Popular Posts

irfblogBacklink






Rating for erosisland.blogspot.com

My Ping in TotalPing.com

Rabu, 13 Februari 2013

UNDANG-UNDANG TENTANG NARKOTIKA (bag I)

UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ,

Menimbang :

  • (a). bahwa untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945, kualitas sumber daya manusia Indonesia sebagai salah satu modal pembangunan nasional perlu dipelihara dan ditingkatkan secara terus-menerus, termasuk derajat kesehatannya;
  • (b). bahwa untuk meningkatkan derajat kesehatan sumber daya manusia Indonesia dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat perlu dilakukan upaya peningkatan di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan, antara lain dengan mengusahakan ketersediaan Narkotika jenis
    tertentu yang sangat dibutuhkan sebagai obat serta melakukan pencegahan dan pemberantasan bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; 
  • (c). bahwa Narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan di sisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila disalahgunakan atau digunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan saksama;
  • (d). bahwa mengimpor, mengekspor, memproduksi, menanam, menyimpan, mengedarkan, dan/atau menggunakan Narkotika tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan seksama serta bertentangan dengan peraturan perundang-undangan merupakan tindak pidana Narkotika karena sangat merugikan dan merupakan bahaya yang sangat besar bagi kehidupan manusia, masyarakat, bangsa, dan negara serta ketahanan nasional Indonesia;
  • (e). bahwa tindak pidana Narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih, didukung oleh jaringan organisasi yang luas, dan sudah banyak menimbulkan korban, terutama di kalangan generasi muda bangsa yang sangat membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara sehingga Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan situasi dan kondisi yang berkembang untuk menanggulangi dan memberantas tindak pidana tersebut
  • (f). bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, perlu membentuk Undang-Undang tentang Narkotika;

Mengingat :

  1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta Protokol Tahun 1972 yang Mengubahnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1976 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3085);
  3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika, 1988) (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 17, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3673);

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

dan

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

UNDANG-UNDANG TENTANG NARKOTIKA.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

  1. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampi menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.
  2. Prekursor Narkotika adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika yang dibedakan dalam tabel sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.
  3. Produksi adalah kegiatan atau proses menyiapkan, mengolah, membuat, dan menghasilkan Narkotika secara langsung atau tidak langsung melalui ekstraksi atau nonekstraksi dari sumber alami atau sintetis kimia atau gabungannya, termasuk mengemas dan/atau mengubah bentuk Narkotika
  4. Impor adalah kegiatan memasukkan Narkotika dan Prekursor Narkotika ke dalam Daerah Pabean.
  5. Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan Narkotika dan Prekursor Narkotika dari Daerah Pabean.
  6. Peredaran Gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara tanpa hak atau melawan hukum yang ditetapkan sebagai tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika.
  7. Surat Persetujuan Impor adalah surat persetujuan untuk mengimpor Narkotika dan Prekursor Narkotika.
  8. Surat Persetujuan Ekspor adalah surat persetujuan untuk mengekspor Narkotika dan Prekursor Narkotika.
  9. Pengangkutan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan memindahkan Narkotika dari satu tempat ke tempat lain dengan cara, moda, atau sarana angkutan apa pun.
  10. Pedagang Besar Farmasi adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang memiliki izin untuk melakukan kegiatan pengadaan, penyimpanan, dan penyaluran sediaan farmasi, termasuk Narkotika dan alat kesehatan.
  11. Industri Farmasi adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang memiliki izin untuk melakukan kegiatan produksi serta penyaluran obat dan bahan obat, termasuk Narkotika.
  12. Transito Narkotika adalah pengangkutan Narkotika dari suatu negara ke negara lain dengan melalui dan singgah di wilayah Negara yang terdapat kantor pabean dengan atau tanpa berganti sarana angkutan.
  13. Pecandu Narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis.
  14. Ketergantungan Narkotika adalah kondisi yang ditandai oleh dorongan untuk menggunakan Narkotika secara terus-menerus dengan takaran yang meningkat agar menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunaannya dikurangi dan/atau dihentikan secara tiba-tiba, menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas.
  15. Penyalah Guna adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan hukum.
  16. Rehabilitasi Medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan Narkotika.
  17. Rehabilitasi Sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu Narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.
  18. Permufakatan Jahat adalah perbuatan dua orang atau lebih yang bersekongkol atau bersepakat untuk melakukan, melaksanakan, membantu, turut serta melakukan, menyuruh, menganjurkan, memfasilitasi, memberi konsultasi, menjadi anggota suatu organisasi kejahatan Narkotika, atau mengorganisasikan suatu tindak pidana Narkotika.
  19. Penyadapan adalah kegiatan atau serangkaian kegiatan penyelidikan atau penyidikan dengan cara menyadap pembicaraan, pesan, informasi, dan/atau jaringan komunikasi yang dilakukan melalui telepon dan/atau alat komunikasi elektronik lainnya.
  20. Kejahatan Terorganisasi adalah kejahatan yang dilakukan oleh suatu kelompok yang terstruktur yang terdiri atas 3 (tiga) orang atau lebih yang telah ada untuk suatu waktu tertentu dan bertindak bersama dengan tujuan melakukan suatu tindak pidana Narkotika.
  21. Korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
  22. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.

BAB II

DASAR, ASAS, DAN TUJUAN

Pasal 2

Undang-Undang tentang Narkotika berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945.

Pasal 3

Undang-Undang tentang Narkotika diselenggarakan
berasaskan:
a. keadilan;
b. pengayoman;
c. kemanusiaan;
d. ketertiban;
e. perlindungan;
f. keamanan;
g. nilai-nilai ilmiah; dan
h. kepastian hukum.

