Popular Posts

irfblogBacklink






Rating for erosisland.blogspot.com

My Ping in TotalPing.com

desain 1

Lawan rasa takut dan jalin silaturahmi dengan sesama rekan alumni.

desain 2

Lawan rasa takut dan jalin silaturahmi dengan sesama rekan alumni.

desain 3

Lawan rasa takut dan jalin silaturahmi dengan sesama rekan alumni.

desain 4

Lawan rasa takut dan jalin silaturahmi dengan sesama rekan alumni.

desain 5

Lawan rasa takut dan jalin silaturahmi dengan sesama rekan alumni.

Kamis, 29 Agustus 2013

Sekelumit Kisah di Balik Penghapusan Syariat Islam Dalam Naskah Piagam Jakarta.

Ada khianat dan dusta, di balik terhapusnya kalimat, “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dalam Piagam Jakarta yang juga Pembukaan UUD 1945. Sikap toleran tokoh-tokoh Islam, dibalas dengan tipu-tipu politik!
Sebagaimana ditulis (Saif al-Battar, arrahmah.com) sebelumnya, sehari pasca pembacaan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945, tujuh kata dalam Piagam Jakarta dihapuskan. Di antara tokoh yang sangat gigih menolak penghapusan itu adalah tokoh Muhammadiyah, Ki Bagus Hadikusumo. Saking gigihnya, sampai-sampai Soekarno dan Hatta tak berani bicara langsung dengan Ki Bagus. Soekarno terkesan menghindar dan canggung, karena bagi Ki Bagus, penegakan syariat Islam adalah harga mati yang tak bisa ditawar lagi.

Untuk meluluhkan pendirian Ki Bagus, Soekarno kemudian mengirim utusan bernama Teuku Muhammad Hassan dan KH Wahid Hasyim agar bisa melobi Ki Bagus. Namun, keduanya tak mampu meluluhkan pendirian tokoh senior di Muhammadiyah ketika itu. Akhirnya, dipilihlah Kasman Singodimedjo yang juga orang Muhammadiyah, untuk melakukan pendekatan secara personal, sesama anggota Muhammadiyah, untuk melunakkan sikap dan pendirian Ki Bagus Hadikusumo.

Dalam memoirnya yang berjudul ”Hidup Itu Berjuang“, Kasman menceritakan bahwa ia mendatangi Ki Bagus dan berkomunikasi dengan bahasa Jawa halus (kromo inggil). Kepada Ki Bagus, Kasman membujuk dengan mengatakan,

“Kiai, kemarin proklamasi kemerdekaan Indonesia telah terjadi. Hari ini harus cepat-cepat ditetapkan Undang-Undang Dasar sebagai dasar kita bernegara, dan masih harus ditetapkan siapa presiden dan lain sebagainya untuk melancarkan perputaran roda pemerintahan. Kalau bangsa Indonesia, terutama pemimpin-pemimpinnya cekcok, lantas bagaimana?!

Kiai, sekarang ini bangsa Indonesia kejepit di antara yang tongol-tongol dan yang tingil-tingil. Yang tongol-tongol  ialah balatentara Dai Nippon yang masih berada di bumi Indonesia dengan persenjataan modern. Adapun yang tingil-tingil (yang mau masuk kembali ke Indonesia, pen) adalah sekutu termasuk di dalamnya Belanda, yaitu dengan persenjataan yang modern juga. Jika kita cekcok, kita pasti akan konyol.

Kiai, di dalam rancangan Undang-Undang Dasar yang sedang kita musyawarahkan hari ini tercantum satu pasal yang menyatakan bahwa 6 bulan lagi nanti kita dapat adakan Majelis Permusyawaratan Rakyat, justru untuk membuat Undang-Undang Dasar yang sempurna. Rancangan yang sekarang ini adalah  rancangan Undang-Undang Dasar darurat. Belum ada waktu untuk membikin yang sempurna atau memuaskan semua pihak, apalagi di dalam kondisi kejepit!

Kiai, tidakkah bijaksana jikalau kita sekarang sebagai umat Islam yang mayoritas ini sementara mengalah, yakni menghapus tujuh kata termaksud demi kemenangan cita-cita kita bersama, yakni tercapainya Indonesia Merdeka sebagai negara yang berdaulat, adil, makmur, tenang tenteram, diridhai Allah SWT.”

