'anhu turun dari keledainya, karena dia sedang luka parah, bukan untuk menyambut atau menghormatinya, apalagi mengagungkannya secara berlebihan[13].

Kesalahan Ketiga
Penulis kitab Barzanji mengajak untuk mengkultuskan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam secara berlebihan dan menjadikan Nabi sebagai tempat untuk meminta tolong dan bantuan sebagaimana pernyataannya.

فِيْكَ قَدْ أَحْسَنْتُ ظَنِّيْ ياَ بَشِيْرُ ياَ نَذِيـْـُر
فَأَغِثْنِيْ وَأَجِـــن ياَ مُجِيْرُ مِنَ السَّعِيْرِ
يَاغَيَاثِيْ يَا مِــلاَذِيْ فِيْ مُهِمَّاتِ اْلأُمُــوْرِ

Padamu sungguh aku telah berbaik sangka. Wahai pemberi kabar gembira wahai pemberi peringatan.
Maka tolonglah aku dan selamatkanlah aku. Wahai pelindung dari neraka Sa’ir. Wahai penolongku dan pelindungku. Dalam perkara-perkara yang sangat penting (suasana susah dan genting).

Sikap berlebihan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, mengangkatnya melebihi derajat kenabian dan menjadikannya sekutu bagi Allah Azza wa Jalla dalam perkara ghaib dengan memohon kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dan bersumpah dengan nama beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam merupakan sikap yang sangat dibenci Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahkan termasuk perbuatan syirik. Do’a dan tindakan tersebut menyakiti serta menyelisihi petunjuk dan manhaj dakwah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahkan menyelisihi pokok ajaran Islam yaitu tauhîd. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengkhawatirkan akan terjadinya hal tersebut, sehingga ketika beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sakit yang membawa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada kematian, beliau bersabda: “Janganlah kamu berlebihan dalam mengagungkanku sebagaimana kaum Nasrani berlebihan ketika mengagungkan Isa ibnu Maryam. Aku hanyalah seorang hamba, maka katakanlah aku adalah hamba dan utusan-Nya”.[14]

Telah dimaklumi, bahwa kaum Nasrani menjadikan Nabi Isa Alaihissalam sebagai sekutu bagi Allah Azza wa Jalla dalam peribadatan mereka. Mereka berdoa kepada Nabi-nya dan meninggalkan berdoa kepada Allah Azza wa Jalla, padahal ibadah tidak boleh dipalingkan kepada selain Allah Azza wa Jalla. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberikan peringatan kepada umatnya agar tidak menjadikan kuburan beliau sebagai tempat berkumpul dan berkunjung, sebagaimana dalam sabdanya Shallallahu 'alaihi wa sallam : “Janganlah kamu jadikan kuburanku tempat berkumpul, bacalah salawat atasku, sesunggguhnya salawatmu sampai kepadaku dimanapun kamu berada”.[15]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan peringatan keras kepada umatnya tentang sikap berlebihan dalam menyanjung dan mengagungkan beliau Shallallahu 'alaihi wa salllam. Bahkan, ketika ada orang yang berlebihan dalam mengagungkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, mereka berkata: “Engkau Sayyid kami dan anak sayyid kami, engkau orang terbaik di antara kami, dan anak dari orang terbaik di antara kami”, maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada mereka: “Katakanlah dengan perkataanmu atau sebagiannya, dan jangan biarkan syaitan menggelincirkanmu”.[16]

Termasuk perbuatan yang berlebihan dan melampui batas terhadap Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah bersumpah dengan nama beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena sumpah adalah bentuk pengagungan yang tidak boleh diberikan kecuali kepada Allah Azza wa Jalla. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa bersumpah hendaklah bersumpah dengan nama Allah Azza wa Jalla, jikalau tidak bisa hendaklah ia diam”.[17]

Cukuplah dengan hadits tentang larangan bersikap berlebihan dalam mengagungkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjadi dalil yang tidak membutuhkan tambahan dan pengurangan. Bagi setiap orang yang ingin mencari kebenaran, niscaya ia akan menemukannya dalam ayat dan hadits tersebut, dan hanya Allah-lah yang memberi petunjuk.

Kesalahan Keempat
Penulis kitab Barzanji menurunkan beberapa shalawat bid’ah yang mengandung pujian yang sangat berlebihan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Para pengagum kitab Barzanji menganggab bahwa membaca shalawat kepada nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam merupakan ibadah yang sangat terpuji. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :

"Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya". [QS al-Ahzâb Ayat 56]

Penafsiran ayat ini yang mereka jadikan sebagai dalil untuk membaca kitab tersebut pada setiap peringatan maulîd Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Padahal, ayat di atas merupakan bentuk perintah kepada umat Islam agar mereka membaca shalawat di mana pun dan kapan pun tanpa dibatasi saat tertentu seperti pada perayaan maulîd Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Tidak dipungkiri bahwa bersalawat atas Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terutama ketika mendengar nama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam disebut sangat dianjurkan. Apabila seorang muslim meninggalkan salawat atas Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, ia akan terhalang dari melakukan hal-hal yang bisa mendatangkan manfaat, baik di dunia dan akhirat, yaitu:
  • Terkena doa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam : “Sungguh celaka bagi seseorang yang disebutkan namaku di sisinya, namun ia tidak bersalawat atasku”.[18]
  • Mendapatkan gelar bakhil dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Orang bakhîl adalah orang yang ketika namaku disebut di sisinya, ia tidak bersalawat atasku”[19].
  • Tidak mendapatkan pahala yang berlipat ganda dari Allah Azza wa Jalla, karena meninggalkan membaca salawat dan salam atas Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan keluarganya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa membaca salawat atasku sekali, maka Allah Azza wa Jalla bersalawat atasnya sepuluh kali”.[20]
  • Tidak mendapatkan keutamaan salawat dari Allah Azza wa Jalla dan para Malaikat. Allah Azza wa Jalla berfirman: "Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya memohonkan ampunan untukmu, supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya yang terang dan Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman" [QS al-Ahzâb Ayat 43]
Bahkan, membaca shalawat menjadi sebab lembutnya hati, karena membaca shalawat termasuk bagian dari dzikir. Dengan dzikir, hati menjadi tenteram dan damai sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla : “Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah Azza wa Jalla. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram”. (QS Ar-Ra'd Ayat 28). Tetapi dengan syarat membaca shalawat secara benar dan ikhlas karena Allah Azza wa Jalla semata, bukan shalawat yang dikotori oleh bid’ah dan khufarat serta terlalu berlebihan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sehingga bukan mendapat ketenteraman di dunia dan pahala di akherat, melainkan sebaliknya, mendapat murka dan siksaan dari Allah Azza wa Jalla. Siksaan tersebut bukan karena membaca shalawat, namun karena menyelisihi sunnah ketika membacanya. Apalagi, dikhususkan pada malam peringatan maulîd Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam saja, yang jelas-jelas merupakan perayaan bid’ah dan penyimpangan terhadap Syariat.

Kesalahan Kelima
Penulis kitab Barzanji juga menyakini tentang Nur Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana yang terungkap dalam syairnya:

وَماَ زَالَ نُوْرُ الْمُصْطَفَى مُتْنَقِلاً مِنَ الطَّيِّبِ اْلأَتْقَي لِطاَهِرِ أَرْدَانٍ

Nur Mustafa (Muhammad) terus berpindah-pindah dari sulbi yang bersih kepada yang sulbi suci nan murni.