Pasal 4

Undang-Undang tentang Narkotika bertujuan:
  • (a). menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
  • (b). mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan Narkotika;
  • (c). memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan
  • (d). menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi Penyalah Guna dan pecandu Narkotika.

BAB III

RUANG LINGKUP

Pasal 5

Pengaturan Narkotika dalam Undang-Undang ini meliputi segala bentuk kegiatan dan/atau perbuatan yang berhubungan dengan Narkotika dan Prekursor Narkotika.

Pasal 6

(1) Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal digolongkan ke dalam:
a. Narkotika Golongan I;
b. Narkotika Golongan II;dan
c. Narkotika Golongan III.
(2) Penggolongan Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk pertama kali ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
(3) Ketentuan mengenai perubahan penggolongan Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 7

Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.

Pasal 8

(1) Narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan.
(2) Dalam jumlah terbatas, Narkotika Golongan I dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan untuk reagensia diagnostik, serta reagensia laboratorium setelah mendapatkan persetujuan Menteri atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.

BAB IV

PENGADAAN

Bagian Kesatu

Rencana Kebutuhan Tahunan

Pasal 9

(1) Menteri menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
(2) Untuk keperluan ketersediaan Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disusun rencana kebutuhan tahunan Narkotika.
(3) Rencana kebutuhan tahunan Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun berdasarkan data pencatatan dan pelaporan rencana dan realisasi produksi tahunan yang diaudit secara komprehensif dan menjadi pedoman pengadaan, pengendalian, dan pengawasan Narkotika secara nasional.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana kebutuhan tahunan Narkotika diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 10

(1) Narkotika untuk kebutuhan dalam negeri diperoleh dari impor, produksi dalam negeri, dan/atau sumber lain dengan berpedoman pada rencana kebutuhan tahunan Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3).
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana kebutuhan tahunan Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan kebutuhan Narkotika dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kedua

Produksi

Pasal 11

(1). Menteri memberi izin khusus untuk memproduksi Narkotika kepada Industri Farmasi tertentu yang telah memiliki izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan setelah dilakukan audit oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan.
(2). Menteri melakukan pengendalian terhadap produksi Narkotika sesuai dengan rencana kebutuhan tahunan Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
(3). Badan Pengawas Obat dan Makanan melakukan pengawasan terhadap bahan baku, proses produksi, dan hasil akhir dari produksi Narkotika sesuai dengan rencana kebutuhan tahunan Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
(4). Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian izin dan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
(5). Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat 3 diatur dengan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.

Pasal 12

(1). Narkotika Golongan I dilarang diproduksi dan/atau digunakan dalam proses produksi, kecuali dalam jumlah yang sangat terbatas untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
(2). Pengawasan produksi Narkotika Golongan I untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara ketat oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan.
(3). Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan produksi dan/atau penggunaan dalam produksi dengan jumlah yang sangat terbatas untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Ketiga

Narkotika untuk Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Pasal 13

(1). Lembaga ilmu pengetahuan yang berupa lembaga pendidikan dan pelatihan serta penelitian dan pengembangan yang diselenggarakan oleh pemerintah ataupun swasta dapat memperoleh, menanam, menyimpan, dan menggunakan Narkotika untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan teknologi setelah mendapatkan izin Menteri.
(2). Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara untuk mendapatkan izin dan penggunaan Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Keempat

Penyimpanan dan Pelaporan

Pasal 14

(1). Narkotika yang berada dalam penguasaan Industri Farmasi, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan, dokter, dan lembaga ilmu pengetahuan wajib disimpan secara khusus.
(2). Industri Farmasi, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan, dokter, dan lembaga ilmu pengetahuan wajib membuat, menyampaikan, dan menyimpan laporan berkala mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran Narkotika yang berada dalam penguasaannya.
(3). Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyimpanan secara khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan jangka waktu, bentuk, isi, dan tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
(4). Pelanggaran terhadap ketentuan mengenai penyimpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ketentuan mengenai pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi administratif oleh Menteri atas rekomendasi dari Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan berupa:
a. teguran;
b. peringatan;
c. denda administratif;
d. penghentian sementara kegiatan; atau
e. pencabutan izin.

BAB V

IMPOR DAN EKSPOR

Bagian Kesatu

Izin Khusus dan Surat Persetujuan Impor

Pasal 15

(1) Menteri memberi izin kepada 1 (satu) perusahaan pedagang besar farmasi milik negara yang telah memiliki izin sebagai importir sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan impor Narkotika.
(2) Dalam keadaan tertentu, Menteri dapat memberi izin kepada perusahaan lain dari perusahaan milik negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang memiliki izin sebagai importir sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan impor Narkotika.

Pasal 16

(1). Importir Narkotika harus memiliki Surat Persetujuan Impor dari Menteri untuk setiap kali melakukan impor Narkotika.
(2). Surat Persetujuan Impor Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan hasil audit Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan terhadap rencana kebutuhan dan realisasi produksi dan/atau penggunaan Narkotika.
(3). Surat Persetujuan Impor Narkotika Golongan I dalam jumlah yang sangat terbatas hanya dapat diberikan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
(4). Surat Persetujuan Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada pemerintah negara pengekspor.

Pasal 17

Pelaksanaan impor Narkotika dilakukan atas dasar persetujuan pemerintah negara pengekspor dan persetujuan tersebut dinyatakan dalam dokumen yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di negara pengekspor.

Bagian Kedua

Izin Khusus dan Surat Persetujuan Ekspor

Pasal 18

(1) Menteri memberi izin kepada 1 (satu) perusahaan pedagang besar farmasi milik negara yang telah memiliki izin sebagai eksportir sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan ekspor Narkotika.
(2) Dalam keadaan tertentu, Menteri dapat memberi izin kepada perusahaan lain dari perusahaan milik negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang memiliki izin sebagai eksportir sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan ekspor Narkotika.