Kasman juga menjelaskan perubahan yang diusulkan oleh Mohammad Hatta, bahwa kata ”Ketuhanan” ditambah dengan ”Ketuhanan Yang Maha Esa”.  KH A Wahid Hasyim dan Teuku Muhammad Hassan yang ikut dalam lobi itu menganggap Ketuhanan Yang Maha Esa adalah AllahSubhanahu wa Ta’ala, bukan yang lainnya. Kasman menjelaskan, Ketuhanan Yang Maha Esa menentukan arti Ketuhanan dalam Pancasila. ”Sekali lagi bukan Ketuhanan sembarang Ketuhanan, tetapi yang dikenal Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa,” kata Kasman meyakinkan Ki Bagus.

Kasman juga menjelaskan kepada Ki Bagus soal janji Soekarno yang mengatakan bahwa enam bulan lagi akan ada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk membuat undang-undang yang sempurna. Di sanalah nanti kelompok Islam bisa kembali mengajukan gagasan-gagasan Islam. Karena Soekarno ketika itu mengatakan, bahwa perubahan ini adalah Undang-Undang Dasar sementara, Undang-undang Dasar kilat. “Nanti kalau kita telah bernegara di dalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat Undang-Undang yang lebih lengkap dan sempurna,” kata Soekarno.

”Hanya dengan kepastian dan jaminan enam bulan lagi sesudah Agustus 1945 itu akan dibentuk sebuah Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Majelis pembuat Undang-Undang Dasar Negara guna memasukkan materi Islam itu ke dalam undang-undang dasar yang tetap, maka bersabarlah Ki Bagus Hadikusumo itu untuk menanti,” kenang Kasman dalam memoirnya.

Selain soal jaminan di atas, tokoh-tokoh Islam juga dihadapkan pada suatu situasi terjepit dan sulit, dimana kalangan sekular selalu mengatakan bahwa kemerdekaan yang sudah diproklamasikan membutuhkan persatuan yang kokoh. Inilah yang disebut Kasman dalam memoirnya bahwa kalangan sekular pintar memanfaatkan momen psikologis, dimana bangsa ini butuh persatuan, sehingga segala yang berpotensi memicu perpecahan harus diminimalisir. Dan yang perlu dicatat, tokoh-tokoh Islam yang dari awal menginginkan negeri ini merdeka dan bersatu, saat itu begitu legowo untuk tidak memaksakan kehendaknya mempertahankan tujuh kata tersebut, meskipun begitu pahit rasanya hingga saat ini. Sementara kalangan sekular-Kristen yang minoritas selalu membuat move politik yang memaksakan kehendak mereka.

Namun sikap toleran dan legowo tokoh-tokoh Islam ternyata dikhianati. Kasman sendiri akhirnya menyesal telah membujuk dan melobi Ki Bagus hingga akhirnya tokoh Muhammadiyah itu menerima penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Setelah berhasil melobi Ki Bagus, sebagaimana diceritakan Kasman dalam Memoirnya, ia gelisah dan tidak bisa tidur. Kepada keluarganya ia tidak bicara, diam membisu. Ia menceritakan dalam memoirnya,

”Alangkah terkejut saya waktu mendapat laporan dari Cudhanco Latief Hendraningrat, bahwa balatentara Dai Nippon (Jepang, pen) telah mengepung Daidan, dan kemudian merampas semua senjata dan mesiu yang ada di Daidan. Selesai laporan, maka Latief Hendraningrat hanya dapat menangis seperti anak kecil, dan menyerahkan diri kepada saya untuk dihukum atau diampuni. Nota bene, Latief sebelum itu, bahkan sebelum memberi laporannya telah meminta maaf terlebih dahulu.

Ya apa mau dibuat! Saya pun tak dapat berbuat apa-apa. Saya mencari kesalahan pada diri saya sendiri sebelum menunjuk orang lain bersalah. Ini adalah pelajaran Islam. Memang saya ada bersalah, mengapa saya sebagai militer kok ikut-ikutan berpolitik dengan memenuhi panggilan Bung Karno!?

….Malamnya tanggal (18 Agustus malam menjelang 19 Agustus 1945) itu sengaja saya membisu. Kepada keluargapun saya tidak banyak bicara, saya pun lelah, letih sekali hari itu, lagi pula kesal di hati. Siapa yang harus saya marahi?”