Bandingkanlah dengan perkataan kaum zindiq dan sufi, seperti al-Hallaj yang berkata: “Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memiliki cahaya yang kekal abadi dan terdahulu keberadaannya sebelum diciptakan dunia. Semua cabang ilmu dan pengetahuan di ambil dari cahaya tersebut dan para Nabi sebelum Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam menimba ilmu dari cahaya tersebut". [21]
Demikian juga perkataan Ibnul Arabi Atthâ'i bahwa semua Nabi sejak Nabi Adam Alaihissalam hingga Nabi terakhir mengambil ilmu dari cahaya kenabian Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu penutup para Nabi”.[22]

Perlu kita diketahui bahwa ghuluw itu banyak sekali macamnya. Kesyirikan ibarat laut yang tidak memiliki tepi. Kesyirikan tidak hanya terbatas pada perkataan kaum Nasrani saja, karena umat sebelum mereka juga berbuat kesyirikan dengan menyembah patung, sebagaimana perbuatan kaum jahiliyah. Di antara mereka tidak ada yang mengatakan kepada Tuhan mereka seperti perkataan kaum Nasrani kepada Nabi Isa Alaihissalam, seperti; dia adalah Allah, anak Allah, atau menyakini prinsip trinitas mereka. Bahkan mereka mengakui bahwa tuhan mereka adalah kepunyaan Allah Azza wa Jalla dan di bawah kekuasaan-Nya. Namun mereka menyembah tuhan-tuhan mereka dengan keyakinan bahwa tuhan-tuhan mereka itu mampu memberi syafaat dan menolong mereka.

Demikian uraian sekilas tentang sebagian kesalahan kitab Barzanji, seperti yang telah disampaikan oleh penulis Ustadz Abu Ahmad Zainal Abidin , semoga bermanfaat.[23]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XII/1430H/2009M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_________
Footnotes
  • [1]. Al-Munjid fî al A’lâm, 125
  • [2]. Majmûatul Mawâlid, hal. 132.
  • [3]. HR.Tirmidzi dan dishahîhkan al Albâni di dalam shâhihul jam'i hadits yang ke 6468
  • [4]. Lihat Majmûatul Mawâlid Barzanji, hal. 101.
  • [5]. Shahih diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahihnya (348) dan Abu Daud dalam Sunannya (4718).
  • [6]. Lihat Minhâj Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawi, 3/ 74.
  • [7]. Aunul Ma’bûd, Abu Thayyib (12/ 324)
  • [8]. Aunul Ma’bûd, Abu Thayyib (12/ 324)
  • [9]. Lihat Fikih Tradisionalisme, Muhyiddîn Abdusshâmad (277-278)
  • [10]. Diriwayatkan oleh al-Bukhâri : 3/187, no : 2731, 2732, al-Fath 5/388.
  • [11]. Shahih diriwayatkan Imam Bukhâri dalam Shahîhnya (3043) & Imam Muslim dalam Shahîhnya (1768)
  • [12]. Lihat Minhâj Syarah Shahîh Muslim, Imam Nawawi, juz XII, hal. 313.
  • [13]. Lihat Ikmâlil Mu’lim Bi Syarah Shahîh Muslim, Qadhi Iyadh, 6/ 105.
  • [14]. Shahîh diriwayatkan Imam Bukhâri dalam Shahîhnya (3445)
  • [15]. Shahîh diriwayatkan oleh Abu Dâwud dengan sanad yang shahîh (2042) dan dishahîhkan oleh Syaikh Albâni dalam Ghâyatul Marâm : 125
  • [16]. Shahîh, dishahîhkan oleh Albâni dalam Ghâyatul Marâm 127, lihatlah takhrîj beliau di dalamnya.
  • [17]. Shahîh, diriwayatkan oleh Imam Bukhâri dalam Shahîhnya (2679) dan Imam Muslim dalam Shahîhnya (1646)
  • [18]. Shahîh, diriwayatkan Imam at-Tirmidzi dalam Sunannya (3545), Imam Ahmad dalam Musnadnya 2/254, dan dishahîhkan oleh Albâni dalam irwâ' : 6
  • [19]. Shahîh diriwayatkan Imam Tirmidzi dalam Sunannya (3546), Imam Ahmad dalam Musnadnya 1/201 dan dishahîhkan Albâni dalam irwâ' : 5
  • [20]. Shahîh diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahîhnya (284).
  • [21]. Majmûatul Mawâlîd (101).
  • [22]. Lihat perinciannya dalam kitab Mahabbatur Rasûlullâh oleh Abdur Rauf Utsman (169-192).
  • [23]. Insya Allah, untuk lebih jelasnya akan penulis sampaikan dalam buku ”Ritual Tradisional”. Semoga Allah Azza wa Jalla memudahkan penulisan buku ini yang memuat 40 bid’ah populer di kalangan kaum tradisional di Indonesia yang meliputi, Shalawâtan, Barzanjian, Daibaan, Yasinan, Tahlilan, Ratiban, Manaqiban, Rajaban, Sya’banan, Selamatan dan bid’ah-bid’ah lain.

Sabtu, 31 Agustus 2013

A BRIEF HISTORY OF FILM

Experiments in motion pictures began in the United States and Europe during the late 19th century. American inventor Thomas Alva Edison patented the first movie machine, the Kinetoscope, in 1891.  Four years later, French inventors Louis and Auguste Lumiere demonstrated the camera-projector called the cinematographe.  American filmmaker Edwin S. Porter's eight-minute The Great Train Robbery (1903) launched the movies as mass entertainment.
American filmmakers soon became preeminent.  Major studios were situated in New York, with D.W. Griffith the medium's most influential director.  In dozens of films, he developed a grammar of shots and lighting effects to evoke audience emotion.  His highly successful The Birth of a Nation (1915) pioneered the idea of film as art.

Between 1910 and 1920, American filmmaking shifted to Hollywood.  Leading directors such as Cecil B. DeMille (The Ten Commandments, 1923), Ernst Lubitsch (The Marriage Circle, 1924), and John Ford (The Iron Horse, 1924) offered a variety of genres---epics, romantic comedies, and westerns.  Mack Sennett pioneered film slapstick with the Keystone Cops and introduced English comic Charlie Chaplin.  Portraying the forlorn "tramp" in The Kid (1921), The Gold Rush (1925), and others, Chaplin became one of the first international movie stars.
Several other countries established themselves as filmmaking centers. Germany was the birthplace of the expressionist movement, embodied in Robert Weine's The Cabinet of Dr. Caligari (1919).  In Russia, Sergei Eisenstein's Potemkin (1925) epitomiozed the idea of montage.  France became a rich film source, with such humanistic directors as Rene Clair and Abel Gance.
The 1927 U.S. film The Jazz Singer introduced sound to movies, revolutionizing the industry worldwide. Genres requiring witty or action-oriented dialogue, such as gangster movies and screwball comedies, gained primacy, as did extravagant musicals.  The American studios, including Metro-Goldwyn-Mayer, Paramount, and Warner Bros., honed a "studio system" that produced a steady stream of films and stars for Depression-era audiences seeking escape.  American stars of the period included James Cagney, Bette Davis, Clark Gable, Cary Grant, and Katharine Hepburn.  The system reached its apex in 1939, with dozens of now-classic films, including the Civil War epic Gone With the Wind (1939).
High artistic achievements marked European cinema during the years before WWII.  Notable films included Jean Renior's antiwar classic Grand Illusion and Leni Riefenstahl's Nazi paean Triumph of the Will (1935).
WWII and its aftermath also brought heightened realism to international filmmaking.  Italian directors Roberto Rossellini and Vittorio DeSica ushered in neorealism with, respectively, Open City (1949) and  The Bicycle Thief (1945).  Countering the trend toward realism were such stylized, idiosyncratic filmmakers as Italy's Federico Fellini (La Dolce Vita, 1960) and Swedish psychological master Ingmar Bergman (The Seventh Seal,1956).
In the 1950s and 1960s, a group of French directors (many of them film critics), initiated the nouvelle vogue (new wave).  This movement of quirky, original films included Francois Truffaut's The Four Hundred Blows(1959) and Jean-Luc Godard's Breathless (1960).  German cinema reinvented itself after WWII with the varied social critiques of directors Werner Herzog, Wim Wenders, and Rainer Werner Fassbinder (The Marriage of Maria Braun, 1979).
Nonwestern cinema gained an international following after World War II through the works of Japanese directors Akira Kurosawa (Rashomon, 1950) and Yasujiro Ozu (The Tokyo Story, 1953) and Indian filmmaker Satyajit Ray (Pather Panchali, 1955).  National cinemas that have come to prominence since the1970s include those of Australia and New Zealand, the former offering such filmmakers as Peter Weir and the latter, Jane Campion. 
Changing tastes, decreased film attendance, and corporate takeovers effectively destroyed the American studio system by the end of the 1960s.  In its wake came increased experimentation and independence through filmmakers such as Stanley Kubrick, Robert Altman, Francis Ford Coppola and Martin Scorsese.  In recent years, independent studios have grown in stature, becoming known for supporting high-quality original filmmaking. 
American films since the 1970s have been distinguished by the big-budget blockbuster.  Primarily special-effects-laden fare for an increasingly younger target audience, the blockbuster has been dominated by two directors: George Lucas and Steven Spielberg.
(Source: N.Y. Public Library Desk Reference, p. 205.)