Pasal 19

(1). Eksportir Narkotika harus memiliki Surat Persetujuan Ekspor dari Menteri untuk setiap kali melakukan ekspor Narkotika.
(2). Untuk memperoleh Surat Persetujuan Ekspor Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat 1, pemohon harus melampirkan surat persetujuan dari negara pengimpor.

Pasal 20

Pelaksanaan ekspor Narkotika dilakukan atas dasar persetujuan pemerintah negara pengimpor dan persetujuan tersebut dinyatakan dalam dokumen yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di negara pengimpor.

Pasal 21

Impor dan ekspor Narkotika dan Prekursor Narkotika hanya dilakukan melalui kawasan pabean tertentu yang dibuka untuk perdagangan luar negeri.

Pasal 22

Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara memperoleh Surat Persetujuan Impor dan Surat Persetujuan Ekspor diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Ketiga

Pengangkutan

Pasal 23

Ketentuan peraturan perundang-undangan tentang pengangkutan barang tetap berlaku bagi pengangkutan
Narkotika, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini atau diatur kemudian berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini.

Pasal 24

(1) Setiap pengangkutan impor Narkotika wajib dilengkapi dengan dokumen atau surat persetujuan ekspor Narkotika yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan di negara pengekspor dan Surat Persetujuan Impor Narkotika yang dikeluarkan oleh Menteri.
(2) Setiap pengangkutan ekspor Narkotika wajib dilengkapi dengan Surat Persetujuan Ekspor Narkotika yang dikeluarkan oleh Menteri dan dokumen atau surat persetujuan impor Narkotika yang sah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di negara pengimpor.

Pasal 25

Penanggung jawab pengangkut impor Narkotika yang memasuki wilayah Negara wajib membawa dan bertanggung jawab atas kelengkapan Surat Persetujuan Impor Narkotika dari Menteri dan dokumen atau surat persetujuan ekspor Narkotika yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di negara pengekspor.

Pasal 26

(1) Eksportir Narkotika wajib memberikan Surat Persetujuan Ekspor Narkotika dari Menteri dan dokumen atau Surat Persetujuan Impor Narkotika yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di negara pengimpor kepada orang yang bertanggung jawab atas perusahaan pengangkutan ekspor.
(2) Orang yang bertanggung jawab atas perusahaan pengangkutan ekspor wajib memberikan Surat Persetujuan Ekspor Narkotika dari Menteri dan dokumen atau Surat Persetujuan Impor Narkotika yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di negara pengimpor kepada penanggung jawab pengangkut.
(3) Penanggung jawab pengangkut ekspor Narkotika wajib membawa dan bertanggung jawab atas kelengkapan Surat Persetujuan Ekspor Narkotika dari Menteri dan dokumen atau Surat Persetujuan Impor Narkotika yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di negara pengimpor.

Pasal 27

(1). Narkotika yang diangkut harus disimpan pada kesempatan pertama dalam kemasan khusus atau di tempat yang aman di dalam kapal dengan disegel oleh nakhoda dengan disaksikan oleh pengirim.
(2). Nakhoda membuat berita acara tentang muatan Narkotika yang diangkut.
(3). Nakhoda dalam waktu paling lama 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam setelah tiba di pelabuhan tujuan wajib melaporkan Narkotika yang dimuat dalam kapalnya kepada kepala kantor pabean setempat.
(4). Pembongkaran muatan Narkotika dilakukan dalam kesempatan pertama oleh nakhoda dengan disaksikan oleh pejabat bea dan cukai.
(5). Nakhoda yang mengetahui adanya Narkotika tanpa dokumen atau Surat Persetujuan Ekspor atau Surat Persetujuan Impor di dalam kapal wajib membuat berita acara, melakukan tindakan pengamanan, dan pada persinggahan pelabuhan pertama segera melaporkan dan menyerahkan Narkotika tersebut kepada pihak yang berwenang.

Pasal 28

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 berlaku pula bagi kapten penerbang untuk pengangkutan udara.

Bagian Keempat

Transito

Pasal 29

(1). Transito Narkotika harus dilengkapi dengan dokumen atau Surat Persetujuan Ekspor Narkotika yang sah dari pemerintah negara pengekspor dan dokumen atau Surat Persetujuan Impor Narkotika yang sah dari pemerintah negara pengimpor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara pengekspor dan pengimpor.
(2). Dokumen atau Surat Persetujuan Ekspor Narkotika dari pemerintah negara pengekspor dan dokumen atau Surat Persetujuan Impor Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat 1 sekurang-kurangnya memuat keterangan tentang:
a. nama dan alamat pengekspor dan pengimpor Narkotika;
b. jenis, bentuk, dan jumlah Narkotika; dan
c. negara tujuan ekspor Narkotika.

Pasal 30

Setiap terjadi perubahan negara tujuan ekspor Narkotika pada Transito Narkotika hanya dapat dilakukan setelah adanya persetujuan dari:
a. pemerintah negara pengekspor Narkotika;
b. pemerintah negara pengimpor Narkotika; dan
c. pemerintah negara tujuan perubahan ekspor Narkotika.

Pasal 31

Pengemasan kembali Narkotika pada Transito Narkotika hanya dapat dilakukan terhadap kemasan asli Narkotika yang mengalami kerusakan dan harus dilakukan di bawah tanggung jawab pengawasan pejabat Bea dan Cukai dan petugas Badan Pengawas Obat dan Makanan.

Pasal 32

Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan Transito Narkotika diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kelima

Pemeriksaan

Pasal 33

Pemerintah melakukan pemeriksaan atas kelengkapan dokumen impor, ekspor, dan/atau Transito Narkotika.