Kasman mengatakan, ada dua kehilangan besar dalam sejarah bangsa ini ketika itu. Pertama, penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang menjadi Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Kedua, hilangnya sejumlah senjata milik tentara Indonesia dan lain-lainnya yang sangat vital pada waktu itu.

Kasman menyadari dirinya terlalu praktis dan tidak berpikir jauh dalam memandang Piagam Jakarta. Ia hanya terbuai dengan janji Soekarno yang mengatakan bahwa enam bulan lagi akan ada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat yang akan dapat memperbaiki kembali semua itu. Padahal dalam waktu enam bulan, mustahil untuk melakukan sidang perubahan di tengah kondisi yang masih bergolak. Meski Kasman telah mengambil langkah keliru, namun niat di hatinya sesungguhnya sangat baik, ingin bangsa ini bersatu.

“Sayalah yang bertanggung jawab dalam masalalah ini, dan semoga Allah mengampuni dosa saya,” kata Kasman sambil meneteskan air mata, seperti diceritakan tokoh Muhammadiyah Lukman Harun, saat Kasman mengulang cerita peristiwa tanggal 18 Agustus itu.

Dengan lantang dan berapi-api ia berpidato, “Saudara ketua, satu-satunya tempat yang tepat untuk menetapkan Undang-Undang Dasar yang tetap dan untuk menentukan dasar negara yang tentu-tentu itu ialah Dewan Konstituante ini! Justru itulah yang menjadi way out daripada pertempuran sengit di dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang telah pula saya singgung dalam pidato saya dalam pandangan umum babak pertama.

Saudara ketua, saya masih ingat, bagaimana ngototnya almarhum Ki Bagus Hadikusumo Ketua Umum Pusat Pimpinan Muhammadiyah yang pada waktu itu sebagai anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mempertahankan Islam untuk dimasukkan dalam muqoddimah dan Undang-Undang Dasar 1945. Begitu ngotot saudara ketua, sehingga Bung Karno dan Bung Hatta menyuruh Mr T.M Hassan sebagai putra Aceh menyantuni Ki Bagus Hadikusumo guna menentramkannya. Hanya dengan kepastian dan jaminan bahwa 6 bulan lagi sesudah Agustus 1945 kita akan bentuk sebuah Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Majelis Pembuat Undang-Undang Dasar yang tetap, maka bersabarlah Ki Bagus Hadikusumo untuk menanti.

Saudara ketua, kini juru bicara Islam Ki Bagus Hadikusumo itu telah meninggalkan kita untuk selama-lamannya, karena telah berpulang ke rahmatullah. Beliau telah menanti dengan sabarnya, bukan menanti 6 bulan seperti yang telah dijanjikan kepadanya. Beliau menanti, ya menanti sampai dengan wafatnya…

Gentlement agreement itu sama sekali tidak bisa dipisahkan daripada “janji” yang telah diikrarkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia kepada kami golongan Islam yang berada dalam panitia tersebut. Di dalam hal ini Dewan Konstituante yang terhormat dapat memanggil Mr. T.M Hassan, Bung Karno dan Bung Hatta sebagai saksi mutlak yang masih  hidup guna mempersaksikan kebenaran uraian saya ini…

Saudara ketua, di mana lagi jika tidak di Dewan Konstituante yang terhormat ini, saudara ketua, di manakah kami golongan Islam menuntut penunaian “janji” tadi itu? Di mana lagi tempatnya? Apakah Prof Mr Soehardi mau memaksa kita mengadakan revolusi? Saya persilakan saudara Prof Mr Soehardi menjawab pertanyaan saya ini secara tegas! Silakan!

Pidato Kasman di Sidang Konstituante yang sangat menyengat dan mengusulkan Islam sebagai dasar negara sungguh sebuah penebusan kesalahan yang sangat luar biasa.Dalam pidato tersebut, Kasman secara detil mengemukakan alasan-alasannya mengapa Islam layak dijadikan dasar negara, dan mempersilakan golongan lain untuk mengemukakan alasan-alasannya terhadap Pancasila.