Jumat, 30 Agustus 2013

Sejarah Singkat Film


Percobaan dalam film dimulai di Amerika Serikat dan Eropa pada akhir abad 19. Penemu Amerika Thomas Alva Edison mematenkan mesin film pertama, Kinetoscope, pada tahun 1891. Empat tahun kemudian, Prancis penemu Louis dan Auguste Lumiere menunjukkan-proyektor kamera yang disebut cinématographe. Delapan menit The Great Train Robbery Amerika pembuat film Edwin S. Porter (1903) meluncurkan film sebagai hiburan massal.

Pembuat film Amerika segera menjadi unggul. Studio besar yang terletak di New York, dengan DW Direktur paling berpengaruh Griffith media itu. Dalam puluhan film, ia mengembangkan tata bahasa tembakan dan efek pencahayaan untuk membangkitkan emosi penonton. Yang sangat sukses Kelahiran Bangsa (1915) memelopori ide film sebagai seni.

Antara 1910 dan 1920, pembuatan film Amerika bergeser ke Hollywood. Memimpin sutradara seperti Cecil B. DeMille (The Ten Commandments, 1923), Ernst Lubitsch (The Marriage Circle, 1924), dan John Ford (The Iron Horse, 1924) menawarkan berbagai genre --- epos, komedi romantis, dan western. Mack Sennett merintis slapstick film dengan Polisi Keystone dan memperkenalkan bahasa Inggris komik Charlie Chaplin. Menggambarkan sedih "gelandangan" di The Kid (1921), The Gold Rush (1925), dan lain-lain, Chaplin menjadi salah satu pertama bintang film internasional.

Beberapa negara lain menetapkan diri sebagai pusat pembuatan film. Jerman adalah tempat kelahiran gerakan ekspresionis, diwujudkan dalam Robert Weine The Kabinet Dr Karnaval (1919). Di Rusia, Sergei Eisenstein Potemkin (1925) epitomiozed gagasan montase. Perancis menjadi sumber film yang kaya, dengan direktur humanistik seperti Rene Clair dan Abel Gance.

1927 film AS The Jazz Singer memperkenalkan suara untuk film, merevolusi industri di seluruh dunia. Genre membutuhkan lucu atau berorientasi aksi dialog, seperti film-film gangster dan komedi sinting, memperoleh keutamaan, seperti yang dilakukan musikal boros. Studio Amerika, termasuk Metro Goldwyn-Mayer-, Paramount, dan Warner Bros, diasah "sistem studio" yang menghasilkan aliran film dan bintang untuk pemirsa era Depresi mencari pelarian. Bintang Amerika periode termasuk James Cagney, Bette Davis, Clark Gable, Cary Grant, dan Katharine Hepburn. Sistem ini mencapai puncaknya pada tahun 1939, dengan puluhan film sekarang-klasik, termasuk epik Perang Saudara Gone With the Wind (1939).

Prestasi artistik yang tinggi ditandai bioskop Eropa selama tahun sebelum Perang Dunia II. Film dicatat termasuk Jean Renior yang antiperang klasik Grand Illusion dan Leni Riefenstahl Nazi lagu pujian Triumph of Will (1935).

Perang Dunia II dan sesudahnya juga membawa realisme tinggi untuk pembuatan film internasional. Italia Roberto Rossellini direksi dan Vittorio DeSica diantar dalam neorealisme dengan masing-masing, Open City (1949) dan The Bicycle Thief (1945). Melawan kecenderungan menuju realisme yang seperti bergaya, pembuat film istimewa seperti Italia Federico Fellini (La Dolce Vita, 1960) dan Swedia psikologis menguasai Ingmar Bergman (The Seventh Seal, 1956).

Pada 1950-an dan 1960-an, sekelompok direksi Perancis (banyak dari mereka kritikus film), memprakarsai nouvelle vogue (gelombang baru). Gerakan ini unik, film asli termasuk Francois Truffaut The Empat Ratus Blows (1959) dan Jean-Luc Godard Breathless (1960). Jerman bioskop diciptakan kembali dirinya setelah Perang Dunia II dengan kritik sosial bervariasi direksi Werner Herzog, Wim Wenders, dan Rainer Werner Fassbinder (The Marriage of Maria Braun, 1979).

Nonwestern bioskop mendapatkan sebuah berikut internasional setelah Perang Dunia II melalui karya-karya Akira Kurosawa direksi Jepang (Rashomon, 1950) dan Yasujiro Ozu (Tokyo Story, 1953) dan India pembuat film Satyajit Ray (Pather Panchali, 1955). Bioskop nasional yang telah menjadi terkenal sejak the1970s termasuk orang-orang Australia dan Selandia Baru, mantan menawarkan pembuat film seperti Peter Weir dan yang terakhir, Jane Campion.

Perubahan selera, penurunan kehadiran Film, dan pengambilalihan perusahaan secara efektif menghancurkan sistem studio Amerika pada akhir 1960-an. Di belakangnya datang meningkat eksperimentasi dan kemerdekaan melalui pembuat film Stanley Kubrick seperti, Robert Altman, Francis Ford Coppola dan Martin Scorsese. Dalam beberapa tahun terakhir, studio independen telah tumbuh dalam perawakannya, menjadi terkenal karena mendukung berkualitas tinggi pembuatan film aslinya.

Film-film Amerika sejak 1970-an telah dibedakan oleh blockbuster beranggaran besar. Terutama khusus efek-sarat tarif untuk audiens target yang semakin muda, blockbuster telah didominasi oleh dua direktur: George Lucas dan Steven Spielberg.

(Sumber: NY Public Library Desk Reference, p 205)

Kamis, 29 Agustus 2013

Sekelumit Kisah di Balik Penghapusan Syariat Islam Dalam Naskah Piagam Jakarta.

Ada khianat dan dusta, di balik terhapusnya kalimat, “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dalam Piagam Jakarta yang juga Pembukaan UUD 1945. Sikap toleran tokoh-tokoh Islam, dibalas dengan tipu-tipu politik!
Sebagaimana ditulis (Saif al-Battar, arrahmah.com) sebelumnya, sehari pasca pembacaan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945, tujuh kata dalam Piagam Jakarta dihapuskan. Di antara tokoh yang sangat gigih menolak penghapusan itu adalah tokoh Muhammadiyah, Ki Bagus Hadikusumo. Saking gigihnya, sampai-sampai Soekarno dan Hatta tak berani bicara langsung dengan Ki Bagus. Soekarno terkesan menghindar dan canggung, karena bagi Ki Bagus, penegakan syariat Islam adalah harga mati yang tak bisa ditawar lagi.