Pasal 34

(1) Importir Narkotika dalam memeriksa Narkotika yang diimpornya disaksikan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan dan wajib melaporkan hasilnya kepada Menteri paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak tanggal diterimanya impor Narkotika di perusahaan.
(2) Berdasarkan hasil laporan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, Menteri menyampaikan hasil penerimaan impor Narkotika kepada pemerintah negara pengekspor.

BAB VI

PEREDARAN

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 35

Peredaran Narkotika meliputi setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan penyaluran atau penyerahan Narkotika, baik dalam rangka perdagangan, bukan perdagangan maupun pemindahtanganan, untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pasal 36

(1). Narkotika dalam bentuk obat jadi hanya dapat diedarkan setelah mendapatkan izin edar dari Menteri.
(2). Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara perizinan peredaran Narkotika dalam bentuk obat jadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
(3). Untuk mendapatkan izin edar dari Menteri, Narkotika dalam bentuk obat jadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melalui pendaftaran pada Badan Pengawas Obat dan Makanan.
(4). Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pendaftaran Narkotika dalam bentuk obat jadi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.

Pasal 37

Narkotika Golongan II dan Golongan III yang berupa bahan baku, baik alami maupun sintetis, yang digunakan untuk produksi obat diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 38

Setiap kegiatan peredaran Narkotika wajib dilengkapi dengan dokumen yang sah.

Bagian Kedua

Penyaluran

Pasal 39

(1) Narkotika hanya dapat disalurkan oleh Industri Farmasi, pedagang besar farmasi, dan sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
(2) Industri Farmasi, pedagang besar farmasi, dan sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki izin khusus penyaluran Narkotika dari Menteri.

Pasal 40

(1). Industri Farmasi tertentu hanya dapat menyalurkan Narkotika kepada:
  • a. pedagang besar farmasi tertentu;
  • b. apotek;
  • c. sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu; dan
  • d. rumah sakit.
(2). Pedagang besar farmasi tertentu hanya dapat menyalurkan Narkotika kepada:
  • a. pedagang besar farmasi tertentu lainnya;
  • b. apotek;
  • c. sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu;
  • d. rumah sakit; dan
  • e. lembaga ilmu pengetahuan;
(3). Sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu hanya dapat menyalurkan Narkotika kepada:
  • a.rumah sakit pemerintah;
  • b.pusat kesehatan masyarakat; dan
  • c.balai pengobatan pemerintah tertentu.

Pasal 41

Narkotika Golongan I hanya dapat disalurkan oleh pedagang besar farmasi tertentu kepada lembaga ilmu pengetahuan tertentu untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pasal 42

Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penyaluran Narkotika diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Ketiga

Penyerahan

Pasal 43

(1). Penyerahan Narkotika hanya dapat dilakukan oleh:
  • a. apotek;
  • b. rumah sakit;
  • c. pusat kesehatan masyarakat;
  • d. balai pengobatan; dan
  • e. dokter.
(2). Apotek hanya dapat menyerahkan Narkotika kepada:
  • a. rumah sakit;
  • b. pusat kesehatan masyarakat;
  • c. apotek lainnya;
  • d. balai pengobatan;
  • e. dokter; dan
  • f. pasien.
(3). Rumah sakit, apotek, pusat kesehatan masyarakat, dan balai pengobatan hanya dapat menyerahkan Narkotika kepada pasien berdasarkan resep dokter.
(4). Penyerahan Narkotika oleh dokter hanya dapat dilaksanakan untuk:
(a). menjalankan praktik dokter dengan memberikan Narkotika melalui suntikan; (b). menolong orang sakit dalam keadaan darurat dengan memberikan Narkotika melalui suntikan; atau (c). menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek.
(5). Narkotika dalam bentuk suntikan dalam jumlah tertentu yang diserahkan oleh dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (4) hanya dapat diperoleh di apotek.

Pasal 44

Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penyerahan Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB VII

LABEL DAN PUBLIKASI

Pasal 45

(1) Industri Farmasi wajib mencantumkan label pada kemasan Narkotika, baik dalam bentuk obat jadi maupun bahan baku Narkotika.
(2) Label pada kemasan Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk tulisan, gambar, kombinasi tulisan dan gambar, atau bentuk lain yang disertakan pada kemasan atau dimasukkan ke dalam kemasan, ditempelkan, atau merupakan bagian dari wadah, dan/atau kemasannya.
(3) Setiap keterangan yang dicantumkan dalam label pada kemasan Narkotika harus lengkap dan tidak menyesatkan.

Pasal 46

Narkotika hanya dapat dipublikasikan pada media cetak ilmiah kedokteran atau media cetak ilmiah farmasi.

Pasal 47

Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pencantuman label dan publikasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 45 dan Pasal 46 diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB VIII

PREKURSOR NARKOTIKA

Bagian Kesatu

Tujuan Pengaturan

Pasal 48

Pengaturan prekursor dalam Undang-Undang ini bertujuan:
a.melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan Prekursor Narkotika;
b.mencegah dan memberantas peredaran gelap Prekursor Narkotika; dan
c.mencegah terjadinya kebocoran dan penyimpangan Prekursor Narkotika.

Bagian Kedua

Penggolongan dan Jenis Prekursor Narkotika

Pasal 49

(1). Prekursor Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 digolongkan ke dalam Prekursor Tabel I dan Prekursor Tabel II dalam Lampiran Undang-Undang ini.
(2). Penggolongan Prekursor Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk pertama kali ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran II dan merupakan bagian tak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
(3). Ketentuan mengenai perubahan penggolongan Prekursor Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri setelah berkoordinasi dengan Menteri terkait.