Bagi Kasman, Islam adalah sumber mata air yang tak pernah kering dan tak akan ada habisnya  untuk digunakan sebagai dasar dari NKRI ini, jika negara ini dilandaskan pada Islam. Sedangkan Pancasila yang dijadikan dasar negara tak lebih seperti “air dalam tempayan”, yang diambil diangsur, digali dari “mata air” atau sumber yang universal itu, yaitu Islam.

Kasman mengatakan, “Ada yang mengira, si penemu—katakan kalau mau, ‘si penggali’ air dalam tempayan itu adalah sakti mandra guna, dianggapnya hampir-hampir seperti Nabi atau lebih daripada itu, dan tidak dapat diganggu gugat. Sedang air dalam tempayan itu, lama kelamaan, secara tidak terasa mungkin, dianggapnya sebagai air yang keramat, ya sebagai supergeloof (ideologi yang luar biasa, pen) yang tidak dapat dibahas dengan akal manusia, dan yang tidak boleh didiskusikan lagi di Konstituante sini. Masya Allah!”

Begitulah sekelumit kisah di balik penghapusan syariat Islam dalam naskah Piagam Jakarta. Ada dusta dan khianat dari mereka yang memberi janji-janji muluk kepada tokoh-tokoh Islam saat itu. Ada upaya-upaya yang jelas dan tegas untuk memarjinalkan Islam. Menggunting dalam lipatan, menelikung di tengah jalan, adalah politik yang dilakukan kelompok-kelompok yang tidak ingin negara ini berlandaskan pada syariat Islam.

Inilah pelajaran berharga bagi umat Islam, dimana sikap toleran kita terhadap kelompok minoritas justru dihadiahi janji-janji palsu dan dusta. Umat Islam harus menagih janji itu, bahwa Piagam Jakarta harus kembali diberlakukan!

Rabu, 28 Agustus 2013

Fatwa MUI tentang Faham Syi’ah

Inilah fatwa MUI yang sebenarnya tentang Syiah, jadi kalau fatwa MUI yang sekarang ini membenarkan Syi'ah, maka sebagai "orang yang beriman harus lebih berhati-hati", karena fatwa mereka sekarang telah merusak fatwa pendahulunya. Ada apa dengan MUI?

"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil-amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya". QS An Nisaa' Ayat 59  

FAHAM SYI'AH HIMPUNAN FATWA MUI SEJAK TAHUN 1975

Majelis Ulama Indonesia dalam Rapat Kerja Nasional bulan Jumadil Akhir 1404 H./Maret 1984 M merekomendasikan tentang faham Syi'ah sebagai berikut :

Faham Syi'ah sebagai salah satu faham yang terdapat dalam dunia Islam mempunyai perbedaan-perbedaan pokok dengan mazhab Sunni (Ahlus Sunnah Wal Jamm'ah) yang dianut oleh Umat Islam Indonesia.
Perbedaan itu di antaranya :
  1. Syi'ah menolak hadis yang tidak diriwayatkan oleh Ahlul Bait, sedangkan Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak membeda-bedakan asalkan hadits itu memenuhi syarat ilmu mustalah hadis.
  2. Syi'ah memandang "Imam" itu ma'sum (orang suci), sedangkan Ahlus Sunnah wal Jama'ah memandangnya sebagai manusia biasa yang tidak luput dari kekhilafan (kesalahan).
  3. Syi'ah tidak mengakui Ijma' tanpa adanya "Imam", sedangkan Ahlus Sunnah wal Jama'ah mengakui Ijma' tanpa mensyaratkan ikut sertanya "Imam".
  4. Syi'ah memandang bahwa menegakkan kepemimpinan/pemerintahan (imamah) adalah termasuk rukun agama, sedangkan Sunni (Ahlus Sunnah wal Jama'ah) memandang dari segi kemaslahatan umum dengan tujuan keimamahan adalah untuk menjamin dan melindungi da'wah dan kepentingan umat.
  5. Syi'ah pada umumnya tidak mengakui kekhalifahan Abu Bakar as-Siddiq, Umar Ibnul Khatab, dan Usman bin Affan, sedangkan Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengakui keempat Khulafa' Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali bin Abi Thalib).
Mengingat perbedaan-perbedaan pokok antara Syi'ah dan Ahlus Sunnah wal Jama'ah seperti tersebut di atas, terutama mengenai perbedaan tentang "Imamah" (pemerintahan)", Majelis Ulama Indonesia menghimbau kepada umat Islam Indonesia yang berfaham Ahlus Sunnah wal Jama'ah agar meningkatkan kewaspadaan terhadap kemungkinan masuknya faham yang didasarkan atas ajaran Syi'ah.