Untuk meluluhkan pendirian Ki Bagus, Soekarno kemudian mengirim utusan bernama Teuku Muhammad Hassan dan KH Wahid Hasyim agar bisa melobi Ki Bagus. Namun, keduanya tak mampu meluluhkan pendirian tokoh senior di Muhammadiyah ketika itu. Akhirnya, dipilihlah Kasman Singodimedjo yang juga orang Muhammadiyah, untuk melakukan pendekatan secara personal, sesama anggota Muhammadiyah, untuk melunakkan sikap dan pendirian Ki Bagus Hadikusumo.

Dalam memoirnya yang berjudul ”Hidup Itu Berjuang“, Kasman menceritakan bahwa ia mendatangi Ki Bagus dan berkomunikasi dengan bahasa Jawa halus (kromo inggil). Kepada Ki Bagus, Kasman membujuk dengan mengatakan,

“Kiai, kemarin proklamasi kemerdekaan Indonesia telah terjadi. Hari ini harus cepat-cepat ditetapkan Undang-Undang Dasar sebagai dasar kita bernegara, dan masih harus ditetapkan siapa presiden dan lain sebagainya untuk melancarkan perputaran roda pemerintahan. Kalau bangsa Indonesia, terutama pemimpin-pemimpinnya cekcok, lantas bagaimana?!

Kiai, sekarang ini bangsa Indonesia kejepit di antara yang tongol-tongol dan yang tingil-tingil. Yang tongol-tongol  ialah balatentara Dai Nippon yang masih berada di bumi Indonesia dengan persenjataan modern. Adapun yang tingil-tingil (yang mau masuk kembali ke Indonesia, pen) adalah sekutu termasuk di dalamnya Belanda, yaitu dengan persenjataan yang modern juga. Jika kita cekcok, kita pasti akan konyol.

Kiai, di dalam rancangan Undang-Undang Dasar yang sedang kita musyawarahkan hari ini tercantum satu pasal yang menyatakan bahwa 6 bulan lagi nanti kita dapat adakan Majelis Permusyawaratan Rakyat, justru untuk membuat Undang-Undang Dasar yang sempurna. Rancangan yang sekarang ini adalah  rancangan Undang-Undang Dasar darurat. Belum ada waktu untuk membikin yang sempurna atau memuaskan semua pihak, apalagi di dalam kondisi kejepit!

Kiai, tidakkah bijaksana jikalau kita sekarang sebagai umat Islam yang mayoritas ini sementara mengalah, yakni menghapus tujuh kata termaksud demi kemenangan cita-cita kita bersama, yakni tercapainya Indonesia Merdeka sebagai negara yang berdaulat, adil, makmur, tenang tenteram, diridhai Allah SWT.”

Kasman juga menjelaskan perubahan yang diusulkan oleh Mohammad Hatta, bahwa kata ”Ketuhanan” ditambah dengan ”Ketuhanan Yang Maha Esa”.  KH A Wahid Hasyim dan Teuku Muhammad Hassan yang ikut dalam lobi itu menganggap Ketuhanan Yang Maha Esa adalah AllahSubhanahu wa Ta’ala, bukan yang lainnya. Kasman menjelaskan, Ketuhanan Yang Maha Esa menentukan arti Ketuhanan dalam Pancasila. ”Sekali lagi bukan Ketuhanan sembarang Ketuhanan, tetapi yang dikenal Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa,” kata Kasman meyakinkan Ki Bagus.

Kasman juga menjelaskan kepada Ki Bagus soal janji Soekarno yang mengatakan bahwa enam bulan lagi akan ada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk membuat undang-undang yang sempurna. Di sanalah nanti kelompok Islam bisa kembali mengajukan gagasan-gagasan Islam. Karena Soekarno ketika itu mengatakan, bahwa perubahan ini adalah Undang-Undang Dasar sementara, Undang-undang Dasar kilat. “Nanti kalau kita telah bernegara di dalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat Undang-Undang yang lebih lengkap dan sempurna,” kata Soekarno.

”Hanya dengan kepastian dan jaminan enam bulan lagi sesudah Agustus 1945 itu akan dibentuk sebuah Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Majelis pembuat Undang-Undang Dasar Negara guna memasukkan materi Islam itu ke dalam undang-undang dasar yang tetap, maka bersabarlah Ki Bagus Hadikusumo itu untuk menanti,” kenang Kasman dalam memoirnya.

Selain soal jaminan di atas, tokoh-tokoh Islam juga dihadapkan pada suatu situasi terjepit dan sulit, dimana kalangan sekular selalu mengatakan bahwa kemerdekaan yang sudah diproklamasikan membutuhkan persatuan yang kokoh. Inilah yang disebut Kasman dalam memoirnya bahwa kalangan sekular pintar memanfaatkan momen psikologis, dimana bangsa ini butuh persatuan, sehingga segala yang berpotensi memicu perpecahan harus diminimalisir. Dan yang perlu dicatat, tokoh-tokoh Islam yang dari awal menginginkan negeri ini merdeka dan bersatu, saat itu begitu legowo untuk tidak memaksakan kehendaknya mempertahankan tujuh kata tersebut, meskipun begitu pahit rasanya hingga saat ini. Sementara kalangan sekular-Kristen yang minoritas selalu membuat move politik yang memaksakan kehendak mereka.

Namun sikap toleran dan legowo tokoh-tokoh Islam ternyata dikhianati. Kasman sendiri akhirnya menyesal telah membujuk dan melobi Ki Bagus hingga akhirnya tokoh Muhammadiyah itu menerima penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Setelah berhasil melobi Ki Bagus, sebagaimana diceritakan Kasman dalam Memoirnya, ia gelisah dan tidak bisa tidur. Kepada keluarganya ia tidak bicara, diam membisu. Ia menceritakan dalam memoirnya,

”Alangkah terkejut saya waktu mendapat laporan dari Cudhanco Latief Hendraningrat, bahwa balatentara Dai Nippon (Jepang, pen) telah mengepung Daidan, dan kemudian merampas semua senjata dan mesiu yang ada di Daidan. Selesai laporan, maka Latief Hendraningrat hanya dapat menangis seperti anak kecil, dan menyerahkan diri kepada saya untuk dihukum atau diampuni. Nota bene, Latief sebelum itu, bahkan sebelum memberi laporannya telah meminta maaf terlebih dahulu.

Ya apa mau dibuat! Saya pun tak dapat berbuat apa-apa. Saya mencari kesalahan pada diri saya sendiri sebelum menunjuk orang lain bersalah. Ini adalah pelajaran Islam. Memang saya ada bersalah, mengapa saya sebagai militer kok ikut-ikutan berpolitik dengan memenuhi panggilan Bung Karno!?

….Malamnya tanggal (18 Agustus malam menjelang 19 Agustus 1945) itu sengaja saya membisu. Kepada keluargapun saya tidak banyak bicara, saya pun lelah, letih sekali hari itu, lagi pula kesal di hati. Siapa yang harus saya marahi?”

Kasman mengatakan, ada dua kehilangan besar dalam sejarah bangsa ini ketika itu. Pertama, penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang menjadi Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Kedua, hilangnya sejumlah senjata milik tentara Indonesia dan lain-lainnya yang sangat vital pada waktu itu.

Kasman menyadari dirinya terlalu praktis dan tidak berpikir jauh dalam memandang Piagam Jakarta. Ia hanya terbuai dengan janji Soekarno yang mengatakan bahwa enam bulan lagi akan ada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat yang akan dapat memperbaiki kembali semua itu. Padahal dalam waktu enam bulan, mustahil untuk melakukan sidang perubahan di tengah kondisi yang masih bergolak. Meski Kasman telah mengambil langkah keliru, namun niat di hatinya sesungguhnya sangat baik, ingin bangsa ini bersatu.