Bagian Ketiga

Rencana Kebutuhan Tahunan

Pasal 50

(1) Pemerintah menyusun rencana kebutuhan tahunan Prekursor Narkotika untuk kepentingan industri farmasi, industri nonfarmasi, dan ilmu pengetahuan dan teknologi.
(2) Rencana kebutuhan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan jumlah persediaan, perkiraan kebutuhan, dan penggunaan Prekursor Narkotika secara nasional.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penyusunan rencana kebutuhan tahunan Prekursor Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri terkait.

Bagian Keempat

Pengadaan

Pasal 51

(1) Pengadaan Prekursor Narkotika dilakukan melalui produksi dan impor.
(2) Pengadaan Prekursor Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat digunakan untuk tujuan industri farmasi, industri nonfarmasi, dan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pasal 52

Ketentuan mengenai syarat dan tata cara produksi, impor, ekspor, peredaran, pencatatan dan pelaporan, serta pengawasan Prekursor Narkotika diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB IX

PENGOBATAN DAN REHABILITASI

Bagian Kesatu

Pengobatan

Pasal 53

(1) Untuk kepentingan pengobatan dan berdasarkan indikasi medis, dokter dapat memberikan Narkotika Golongan II atau Golongan III dalam jumlah terbatas dan sediaan tertentu kepada pasien sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memiliki, menyimpan, dan/atau membawa Narkotika untuk dirinya sendiri.
(3) Pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mempunyai bukti yang sah bahwa Narkotika yang dimiliki, disimpan, dan/atau dibawa untuk digunakan diperoleh secara sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Kedua

Rehabilitasi

Pasal 54

Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Pasal 55

(1) Orang tua atau wali dari Pecandu Narkotika yang belum cukup umur wajib melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
(2) Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
(3) Ketentuan mengenai pelaksanaan wajib lapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 56

(1) Rehabilitasi medis Pecandu Narkotika dilakukan di rumah sakit yang ditunjuk oleh Menteri.
(2) Lembaga rehabilitasi tertentu yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat dapat melakukan rehabilitasi medis Pecandu Narkotika setelah mendapat persetujuan Menteri.

Pasal 57

Selain melalui pengobatan dan/atau rehabilitasi medis, penyembuhan Pecandu Narkotika dapat diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat melalui pendekatan keagamaan dan tradisional.

Pasal 58

Rehabilitasi sosial mantan Pecandu Narkotika diselenggarakan baik oleh instansi pemerintah maupun oleh masyarakat.

Pasal 59

(1) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 dan Pasal 57 diatur dengan Peraturan Menteri.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial.

BAB X

PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 60

(1) Pemerintah melakukan pembinaan terhadap segala kegiatan yang berhubungan dengan Narkotika.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi upaya:
(a). memenuhi ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; (b). mencegah penyalahgunaan Narkotika; (c). mencegah generasi muda dan anak usia sekolah dalam penyalahgunaan Narkotika, termasuk dengan memasukkan pendidikan yang berkaitan dengan Narkotika dalam kurikulum sekolah dasar sampai lanjutan atas; (d). mendorong dan menunjang kegiatan penelitian dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan; dan (e). meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi medis bagi Pecandu Narkotika, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat.

Pasal 61

(1) Pemerintah melakukan pengawasan terhadap segala kegiatan yang berkaitan dengan Narkotika.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
  • (a). Narkotika dan Prekursor Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; (b). alat-alat potensial yang dapat disalahgunakan untuk melakukan tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika; (c). evaluasi keamanan, khasiat, dan mutu produk sebelum diedarkan; (d). produksi; (e). impor dan ekspor; (f). peredaran; (g). pelabelan; (h). informasi; dan (i). penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pasal 62

Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 63

Pemerintah mengupayakan kerja sama dengan negara lain dan/atau badan internasional secara bilateral dan multilateral, baik regional maupun internasional dalam rangka pembinaan dan pengawasan Narkotika dan Prekursor Narkotika sesuai dengan kepentingan nasional.

BAB XI

PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN

Bagian Kesatu

Kedudukan dan Tempat Kedudukan

Pasal 64

(1) Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, dengan Undang-Undang ini dibentuk Badan Narkotika Nasional, yang selanjutnya disingkat BNN.
(2) BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga pemerintah nonkementerian yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.

Pasal 65

(1) BNN berkedudukan di ibukota negara dengan wilayah kerja meliputi seluruh wilayah Negara .
(2) BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai perwakilan di daerah provinsi dan kabupaten/kota.
(3) BNN provinsi berkedudukan di ibukota provinsi dan BNN kabupaten/kota berkedudukan di ibukota kabupaten/kota.

Pasal 66

BNN provinsi dan BNN kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (3) merupakan instansi vertikal.

Pasal 67

(1) BNN dipimpin oleh seorang kepala dan dibantu oleh seorang sekretaris utama dan beberapa deputi.
(2) Deputi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membidangi urusan:
a. bidang pencegahan; b. bidang pemberantasan; c. bidang rehabilitasi; d. bidang hukum dan kerja sama; dan e. bidang pemberdayaan masyarakat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai struktur organisasi dan tata kerja BNN diatur dengan Peraturan Presiden.

Bagian Kedua

Pengangkatan dan Pemberhentian

Pasal 68

(1) Kepala BNN diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
(2) Syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian Kepala BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.

Pasal 69

Untuk dapat diusulkan menjadi Kepala BNN, seorang calon harus memenuhi syarat:
(a). warga negara; (b). bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; (c). sehat jasmani dan rohani;
(d). berijazah paling rendah strata 1 (satu); (e). berpengalaman paling singkat 5 (lima) tahun dalam penegakan hukum dan paling singkat 2 (dua) tahun dalam pemberantasan Narkotika; (f). Berusia paling tinggi 56 (lima puluh enam) tahun; (g). cakap, jujur, memiliki integritas moral yang tinggi, dan memiliki reputasi yang baik; (h). tidak pernah melakukan perbuatan tercela; (i). tidak menjadi pengurus partai politik; dan j. bersedia melepaskan jabatan struktural dan/atau jabatan lain selama menjabat kepala BNN.