Ditetapkan : Jakarta, 7 Maret 1984 M

4 Jumadil Akhir 1404 H

KOMISI FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA

Ketua :

ttd

Prof. K.H. Ibrahim Hosen, LML

Sekretaris

ttd

H. Musytari Yusuf, LA

HIMPUNAN FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA hal 46-47
sumber : MUI

Berikut ini screenshotnya saya lampirkan, klik gambar untuk melihat lebih jelas, kalau perlu klik kanan lalu simpan gambar untuk mendownloadnya.

Fatwa MUI Tentang Syiah [1]
Fatwa MUI Tentang Syiah [2]

Biografi Imam Nawawi

Sumber Gambar: Google
Beliau adalah Yahya bin Syaraf bin Hasan bin Husein bin Jam’ah Al-Haazi Muhyiddin Abu Zakariya An.-Nawawi Asy Syafi’i Al-’Allamah, Syaikhul Madzhab dan termasuk fuqaha’ senior.

Beliau lahir di Nawa, sebuah desa di selatan Damaskus pada tahun 631 H. Beliau tumbuh dan melihat lailatul qadar tatkala berumur tujuh tahun dan tanda-tanda kebagusannya telah nampak pada din beliau semenjak kecil.

Syaikh Yaasin bin Yusuf Al-Marakisyi berkata: “Aku melihat Syaikh tatkala beliau berumur 10 tahun di Nawa. Anak-anak yang lain memaksa beliau untuk diajak bermain, namun beliau lan dan mereka sembari menangis karena dipaksa bermain-main bersama mereka. Beliau menghafal Al-Qur’an pada umur tersebut dan jadilah Al-Qur’an itu sesuatu yang dicintai hatinya. Ayah beliau menyuruhnya menunggu toko, akan tetapi jual beli tidak menyibukkan beliau untuk membaca Al-Qur’an.

Syaikh Yasin berkata: “Aku mendatangi gurunya dan berwasiat kepadanya dan aku katakan: “Sesungguhnya ia (An-Nawawi) dapat diharapkan menjadi orang yang paling pandai di zamannya, yang paling zuhud dan manusia dapat mengambil manfaat dannya”. Maka guru tersebut berkata kepadaku: “Apakah engkau ini tukang ramal?” Aku katakan: “Bukan, ini hanyalah menurut Wawasan yang Allah berikan kepadaku”. Lalu guru tersebut mencenitakan hal itu kepada orang tuanya sehingga orang tuanya bersemangat untuk mendorong beliau agar segera menghafalkan Al-Qur’an dan memperlakukan beliau dengan lembut.”

KEDATANGAN BELIAU DI DAMASKUS DAN TINGGALNYA BELIAU DISANA
Imam An-Nawawi berkata: “Tatkala menginjak usia 19 tahun orang tuaku membawaku ke Damaskus lalu aku tinggal di Madrasah Rawahiyah selama kurang lebih dua tahun untuk mencari ilmu dan tinggal di dalamnya”. Beliau menegakkan ibadah dan beliau mencukupi keperluan hidupnya dan pemberian madrasah dan beliau infakkan sebagian darinya.

Beliau menunaikan haji tatkala beliau tinggal di Damaskus tahun 651 H. Beliau tinggal di Madinah Al-Munawarah selama satu setengah bulan, ketika itu wukuf di Arafah bertepatan dengan hari Jum’at. Disebutkan bahwa tatkala beliau keluar untuk pergi haji tiba-tiba terserang demam dan hal itu tidak berakhir hingga beliau wuquf di Arafah, namun beliau tetap bersabar, tidak berhenti sedikitpun. Setelah beliau menyempurnakan haji lalu kembali ke Damaskus. Setelah itu Allah betul-betul mencurahkan atas beliau dengan hujan ilmu dan nampaklah atasnya -sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Adz-Dzahabi dalam Siyaru A’lam AnNubala’- tanda-tanda kecerdikan dan kepandaiannya.