“Sayalah yang bertanggung jawab dalam masalalah ini, dan semoga Allah mengampuni dosa saya,” kata Kasman sambil meneteskan air mata, seperti diceritakan tokoh Muhammadiyah Lukman Harun, saat Kasman mengulang cerita peristiwa tanggal 18 Agustus itu.

Dengan lantang dan berapi-api ia berpidato, “Saudara ketua, satu-satunya tempat yang tepat untuk menetapkan Undang-Undang Dasar yang tetap dan untuk menentukan dasar negara yang tentu-tentu itu ialah Dewan Konstituante ini! Justru itulah yang menjadi way out daripada pertempuran sengit di dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang telah pula saya singgung dalam pidato saya dalam pandangan umum babak pertama.

Saudara ketua, saya masih ingat, bagaimana ngototnya almarhum Ki Bagus Hadikusumo Ketua Umum Pusat Pimpinan Muhammadiyah yang pada waktu itu sebagai anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mempertahankan Islam untuk dimasukkan dalam muqoddimah dan Undang-Undang Dasar 1945. Begitu ngotot saudara ketua, sehingga Bung Karno dan Bung Hatta menyuruh Mr T.M Hassan sebagai putra Aceh menyantuni Ki Bagus Hadikusumo guna menentramkannya. Hanya dengan kepastian dan jaminan bahwa 6 bulan lagi sesudah Agustus 1945 kita akan bentuk sebuah Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Majelis Pembuat Undang-Undang Dasar yang tetap, maka bersabarlah Ki Bagus Hadikusumo untuk menanti.

Saudara ketua, kini juru bicara Islam Ki Bagus Hadikusumo itu telah meninggalkan kita untuk selama-lamannya, karena telah berpulang ke rahmatullah. Beliau telah menanti dengan sabarnya, bukan menanti 6 bulan seperti yang telah dijanjikan kepadanya. Beliau menanti, ya menanti sampai dengan wafatnya…

Gentlement agreement itu sama sekali tidak bisa dipisahkan daripada “janji” yang telah diikrarkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia kepada kami golongan Islam yang berada dalam panitia tersebut. Di dalam hal ini Dewan Konstituante yang terhormat dapat memanggil Mr. T.M Hassan, Bung Karno dan Bung Hatta sebagai saksi mutlak yang masih  hidup guna mempersaksikan kebenaran uraian saya ini…

Saudara ketua, di mana lagi jika tidak di Dewan Konstituante yang terhormat ini, saudara ketua, di manakah kami golongan Islam menuntut penunaian “janji” tadi itu? Di mana lagi tempatnya? Apakah Prof Mr Soehardi mau memaksa kita mengadakan revolusi? Saya persilakan saudara Prof Mr Soehardi menjawab pertanyaan saya ini secara tegas! Silakan!

Pidato Kasman di Sidang Konstituante yang sangat menyengat dan mengusulkan Islam sebagai dasar negara sungguh sebuah penebusan kesalahan yang sangat luar biasa.Dalam pidato tersebut, Kasman secara detil mengemukakan alasan-alasannya mengapa Islam layak dijadikan dasar negara, dan mempersilakan golongan lain untuk mengemukakan alasan-alasannya terhadap Pancasila.

Bagi Kasman, Islam adalah sumber mata air yang tak pernah kering dan tak akan ada habisnya  untuk digunakan sebagai dasar dari NKRI ini, jika negara ini dilandaskan pada Islam. Sedangkan Pancasila yang dijadikan dasar negara tak lebih seperti “air dalam tempayan”, yang diambil diangsur, digali dari “mata air” atau sumber yang universal itu, yaitu Islam.

Kasman mengatakan, “Ada yang mengira, si penemu—katakan kalau mau, ‘si penggali’ air dalam tempayan itu adalah sakti mandra guna, dianggapnya hampir-hampir seperti Nabi atau lebih daripada itu, dan tidak dapat diganggu gugat. Sedang air dalam tempayan itu, lama kelamaan, secara tidak terasa mungkin, dianggapnya sebagai air yang keramat, ya sebagai supergeloof (ideologi yang luar biasa, pen) yang tidak dapat dibahas dengan akal manusia, dan yang tidak boleh didiskusikan lagi di Konstituante sini. Masya Allah!”

Begitulah sekelumit kisah di balik penghapusan syariat Islam dalam naskah Piagam Jakarta. Ada dusta dan khianat dari mereka yang memberi janji-janji muluk kepada tokoh-tokoh Islam saat itu. Ada upaya-upaya yang jelas dan tegas untuk memarjinalkan Islam. Menggunting dalam lipatan, menelikung di tengah jalan, adalah politik yang dilakukan kelompok-kelompok yang tidak ingin negara ini berlandaskan pada syariat Islam.

Inilah pelajaran berharga bagi umat Islam, dimana sikap toleran kita terhadap kelompok minoritas justru dihadiahi janji-janji palsu dan dusta. Umat Islam harus menagih janji itu, bahwa Piagam Jakarta harus kembali diberlakukan!

Rabu, 28 Agustus 2013

Biografi Imam Nawawi

Sumber Gambar: Google
Beliau adalah Yahya bin Syaraf bin Hasan bin Husein bin Jam’ah Al-Haazi Muhyiddin Abu Zakariya An.-Nawawi Asy Syafi’i Al-’Allamah, Syaikhul Madzhab dan termasuk fuqaha’ senior.

Beliau lahir di Nawa, sebuah desa di selatan Damaskus pada tahun 631 H. Beliau tumbuh dan melihat lailatul qadar tatkala berumur tujuh tahun dan tanda-tanda kebagusannya telah nampak pada din beliau semenjak kecil.

Syaikh Yaasin bin Yusuf Al-Marakisyi berkata: “Aku melihat Syaikh tatkala beliau berumur 10 tahun di Nawa. Anak-anak yang lain memaksa beliau untuk diajak bermain, namun beliau lan dan mereka sembari menangis karena dipaksa bermain-main bersama mereka. Beliau menghafal Al-Qur’an pada umur tersebut dan jadilah Al-Qur’an itu sesuatu yang dicintai hatinya. Ayah beliau menyuruhnya menunggu toko, akan tetapi jual beli tidak menyibukkan beliau untuk membaca Al-Qur’an.

Syaikh Yasin berkata: “Aku mendatangi gurunya dan berwasiat kepadanya dan aku katakan: “Sesungguhnya ia (An-Nawawi) dapat diharapkan menjadi orang yang paling pandai di zamannya, yang paling zuhud dan manusia dapat mengambil manfaat dannya”. Maka guru tersebut berkata kepadaku: “Apakah engkau ini tukang ramal?” Aku katakan: “Bukan, ini hanyalah menurut Wawasan yang Allah berikan kepadaku”. Lalu guru tersebut mencenitakan hal itu kepada orang tuanya sehingga orang tuanya bersemangat untuk mendorong beliau agar segera menghafalkan Al-Qur’an dan memperlakukan beliau dengan lembut.”

KEDATANGAN BELIAU DI DAMASKUS DAN TINGGALNYA BELIAU DISANA
Imam An-Nawawi berkata: “Tatkala menginjak usia 19 tahun orang tuaku membawaku ke Damaskus lalu aku tinggal di Madrasah Rawahiyah selama kurang lebih dua tahun untuk mencari ilmu dan tinggal di dalamnya”. Beliau menegakkan ibadah dan beliau mencukupi keperluan hidupnya dan pemberian madrasah dan beliau infakkan sebagian darinya.