Bagian Ketiga

Tugas dan Wewenang

Pasal 70

BNN mempunyai tugas:
a. menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional mengenai pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
b. mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
c. berkoordinasi dengan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
d. meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial pecandu Narkotika, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat;
e. memberdayakan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
f. memantau, mengarahkan, dan meningkatkan kegiatan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
g. melakukan kerja sama bilateral dan multilateral, baik regional maupun internasional, guna mencegah dan memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
h. mengembangkan laboratorium Narkotika dan Prekursor Narkotika;
i. melaksanakan administrasi penyelidikan dan penyidikan terhadap perkara penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan
j. membuat laporan tahunan mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang.

Pasal 71

Dalam melaksanakan tugas pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, BNN berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.

Pasal 72

(1) Kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dilaksanakan oleh penyidik BNN.
(2) Penyidik BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Kepala BNN.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian penyidik BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Kepala BNN.

BAB XII

PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN

Pasal 73

Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika dilakukan berdasarkan peraturan
perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.

Pasal 74

(1) Perkara penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, termasuk perkara yang didahulukan dari perkara lain untuk diajukan ke pengAdilan guna penyelesaian secepatnya.
(2) Proses pemeriksaan perkara tindak pidana Narkotika dan tindak pidana Prekursor Narkotika pada tingkat banding, tingkat kasasi, peninjauan kembali, dan eksekusi pidana mati, serta proses pemberian grasi, pelaksanaannya harus dipercepat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 75

Dalam rangka melakukan penyidikan, penyidik BNN berwenang:
a. melakukan penyelidikan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang adanya penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
b. memeriksa orang atau korporasi yang diduga melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
c. memanggil orang untuk didengar keterangannya sebagai saksi;
d. menyuruh berhenti orang yang diduga melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika serta memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
e. memeriksa, menggeledah, dan menyita barang bukti tindak pidana dalam penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
f. memeriksa surat dan/atau dokumen lain tentang penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
g. menangkap dan menahan orang yang diduga melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
h. melakukan interdiksi terhadap peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika di seluruh wilayah juridiksi nasional;
i. melakukan penyadapan yang terkait dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika setelah terdapat bukti awal yang cukup;
j. melakukan teknik penyidikan pembelian terselubung dan penyerahan di bawah pengawasan;
k. memusnahkan Narkotika dan Prekursor Narkotika;
l. melakukan tes urine, tes darah, tes rambut, tes asam dioksiribonukleat (DNA), dan/atau tes bagian tubuh lainnya;
m. mengambil sidik jari dan memotret tersangka;
n. melakukan pemindaian terhadap orang, barang, binatang, dan tanaman;
o. membuka dan memeriksa setiap barang kiriman melalui pos dan alat-alat perhubungan lainnya yang diduga mempunyai hubungan dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
p. melakukan penyegelan terhadap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang disita;
q. melakukan uji laboratorium terhadap sampel dan barang bukti Narkotika dan Prekursor Narkotika;
r. meminta bantuan tenaga ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan tugas penyidikan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan
s. menghentikan penyidikan apabila tidak cukup bukti adanya dugaan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.

Pasal 76

(1) Pelaksanaan kewenangan penangkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 huruf g dilakukan paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam terhitung sejak surat penangkapan diterima penyidik.
(2) Penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam.

Pasal 77

(1) Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 huruf (i) dilaksanakan setelah terdapat bukti permulaan yang cukup dan dilakukan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak surat penyadapan diterima penyidik.
(2) Penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilaksanakan atas izin tertulis dari ketua pengadilan.
(3) Penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu yang sama.
(4) Tata cara penyadapan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 78

(1) Dalam keadaan mendesak dan Penyidik harus melakukan penyadapan, penyadapan dapat dilakukan tanpa izin tertulis dari ketua pengadilan negeri lebih dahulu.
(2) Dalam waktu paling lama 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam Penyidik wajib meminta izin tertulis kepada ketua pengadilan negeri mengenai penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 79

Teknik penyidikan pembelian terselubung dan penyerahan di bawah pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 huruf (j) dilakukan oleh Penyidik atas perintah tertulis dari pimpinan.

Pasal 80

Penyidik BNN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75, juga berwenang:
a. mengajukan langsung berkas perkara, tersangka, dan barang bukti, termasuk harta kekayaan yang disita kepada jaksa penuntut umum;
b. memerintahkan kepada pihak bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga dari hasil penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika milik tersangka atau pihak lain yang terkait;
c. untuk mendapat keterangan dari pihak bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka yang sedang diperiksa;
d. untuk mendapat informasi dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang terkait dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
e. meminta secara langsung kepada instansi yang berwenang untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri;
f. meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka kepada instansi terkait;
g. menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau mencabut sementara izin, lisensi, serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang sedang diperiksa; dan
h. meminta bantuan interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri.

Pasal 81

Penyidik Kepolisian Negara dan penyidik BNN berwenang melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika berdasarkan Undang-Undang ini.

Pasal 82

(1) Penyidik pegawai negeri sipil tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika.
(2) Penyidik pegawai negeri sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di lingkungan kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Narkotika dan Prekursor Narkotika berwenang:
  • (a). memeriksa kebenaran laporan serta keterangan tentang adanya dugaan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika; (b). memeriksa orang yang diduga melakukan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika; (c). meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika; (d). memeriksa bahan bukti atau barang bukti perkara penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika; (e). menyita bahan bukti atau barang bukti perkara penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika; (f). memeriksa surat dan/atau dokumen lain tentang adanya dugaan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika; (g). meminta bantuan tenaga ahli untuk tugas penyidikan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan (h). menangkap orang yang diduga melakukan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika.