KESIBUKAN BELIAU DALAM MENCARI ILMU
Beliau senantiasa berkutat dengan ilmu dan meniti jejak para salaf dalam beribadah, baik dalam hal shalat, shiyam, wara’ dan tidak menyia-nyiakan waktu sedikitpun. Beliau membaca 12 pelajaran setiap harinya dari para syaikh berupa penjelasan maupun pendalaman dan kitab Al-Wasith, juga Al-Muhadzdzab, Al-Jam’u baina Shahihain, Shahih Muslim, Al-Lam’u karya Abu Ishaq AsySyairaazi,Ushul Al-Fiqh, Al-Muntakhib karya Fakhru Ar-Raazi, nama-nama rijalul hadits dan tentang pokok-pokok dien. Beliau juga menta’liq (mengomentari) apa-apa yang berkaitan dengan kitab-kitab tersebut, menerangkan yang sulit dan menjelaskan kaidah-kaidah bahasanya. Allah memberkahi waktu beliau dan membantunya untuk meraih apa yang beliau tekadkan.

Seakan iradah Allah telah mengistimewakan seorang alim yang agung ini untuk berkhidmat kepada ilmu-ilmu syar’i, sehingga pada gilirannya beliau menjadi rujukan bagi para ulama dan tumpuan para fuqaha’. Allah telah mencabut dan hati beliau unsur-unsur yang menjadi penghalang bagi tercapainya tujuan ini.

Beliau berkata: “Suatu ketika, terdetik di hatiku untuk menyibukkan din dengan ilmu kedokteran, maka aku membeli kitab Al-Qanun (karya Ibnu Sina) dan aku bertekad untuk menyibukkan din dengannya. Namun hatiku serasa gelap hingga berhari-hari aku tak ada semangat untuk berbuat apa-apa. Lalu aku memikirkan nasib diriku, dan pintu mana aku hendak berbuat. Kemudian Allah Ta’ala mengilhamkan aku untuk berkutat dengan ilmu kedokteran sebagai Sebab (kembalinya semangatku). Maka aku menjual buku tersebut dan aku keluarkan buku-buku di rumahku yang berkaitan dengan ilmu kedokteran, lalu hatiku serasa bersinar dan aku mendapatkan kembali apa yang telah hilang dariku”.

Dengan semangat beliau yang tinggi dalam hal ilmu ini, beliau tidak tidur malam melainkan sebentar saja. Beliau tidur sejenak bersandarkan buku-bukunya kemudian bangun untuk mengulangi pelajaran dan ilmu. Beliau tidak menyia-nyiakan waktu malam ataupun siangnya. Selalu beliau gunakan waktunya untuk sibuk dengan ilmu dan ibadah. Sarnpai-sampai manakala beliau bepergian, ketika berada di jalan beliau tetap asyik mengulang-ulang hafalannya, terlebih dengan banyaknya beliau membaca Al-Qur’an Al-Karim dan kebiasaan beliau untuk senantiasa berdzikir serta berpaling dan dunia menghadapkan wajahnya ke akhirat.