Beliau menunaikan haji tatkala beliau tinggal di Damaskus tahun 651 H. Beliau tinggal di Madinah Al-Munawarah selama satu setengah bulan, ketika itu wukuf di Arafah bertepatan dengan hari Jum’at. Disebutkan bahwa tatkala beliau keluar untuk pergi haji tiba-tiba terserang demam dan hal itu tidak berakhir hingga beliau wuquf di Arafah, namun beliau tetap bersabar, tidak berhenti sedikitpun. Setelah beliau menyempurnakan haji lalu kembali ke Damaskus. Setelah itu Allah betul-betul mencurahkan atas beliau dengan hujan ilmu dan nampaklah atasnya -sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Adz-Dzahabi dalam Siyaru A’lam AnNubala’- tanda-tanda kecerdikan dan kepandaiannya.

KESIBUKAN BELIAU DALAM MENCARI ILMU
Beliau senantiasa berkutat dengan ilmu dan meniti jejak para salaf dalam beribadah, baik dalam hal shalat, shiyam, wara’ dan tidak menyia-nyiakan waktu sedikitpun. Beliau membaca 12 pelajaran setiap harinya dari para syaikh berupa penjelasan maupun pendalaman dan kitab Al-Wasith, juga Al-Muhadzdzab, Al-Jam’u baina Shahihain, Shahih Muslim, Al-Lam’u karya Abu Ishaq AsySyairaazi,Ushul Al-Fiqh, Al-Muntakhib karya Fakhru Ar-Raazi, nama-nama rijalul hadits dan tentang pokok-pokok dien. Beliau juga menta’liq (mengomentari) apa-apa yang berkaitan dengan kitab-kitab tersebut, menerangkan yang sulit dan menjelaskan kaidah-kaidah bahasanya. Allah memberkahi waktu beliau dan membantunya untuk meraih apa yang beliau tekadkan.

Seakan iradah Allah telah mengistimewakan seorang alim yang agung ini untuk berkhidmat kepada ilmu-ilmu syar’i, sehingga pada gilirannya beliau menjadi rujukan bagi para ulama dan tumpuan para fuqaha’. Allah telah mencabut dan hati beliau unsur-unsur yang menjadi penghalang bagi tercapainya tujuan ini.

Beliau berkata: “Suatu ketika, terdetik di hatiku untuk menyibukkan din dengan ilmu kedokteran, maka aku membeli kitab Al-Qanun (karya Ibnu Sina) dan aku bertekad untuk menyibukkan din dengannya. Namun hatiku serasa gelap hingga berhari-hari aku tak ada semangat untuk berbuat apa-apa. Lalu aku memikirkan nasib diriku, dan pintu mana aku hendak berbuat. Kemudian Allah Ta’ala mengilhamkan aku untuk berkutat dengan ilmu kedokteran sebagai Sebab (kembalinya semangatku). Maka aku menjual buku tersebut dan aku keluarkan buku-buku di rumahku yang berkaitan dengan ilmu kedokteran, lalu hatiku serasa bersinar dan aku mendapatkan kembali apa yang telah hilang dariku”.

Dengan semangat beliau yang tinggi dalam hal ilmu ini, beliau tidak tidur malam melainkan sebentar saja. Beliau tidur sejenak bersandarkan buku-bukunya kemudian bangun untuk mengulangi pelajaran dan ilmu. Beliau tidak menyia-nyiakan waktu malam ataupun siangnya. Selalu beliau gunakan waktunya untuk sibuk dengan ilmu dan ibadah. Sarnpai-sampai manakala beliau bepergian, ketika berada di jalan beliau tetap asyik mengulang-ulang hafalannya, terlebih dengan banyaknya beliau membaca Al-Qur’an Al-Karim dan kebiasaan beliau untuk senantiasa berdzikir serta berpaling dan dunia menghadapkan wajahnya ke akhirat.

KARYA-KARYA BELIAU

Beliau memiliki karya yang berjumlah banyak, bermanfaat besar dan berfaedah agung. Di antara bab-babnya ada yang telah beliau sempurnakan ada pula yang belum disempurnakan. Di antara karya beliau adalah:
  1. Al-Arba’in
  2. Riyadhu Ash-Shalihin
  3. Al-Minhaaj lisyarhi Shahih Muslim bin Hajjaj
  4. Syarh Al-Jami’ Ash-Shahih Iil Bukhari
  5. Syarah Sunan Abi Daud
  6. At-Tahqiiq
  7. At-Tarkhish fii Al-Ikram bit Qiyaami ii Dzawil Fadhl wal Maziyah min Alili Al-Islam
  8. At-Taqrib wa At-Taisir li Ma’rifah Sunan Al-Basyir AnNadziir
  9. Taqriib Al-Irs yad ila Ilmi Al-Isnaad
  10. Tahdzib Al-Asma’ wa Al-Lughat
  11. Ruuh Al-Masa’il fii Al-Furuu’
  12. Al-Isyaaraat ila Bayaani Al-Asmaa’ Al-Mubhimaat fii Mutuuni Al Asaanid
  13. Uyuunu Al-Masa’il Al-Muliimmah
  14. Ghi its An-Naf’i fii Al-Qiraa’at As-Sab’i
  15. Al-Mublijm ‘Ala Huruufi Al-Mu’jam
  16. Mir’atu Az-Zamaan fii Taarikh Al-A’yaan
  17. Al-Mantsuuraat wa Uyuun Al-Masa’il Al-Muhimmat
  18. Al-Fatawa
  19. Thobaqaatul Fuqahaa’
  20. Tashnif Fil Istiqsa’ Wa Fi Istihbabil Qiyaam Li Ahlil Fadhl
Adapun kitab yang tidak sempat beliau tulis sampai selesai adalah:
  1. Syarh Al-Muhadzdzab. Ketika tengah menyusun kitab ini-lah beliau wafat. Kitab ini, baru sampai pada pembahasan Riba;
  2. At-Tahqiiq. Kitab ini baru sampai pada pembahasan Shalat Musafir;
  3. Syarh Muthawwal ’Alat Tanbih. Disebut juga dengan Tuhfatut Thalibin Nabiih, baru sampai pada pembahasan Shalat;
  4. Syarh Al-Wasith, disebut juga dengan At-Tanqih, baru sampai pada pembahasan Syarat Shalat; dan
  5. Al-Isyarat Ila MaWaqa’a Fir Raudhah Minal Asma’ Wal Ma’ani Wal Lughat. Kitab ini baru sampai pada pembahasan Shalat.
GURU-GURU BELIAU
Beliau menjumpai para ahli ilmu baik dalam bidang fikih, hadits, bahasa, ushul dan yang lain, mengambil manfaat dan mereka sesuai dengan spesialisasi mereka. Dan di antara syaikh-syaikh tersebut adalah:
  • Abu Ibrahim Ishaaq bin Ahmad bin Utsman Al-Maghribi
  • Abu Hafsh Umar bin As’ad Al-Irbili
  • Abu Al-Hasan Silaar bin Al-Hasan Al-Irbili
  • Abu Muhammad Abdurrahman bin Nuuh Al-Maqdisi.
  • Imam An-Nawawi belajar kepada beliau tentang fikih, qira’ah, tashhih, sima’, syarh dan ta’liq. Demikian pula beliau mengambil ilmu hadits dan rijalnya kepada:
  • Abu Ishaq Ibrahini bin Isa Al-Muradi
  • Abu Al Baqaa’ Khaalid bin Yuusuf An-Nabilisi
  • Adh Dhiya’ bin Tamam Al-Hanafi
  • Abu Ishaq Ibraahim bin Au Al-Waasithi
  • Abu Al-Abbas Ahmad bin Abd Ad Da’im Al-Maqdisi
  • Abu Muhammad Isma’il bin Ibrahim At-Tanuukhi
  • Abu Al-Faraj Abdurrahman bin Muhammad bin Ahmad bin Qudamah Al-Maqdisi.
Beliau belajar bahasa dari:
  • Abu Al-Abbas Saalim bin Ahmad Al-Mishri
  • Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah Maalik Al Jiyaani penulis Alfiyah.
Beliau belajar Ushul Fikih kepada:
  • Abu Al-Fath Umar bin Bandar bin Umar At-Tafluisi Asy-Syafi’i.
MURID-MURID BELIAU
Melalui tangannya, bermunculan para ulama besar, di antaranya adalah Sulaiman bin Hilal al-Ja’fari, Ahmad Ibnu Farah al-Isybili, Muhammad bin Ibrahim bin Sa’dullah bin Jama’ah, ’Ala-uddin ’Ali Ibnu Ibrahim yang lebih dikenal dengan Ibnul ’Aththar, ia selalu menemaninya sampai ia dikenal dengan sebutan Mukhtashar an-Nawawi (an-Nawawi junior), Syamsuddin bin an-Naqib, dan Syamsuddin bin Ja’wan dan masih banyak yang lainnya.