Pasal 83

Penyidik dapat melakukan kerja sama untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.

Pasal 84

Dalam melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, penyidik Kepolisian Negara memberitahukan secara tertulis dimulainya penyidikan kepada penyidik BNN begitu pula sebaliknya.

Pasal 85

Dalam melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika, penyidik pegawai negeri sipil tertentu berkoordinasi dengan penyidik BNN atau penyidik Kepolisian Negara sesuai dengan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana.

Pasal 86

(1) Penyidik dapat memperoleh alat bukti selain sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana.
(2) Alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
(a). informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan (b). data rekaman atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan denganatau tanpa bantuan suatu sarana baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas maupun yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada:
  1. tulisan, suara, dan/atau gambar;
  2. peta, rancangan, foto atau sejenisnya; atau
  3. huruf, tanda, angka, simbol, sandi, atau perforasi yang memiliki makna dapat dipahami oleh orangyang mampu membaca atau memahaminya.

Pasal 87

(1) Penyidik Kepolisian Negara atau penyidik BNN yang melakukan penyitaan Narkotika dan Prekursor Narkotika, atau yang diduga Narkotika dan Prekursor Narkotika, atau yang mengandung Narkotika dan Prekursor Narkotika wajib melakukan penyegelan dan membuat berita acara penyitaan pada hari penyitaan dilakukan, yang sekurang-kurangnya memuat:
a. nama, jenis, sifat, dan jumlah;
b. keterangan mengenai tempat, jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun dilakukan penyitaan;
c. keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan
d. tanda tangan dan identitas lengkap penyidik yang melakukan penyitaan.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memberitahukan penyitaan yang dilakukannya kepada kepala kejaksaan negeri setempat dalam waktu paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak dilakukan penyitaan dan tembusannya disampaikan kepada ketua pengadilan negeri setempat, Menteri, dan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.

Pasal 88

(1) Penyidik pegawai negeri sipil tertentu yang melakukan penyitaan terhadap Narkotika dan Prekursor Narkotika wajib membuat berita acara penyitaan dan menyerahkan barang sitaan tersebut beserta berita acaranya kepada penyidik BNN atau penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia setempat dalam waktu paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak dilakukan penyitaan dan tembusan berita acaranya disampaikan kepada kepala kejaksaan negeri setempat, ketua pengadilan negeri setempat, Menteri, dan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.
(2) Penyerahan barang sitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari jika berkaitan dengan daerah yang sulit terjangkau karena faktor geografis atau transportasi.

Pasal 89

(1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 dan Pasal 88 bertanggung jawab atas penyimpanan dan pengamanan barang sitaan yang berada di bawah penguasaannya.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penyimpanan, pengamanan, dan pengawasan Narkotika dan Prekursor Narkotika yang disita sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 90

(1) Untuk keperluan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, penyidik Kepolisian Negara , penyidik BNN, dan penyidik pegawai negeri sipil menyisihkan sebagian kecil barang sitaan Narkotika dan Prekursor Narkotika untuk dijadikan sampel guna pengujian di laboratorium tertentu dan dilaksanakan dalam waktu paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak dilakukan penyitaan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pengambilan dan pengujian sampel di laboratorium tertentu diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 91

(1) Kepala kejaksaan negeri setempat setelah menerima pemberitahuan tentang penyitaan barang Narkotika dan Prekursor Narkotika dari penyidik Kepolisian Negara atau penyidik BNN, dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari wajib menetapkan status barang sitaan Narkotika dan Prekursor Narkotika tersebut untuk kepentingan pembuktian perkara, kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kepentingan pendidikan dan pelatihan, dan/atau dimusnahkan.
(2) Barang sitaan Narkotika dan Prekursor Narkotika yang berada dalam penyimpanan dan pengamanan penyidik yang telah ditetapkan untuk dimusnahkan, wajib dimusnahkan dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak menerima penetapan pemusnahan dari kepala kejaksaan negeri setempat.
(3) Penyidik wajib membuat berita acara pemusnahan dalam waktu paling lama 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam sejak pemusnahan tersebut dilakukan dan menyerahkan berita acara tersebut kepada penyidik BNN atau penyidik Kepolisian Negara setempat dan tembusan berita acaranya disampaikan kepada kepala
kejaksaan negeri setempat, ketua pengadilan negeri setempat, Menteri, dan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.
(4) Dalam keadaan tertentu, batas waktu pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu yang sama.
(5) Pemusnahan barang sitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan berdasarkan ketentuan Pasal 75 huruf k.
(6) Barang sitaan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi diserahkan kepada Menteri dan untuk kepentingan pendidikan dan pelatihan diserahkan kepada Kepala BNN dan Kepala Kepolisian Negara dalam waktu paling lama 5 (lima) hari terhitung sejak menerima penetapan dari kepala kejaksaan negeri setempat.
(7) Kepala BNN dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (6) menyampaikan laporan kepada Menteri mengenai penggunaan barang sitaan untuk kepentingan pendidikan dan pelatihan.