KARYA-KARYA BELIAU

Beliau memiliki karya yang berjumlah banyak, bermanfaat besar dan berfaedah agung. Di antara bab-babnya ada yang telah beliau sempurnakan ada pula yang belum disempurnakan. Di antara karya beliau adalah:
  1. Al-Arba’in
  2. Riyadhu Ash-Shalihin
  3. Al-Minhaaj lisyarhi Shahih Muslim bin Hajjaj
  4. Syarh Al-Jami’ Ash-Shahih Iil Bukhari
  5. Syarah Sunan Abi Daud
  6. At-Tahqiiq
  7. At-Tarkhish fii Al-Ikram bit Qiyaami ii Dzawil Fadhl wal Maziyah min Alili Al-Islam
  8. At-Taqrib wa At-Taisir li Ma’rifah Sunan Al-Basyir AnNadziir
  9. Taqriib Al-Irs yad ila Ilmi Al-Isnaad
  10. Tahdzib Al-Asma’ wa Al-Lughat
  11. Ruuh Al-Masa’il fii Al-Furuu’
  12. Al-Isyaaraat ila Bayaani Al-Asmaa’ Al-Mubhimaat fii Mutuuni Al Asaanid
  13. Uyuunu Al-Masa’il Al-Muliimmah
  14. Ghi its An-Naf’i fii Al-Qiraa’at As-Sab’i
  15. Al-Mublijm ‘Ala Huruufi Al-Mu’jam
  16. Mir’atu Az-Zamaan fii Taarikh Al-A’yaan
  17. Al-Mantsuuraat wa Uyuun Al-Masa’il Al-Muhimmat
  18. Al-Fatawa
  19. Thobaqaatul Fuqahaa’
  20. Tashnif Fil Istiqsa’ Wa Fi Istihbabil Qiyaam Li Ahlil Fadhl
Adapun kitab yang tidak sempat beliau tulis sampai selesai adalah:
  1. Syarh Al-Muhadzdzab. Ketika tengah menyusun kitab ini-lah beliau wafat. Kitab ini, baru sampai pada pembahasan Riba;
  2. At-Tahqiiq. Kitab ini baru sampai pada pembahasan Shalat Musafir;
  3. Syarh Muthawwal ’Alat Tanbih. Disebut juga dengan Tuhfatut Thalibin Nabiih, baru sampai pada pembahasan Shalat;
  4. Syarh Al-Wasith, disebut juga dengan At-Tanqih, baru sampai pada pembahasan Syarat Shalat; dan
  5. Al-Isyarat Ila MaWaqa’a Fir Raudhah Minal Asma’ Wal Ma’ani Wal Lughat. Kitab ini baru sampai pada pembahasan Shalat.
GURU-GURU BELIAU
Beliau menjumpai para ahli ilmu baik dalam bidang fikih, hadits, bahasa, ushul dan yang lain, mengambil manfaat dan mereka sesuai dengan spesialisasi mereka. Dan di antara syaikh-syaikh tersebut adalah:
  • Abu Ibrahim Ishaaq bin Ahmad bin Utsman Al-Maghribi
  • Abu Hafsh Umar bin As’ad Al-Irbili
  • Abu Al-Hasan Silaar bin Al-Hasan Al-Irbili
  • Abu Muhammad Abdurrahman bin Nuuh Al-Maqdisi.
  • Imam An-Nawawi belajar kepada beliau tentang fikih, qira’ah, tashhih, sima’, syarh dan ta’liq. Demikian pula beliau mengambil ilmu hadits dan rijalnya kepada:
  • Abu Ishaq Ibrahini bin Isa Al-Muradi
  • Abu Al Baqaa’ Khaalid bin Yuusuf An-Nabilisi
  • Adh Dhiya’ bin Tamam Al-Hanafi
  • Abu Ishaq Ibraahim bin Au Al-Waasithi
  • Abu Al-Abbas Ahmad bin Abd Ad Da’im Al-Maqdisi
  • Abu Muhammad Isma’il bin Ibrahim At-Tanuukhi
  • Abu Al-Faraj Abdurrahman bin Muhammad bin Ahmad bin Qudamah Al-Maqdisi.
Beliau belajar bahasa dari:
  • Abu Al-Abbas Saalim bin Ahmad Al-Mishri
  • Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah Maalik Al Jiyaani penulis Alfiyah.
Beliau belajar Ushul Fikih kepada:
  • Abu Al-Fath Umar bin Bandar bin Umar At-Tafluisi Asy-Syafi’i.
MURID-MURID BELIAU
Melalui tangannya, bermunculan para ulama besar, di antaranya adalah Sulaiman bin Hilal al-Ja’fari, Ahmad Ibnu Farah al-Isybili, Muhammad bin Ibrahim bin Sa’dullah bin Jama’ah, ’Ala-uddin ’Ali Ibnu Ibrahim yang lebih dikenal dengan Ibnul ’Aththar, ia selalu menemaninya sampai ia dikenal dengan sebutan Mukhtashar an-Nawawi (an-Nawawi junior), Syamsuddin bin an-Naqib, dan Syamsuddin bin Ja’wan dan masih banyak yang lainnya.