PUJIAN TERHADAP BELIAU
Syaikh An-Nawawi -semoga Allah meridhainya- hidup dengan meneladani para syaikh dan pendahulu mereka (para salaf), meniti jejak mereka membuat hidup beliau di penuhi dengan takwa dan qana’ah, wara’ merasa diawasi Allah baik tatkala sendiri maupun di saat ramai. Beliau tinggalkan lezatnya makanan dan mewahnya pakaian. Beliau mencukupkan diri dengan sedikit makan dan berpakaian yang sederhana.
Beliau digelari Muhyiddin (yang menghidupkan agama) dan membenci gelar ini karena tawadhu’ beliau. Disamping itu, agama islam adalah agama yang hidup dan kokoh, tidak memerlukan orang yang menghidupkannya sehingga menjadi hujjah atas orang-orang yang meremehkannya atau meninggalkannya. Diriwayatkan bahwa beliau berkata: ”Aku tidak akan memaafkan orang yang menggelariku Muhyiddin.”
Beliau adalah manusia yang sangat wara dan zuhud. Adz-Dzahabi berkata: "Beliau adalah profil manusia yang berpola hidup sangat sederhana dan anti kemewahan. Beliau adalah sosok manusia yang bertaqwa, qana’ah, wara, memiliki muraqabatullah baik di saat sepi maupun ramai. Beliau tidak menyukai kesenangan pribadi seperti berpa-kaian indah, makan-minum lezat, dan tampil mentereng. Makanan beliau adalah roti dengan lauk seadanya. Pakaian beliau adalah pakaian yang seadanya, dan hamparan beliau hanyalah kulit yang disamak." Beliau selalu berusaha untuk melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar sekalipun terhadap penguasa. Beliau sering berkirim surat kepada mereka yang berisi nasihat agar berlaku adil dalam mengemban kekuasaan, menghapus cukai, dan mengembalikan hak kepada ahlinya. Abul Abbas bin Faraj berkata: "Syaikh (An-Nawawi) telah berhasil meraih 3 tingkatan yang mana 1 tingkatannya saja jika orang biasa berusaha untuk meraihnya, tentu akan merasa sulit. Tingkatan pertama adalah ilmu (yang dalam dan luas).Tingkatan kedua adalah zuhud (yang sangat). Tingkatan ketiga adalah keberanian dan kepiawaiannya dalam beramar ma’ruf nahi munkar."

WAFATNYA
Pada tahun 676 H. beliau kembali ke kampung halaman-nya Nawa, sesudah mengembalikan berbagai kitab yang dipinjamnya dari sebuah badan waqaf, selesai menziarahi makam para guru beliau, dan sehabis bersilaturrahim dengan para sahabat beliau yang masih hidup. Di hari keberangkatan beliau, para jama’ah yang beliau bina melepas kepergian beliau di pinggiran kota Damaskus, mereka lalu bertanya: "Kapan kita bisa bermuwajahah lagi (wahai syaikh)?" Beliau menjawab: "Sesudah 200 tahun." Akhirnya mereka paham bahwa yang beliau maksud adalah sesudah hari kiamat.

Sumber: Syarah Hadits Arbain, Ibnu Daqiq Ied (terjemahan : Abu Abdillah Umar Syariff), Pustaka At-Tibyan-Solo, Bahjah an-Nazhiriin, wikipedia, dll.

Selasa, 27 Agustus 2013

KH Firdaus AN - Meluruskan Sejarah Pergerakan Bangsa


KH. Firdaus AN, mantan Ketua Majelis Syuro Syarikat Islam kelahiran Maninjau tahun 1924, menulis  sebuah buku berjudul “Syarikat Islam Bukan Budi Utomo: Meluruskan Sejarah Pergerakan Bangsa”

Sumber: nadabuku
Menilai bahwa Budi Utomo (BO)  tidaklah memiliki andil untuk perjuangan kemerdekaan, mereka itu adalah para pegawai negeri  ( ambtenaar ) yang digaji Belanda untuk mempertahankan penjajahan yang dilakukan tuannya atas Indonesia.  BO juga tidak turut mengantarkan bangsa ini ke pintu gerbang kemerdekaan, karena telah bubar pada tahun 1935. BO adalah organisasi sempit, lokal dan etnis sentris. Hanya orang Jawa dan Madura yang boleh menjadi anggotanya. BO didirikan di Jakarta tanggal 20 Mei 1908 atas prakarsa para mahasiswa kedokteran STOVIA, Soetomo dan kawan-kawan. Di dalam rapat-rapat perkumpulan dan bahkan dalam penyusunan Anggaran Dasar Organisasi-pun BO tidak menggunakan bahasa Indonesia, melainkan menggunakan bahasa Belanda. Dalam rapat-rapat, BO tidak pernah membahas tentang kesadaran berbangsa dan bernegara yang merdeka. Mereka hanya membahas bagaimana memperbaiki tarap hidup orang-orang Jawa dan Madura di bawah pemerintahan Ratu Belanda.

Di dalam Pasal 2 Anggaran Dasar BO tertulis tentang tujuan organisasi yakni untuk menggalang kerjasama guna  memajukan tanah dan bangsa Jawa dan Madura secara harmonis. Tujuan BO tersebut jelas bersifat Jawa-Madura sentris, sama sekali bukan kebangsaan. BO juga memandang Islam sebagai batu sandungan bagi upaya mereka. Noto Soeroto, salah seorang tokoh BO, di dalam salah satu pidatonya tentang Gedachten van Kartini Alsrichtnoer voor de Indische Vereniging  berkata : “ Agama Islam merupakan batu karang yang sangat berbahaya.... sebab itu soal agama harus disingkirkan, agar perahu kita tidak karam dalam gelombang kesulitan “. Sebuah artikel di ”Suara Umum “ sebuah media massa milik BO di bawah asuhan Dr. Soetomo terbitan Surabaya, yang dikutip oleh  Al-Ustadz A. Hassan dalam majalah “ Al-Lisan “  terdapat tulisan yang antara lain berbunyi : “Digul lebih utama dari pada Mekkah, Buanglah Ka’bah dan jadikanlah Demak itu kamu punya kiblat. “ ( M.S. Al-Lisan Nomer 24, 1938).

Karena sikapnya yang tunduk dan setia kepada pemerintah kolonial Belanda, maka tidak ada satu orang pun anggota BO yang ditangkap dan dipenjarakan Belanda. Arah perjuangan BO yang tidak berasas kebangsaan , melainkan chauvinisme sempit, sebatas memperjuangkan Jawa dan Madura saja telah membuat kecewa dua tokoh besar BO sendiri, yakni Dr. Soetomo dan Dr. Cipto Mangunkusumo, sehingga keduanya kemudian hengkang dari BO. 