Pasal 92

(1) Penyidik Kepolisian Negara dan penyidik BNN wajib memusnahkan tanaman Narkotika yang ditemukan dalam waktu paling lama 2 x 24 (dua kali dua puluh empat) jam sejak saat ditemukan, setelah disisihkan sebagian kecil untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, dan dapat disisihkan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta untuk kepentingan pendidikan dan pelatihan.
(2) Untuk tanaman Narkotika yang karena jumlahnya dan daerah yang sulit terjangkau karena faktor geografis atau transportasi, pemusnahan dilakukan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari.
(3) Pemusnahan dan penyisihan sebagian tanaman Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan pembuatan berita acara yang sekurang-kurangnya
memuat:
a. nama, jenis, sifat, dan jumlah;
b. keterangan mengenai tempat, jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun ditemukan dan dilakukan pemusnahan;
c. keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai tanaman Narkotika; dan
d. tanda tangan dan identitas lengkap pelaksana dan pejabat atau pihak terkait lainnya yang menyaksikan pemusnahan.
(4) Sebagian kecil tanaman Narkotika yang tidak dimusnahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disimpan oleh penyidik untuk kepentingan pembuktian.
(5) Sebagian kecil tanaman Narkotika yang tidak dimusnahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disimpan oleh Menteri dan Badan Pengawas Obat dan Makanan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
(6) Sebagian kecil tanaman Narkotika yang tidak dimusnahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disimpan oleh BNN untuk kepentingan pendidikan dan pelatihan.

Pasal 93

Selain untuk kepentingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90, Pasal 91, dan Pasal 92 sebagian kecil Narkotika atau tanaman Narkotika yang disita dapat dikirimkan ke negara lain yang diduga sebagai asal Narkotika atau tanaman Narkotika tersebut untuk pemeriksaan laboratorium guna pengungkapan asal Narkotika atau tanaman Narkotika dan jaringan peredarannya berdasarkan perjanjian antarnegara atau berdasarkan asas timbal balik.

Pasal 94

Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penyerahan dan pemusnahan barang sitaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 dan Pasal 92 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 95

Proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tidak menunda atau menghalangi penyerahan barang sitaan menurut ketentuan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 dan Pasal 91.

Pasal 96

(1) Apabila berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terbukti bahwa barang sitaan yang telah dimusnahkan menurut ketentuan Pasal 91 diperoleh atau dimiliki secara sah, kepada pemilik barang yang bersangkutan diberikan ganti rugi oleh Pemerintah.
(2) Besaran ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh pengadilan.

Pasal 97

Untuk kepentingan penyidikan atau pemeriksaan di sidang pengadilan, tersangka atau terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta kekayaan dan harta benda istri, suami, anak, dan setiap orang atau korporasi yang diketahuinya atau yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika yang dilakukan tersangka atau terdakwa.

Pasal 98

Hakim berwenang meminta terdakwa membuktikan bahwa seluruh harta kekayaan dan harta benda istri, suami, anak, dan setiap orang atau korporasi bukan berasal dari hasil tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika yang dilakukan terdakwa.

Pasal 99

(1) Di sidang pengadilan, saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika yang sedang dalam pemeriksaan, dilarang menyebutkan nama dan alamat pelapor atau hal yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor.
(2) Sebelum sidang dibuka, hakim mengingatkan saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika untuk tidak melakukan perbuatan yang dilarang sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 100

(1) Saksi, pelapor, penyidik, penuntut umum, dan hakim yang memeriksa perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika beserta keluarganya wajib diberi perlindungan oleh negara dari ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, baik sebelum, selama maupun sesudah proses pemeriksaan perkara.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perlindungan oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 101

(1) Narkotika, Prekursor Narkotika, dan alat atau barang yang digunakan di dalam tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika atau yang menyangkut Narkotika dan Prekursor Narkotika serta hasilnya di - nyatakan dirampas untuk negara.
(2) Dalam hal alat atau barang yang dirampas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah milik pihak ketiga yang beritikad baik, pemilik dapat mengajukan keberatan terhadap perampasan tersebut kepada pengadilan yang bersangkutan dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari setelah pengumuman putusan pengadilan tingkat pertama.
(3) Seluruh harta kekayaan atau harta benda yang merupakan hasil tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika dan tindak pidana pencucian uang dari tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dirampas untuk negara dan digunakan untuk kepentingan:
a.pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan
b.upaya rehabilitasi medis dan sosial.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penggunaan harta kekayaan atau aset yang diperoleh dari hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 102

Perampasan aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 dapat dilakukan atas permintaan negara lain berdasarkan perjanjian antarnegara.

Pasal 103

(1) Hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat:
a. memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika; atau
b. menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut tidak  terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika.
(2) Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi Pecandu Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman.

BAB XIII

PERAN SERTA MASYARAKAT

Pasal 104

Masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan serta membantu pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.

Pasal 105

Masyarakat mempunyai hak dan tanggung jawab dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.

Pasal 106

Hak masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika diwujudkan dalam bentuk:
a. mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika;
b. memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh, dan memberikan informasi tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika kepada penegak hukum atau BNN yang menangani perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika;
c. menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada penegak hukum atau BNN yang menangani perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika;
d. memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak hukum atau BNN;
e. memperoleh perlindungan hukum pada saat yang bersangkutan melaksanakan haknya atau diminta hadir dalam proses peradilan.

Pasal 107

Masyarakat dapat melaporkan kepada pejabat yang berwenang atau BNN jika mengetahui adanya penyalahgunaan atau peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.

Pasal 108

(1) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104, Pasal 105, dan Pasal 106 dapat dibentuk dalam suatu wadah yang dikoordinasi oleh BNN.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Kepala BNN.

BAB XIV

PENGHARGAAN

Pasal 109

Pemerintah memberikan penghargaan kepada penegak hukum dan masyarakat yang telah berjasa dalam upaya pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.

Pasal 110

Pemberian penghargaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

BAB XV

KETENTUAN PIDANA

Pasal 111

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal 112

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal 113

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal 114

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal 115

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).


Lanjut ke bag ii >> UU Tentang Narkotika

0 komentar

irfblog. Diberdayakan oleh Blogger.