Ketua pertama #BoediOetomo yakni Raden Adipati Tirtokusumo, ternyata juga adalah seorang anggota Freemasonry. Dia aktif di Loji (baca: tempat beribadah anggota-anggota Freemasonsry) Mataram sejak tahun 1895.
Sumber: aenyandeleeb
Bukan itu saja, di belakang BO pun terdapat fakta yang mencengangkan. Ketua pertama BO yakni Raden Adipati Tirtokusumo, ternyata juga adalah seorang anggota Freemasonry. Dia aktif di Loji (baca: tempat beribadah anggota-anggota Freemasonsy) Mataram sejak tahun 1895.  Sekertaris BO (1916) , Boediardjo , juga seorang mason yang mendirikan cabang sendiri dengan nama Mason Boediardjo. Hal ini diungkapkan dalam buku “ Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962, karya Dr. Th. Stevens.” Sebuah buku yang dicetak terbatas dan hanya diperuntukan bagi angota Mason Indonesia.
Sumber: aenyandeleeb
Menurut KH Firdaus AN tiga tahun sebelum BO didirikan, Haji Samanhudi dan kawan-kawan mendirikan  Syarikat Islam  (SI) yang awalnya bernama Syarikat Dagang Islam (SDI) di  Solo pada tanggal 16 Oktober 1905. Ini merupakn organisasi Islam tertua dari semua organisasi masa di tanah air.  SI lebih nasionalis. Keanggotaan SI terbuka bagi semua rakyat Indonesia yang mayoritas muslim. Sebab itu para pengurusnyapun terdiri dari berbagai macam suku, seperti : Haji Samanhudi dan HOS Tjokroaminoto berasal dari Jawa Tengah dan Timur, Agus Salim dan Abdoel Moeis dari Sumatra Barat, dan AM Sangaji dari Maluku. SI bertujuan Islam Raya dan Indonesia Raya, bersifat nasional, Anggaran Dasarnya ditulis dalam Bahasa Indonesia, bersikap non-kooperatif dengan Belanda, SI memperjuangkan kemerdekaan dan ikut mengantarkan bangsa ini melewati pintu gerbang kemerdekaan. Hari Kebangkitan Nasional yang telah kadung diperingati setiap tanggal 20 Mei , seharusnya digantikan dengan tanggal 16 Oktober, hari berdirinya Syarikat Islam.

KH. Firdaus AN (seperti ditulis Zulfahmi, save-islam) juga mengungkap penyimpangan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang menurut beliau semestinya harus ada sebuah koreksi-sejarah yang dilakukan oleh ummat Islam. Koreksi sejarah tersebut menyangkut pembacaan teks Proklamasi yang setiap tahun dibacakan dalam upacara kenegaraan. Dalam penjelasan ensiklopedi bebas (wikipedia), naskah Proklamasi ditulis tahun 05 karena sesuai dengan tahun Jepang yang kala itu adalah tahun 2605. Berikut isi teks Proklamasi yang diatasnamakan oleh Soekarno- Hatta: 

"Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia. Hal -hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja".

Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05
Atas nama bangsa Indonesia.
Soekarno/Hatta
Teks tersebut merupakan hasil ketikan Sayuti Melik (Sajoeti Melik), salah seorang tokoh pemuda yang ikut andil dalam persiapan proklamasi. Proklamasi kemerdekaan itu diumumkan di Rumah Bung Karno, Jl. Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta, pada 17 Agustus 1945, hari Jum'at, bulan Ramadhan, pukul 10.00 pagi.
Kritik KH Firdaus AN terhadap teks Proklamasi adalah:
  1. Teks Proklamasi seperti tersebut diatas jelas melanggar konsensus, atau kesepakatan bersama yang telah ditetapkan oleh BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada 22 Juni 1945.
  2. Yang ditetapkan pada 22 Juni 1945 itu ialah, bahwa teks Piagam Jakarta harus dijadikan sebagai Teks Proklamasi atau Deklarasi Kemerdekaan Indonesia.
  3. Alasan atau dalih Bung Hatta seperti diceritakan dalam bukunya "Sekitar Proklamasi" hal. 49, bahwa pada malam tanggal 16 Agustus 1945 itu, "Tidak seorang di antara kami yang mempunyai teks yang resmi yang dibuat pada tanggal 22 Juni 1945, yang sekarang disebut Piagam Jakarta", tidak dapat diterima, karena telah melanggar kaidah-kaidah sejarah yang harus dijunjung tinggi. Mengapa mereka tidak mengambil teks yang resmi itu di rumah beliau di Jl. Diponegoro yang jaraknya cukup dekat, tidak sampai dua menit perjalanan? Mengapa mereka bisa bertandang ke rumah Nisimura, penguasa Jepang yang telah menyerah dan menyempatkan diri untuk bicara cukup lama hingga larut malam, tapi untuk mengambil teks Proklamasi yang resmi dan telah disiapkan sejak dua bulan sebelumnya mereka tidak mampu? Sungguh tidak masuk akal jika esok pagi Proklamasi akan diumumkan, jam dua malam masih belum ada teksnya. Dan akhirnya teks itu harus dibuat terburu-buru, ditulis tangan dan penuh dengan coretan, seolah-olah Proklamasi yang amat penting bagi sejarah suatu bangsa itu dibuat terburu-buru tanpa persiapan yang matang!
  4. Teks Proklamasi itu bukan hanya ditandatangani oleh 2 (dua) orang Tokoh Nasional (Soekarno- Hatta), tetapi harus ditandatangani oleh 9 (sembilan) orang tokoh seperti dicantum dalam Piagam Jakarta. Keluar dan menyimpang dari ketentuan tersebut tadi adalah manipulasi dan penyimpangan sejarah yang mestinya harus dihindari. Teks itu tidak autentik dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Deklarasi Kemerdekaan Amerika saja ditandatangani oleh lebih dari 5 (lima) orang tokoh.
  5. Teks Proklamasi itu terlalu pendek, hanya terdiri dari dua alinea yang sangat ringkas dan hampa, tidak aspiratif. Ya, tidak mencerminkan aspirasi bangsa Indonesia; tidak mencerminkan cita-cita yang dianut oleh golongan terbesar bangsa ini, yakni para pemeluk agama Islam.
Tak heran jika banyak pemuda yang menolak teks Proklamasi; yang dipandang sebagai gegabah itu. Tak ada di dunia, teks Proklamasi atau Deklarasi Kemerdekaan yang tidak mencerminkan aspirasi bangsanya. Teks Proklamasi itu manipulatif dan merupakan distorsi sejarah, karena tidak sesuai dengan fakta yang ada di lapangan. Dalam sejarah tak ada kata "maaf", karena itu harus diluruskan kembali teks Proklamasi yang asli. Adapun teks Proklamasi yang autentik, yang telah disepakati bersama oleh BPUPKI pada 22 Juni 1945 itu sesuai dengan teks atau lafal Piagam Jakarta. Jelasnya, teks proklamasi itu haruslah berbunyi seperti di bawah ini: 

PROKLAMASI

Bahwa kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia ini harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan peri keadilan. Dan perjuangan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke pintu gerbang Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka dengan ini rakyat Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Kemudian dari pada itu, untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia, yang melindungi segenap bangsa Indonesia, dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa , dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasarkan kepada ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Jakarta, 22 Juni 1945
(Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta, Mr. Ahmad Soebardjo, Abikusno Tjokrosujoso, A.A. Maramis, Abdul Kahar Muzakir, H. Agus Salim, KH. Wahid Hasjim, Mr. Muh Yamin).

KH Firdaus AN mengusulkan supaya dilakukan koreksi sejarah. Untuk selanjutnya, demi menghormati musyawarah BPUPKI yang telah bekerja keras mempersiapkan usaha persiapan kemerdekaan Indonesia, maka semestinya pada setiap peringatan kemerdekaan RI tidak lagi dibacakan teks proklamasi “darurat” susunan Soekarno-Hatta. Hendaknya kembali kepada orisinalitas teks proklamasi yang autentik seperti tercantum dalam Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Wallahu a’lam bis-showwab

--diolah dari berbagai sumber

irfblog. Diberdayakan oleh Blogger.