PUJIAN TERHADAP BELIAU
Syaikh An-Nawawi -semoga Allah meridhainya- hidup dengan meneladani para syaikh dan pendahulu mereka (para salaf), meniti jejak mereka membuat hidup beliau di penuhi dengan takwa dan qana’ah, wara’ merasa diawasi Allah baik tatkala sendiri maupun di saat ramai. Beliau tinggalkan lezatnya makanan dan mewahnya pakaian. Beliau mencukupkan diri dengan sedikit makan dan berpakaian yang sederhana.
Beliau digelari Muhyiddin (yang menghidupkan agama) dan membenci gelar ini karena tawadhu’ beliau. Disamping itu, agama islam adalah agama yang hidup dan kokoh, tidak memerlukan orang yang menghidupkannya sehingga menjadi hujjah atas orang-orang yang meremehkannya atau meninggalkannya. Diriwayatkan bahwa beliau berkata: ”Aku tidak akan memaafkan orang yang menggelariku Muhyiddin.”
Beliau adalah manusia yang sangat wara dan zuhud. Adz-Dzahabi berkata: "Beliau adalah profil manusia yang berpola hidup sangat sederhana dan anti kemewahan. Beliau adalah sosok manusia yang bertaqwa, qana’ah, wara, memiliki muraqabatullah baik di saat sepi maupun ramai. Beliau tidak menyukai kesenangan pribadi seperti berpa-kaian indah, makan-minum lezat, dan tampil mentereng. Makanan beliau adalah roti dengan lauk seadanya. Pakaian beliau adalah pakaian yang seadanya, dan hamparan beliau hanyalah kulit yang disamak." Beliau selalu berusaha untuk melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar sekalipun terhadap penguasa. Beliau sering berkirim surat kepada mereka yang berisi nasihat agar berlaku adil dalam mengemban kekuasaan, menghapus cukai, dan mengembalikan hak kepada ahlinya. Abul Abbas bin Faraj berkata: "Syaikh (An-Nawawi) telah berhasil meraih 3 tingkatan yang mana 1 tingkatannya saja jika orang biasa berusaha untuk meraihnya, tentu akan merasa sulit. Tingkatan pertama adalah ilmu (yang dalam dan luas).Tingkatan kedua adalah zuhud (yang sangat). Tingkatan ketiga adalah keberanian dan kepiawaiannya dalam beramar ma’ruf nahi munkar."

WAFATNYA
Pada tahun 676 H. beliau kembali ke kampung halaman-nya Nawa, sesudah mengembalikan berbagai kitab yang dipinjamnya dari sebuah badan waqaf, selesai menziarahi makam para guru beliau, dan sehabis bersilaturrahim dengan para sahabat beliau yang masih hidup. Di hari keberangkatan beliau, para jama’ah yang beliau bina melepas kepergian beliau di pinggiran kota Damaskus, mereka lalu bertanya: "Kapan kita bisa bermuwajahah lagi (wahai syaikh)?" Beliau menjawab: "Sesudah 200 tahun." Akhirnya mereka paham bahwa yang beliau maksud adalah sesudah hari kiamat.

Sumber: Syarah Hadits Arbain, Ibnu Daqiq Ied (terjemahan : Abu Abdillah Umar Syariff), Pustaka At-Tibyan-Solo, Bahjah an-Nazhiriin, wikipedia, dll.

Selasa, 27 Agustus 2013

KH Firdaus AN - Meluruskan Sejarah Pergerakan Bangsa


KH. Firdaus AN, mantan Ketua Majelis Syuro Syarikat Islam kelahiran Maninjau tahun 1924, menulis  sebuah buku berjudul “Syarikat Islam Bukan Budi Utomo: Meluruskan Sejarah Pergerakan Bangsa”

Sumber: nadabuku
Menilai bahwa Budi Utomo (BO)  tidaklah memiliki andil untuk perjuangan kemerdekaan, mereka itu adalah para pegawai negeri  ( ambtenaar ) yang digaji Belanda untuk mempertahankan penjajahan yang dilakukan tuannya atas Indonesia.  BO juga tidak turut mengantarkan bangsa ini ke pintu gerbang kemerdekaan, karena telah bubar pada tahun 1935. BO adalah organisasi sempit, lokal dan etnis sentris. Hanya orang Jawa dan Madura yang boleh menjadi anggotanya. BO didirikan di Jakarta tanggal 20 Mei 1908 atas prakarsa para mahasiswa kedokteran STOVIA, Soetomo dan kawan-kawan. Di dalam rapat-rapat perkumpulan dan bahkan dalam penyusunan Anggaran Dasar Organisasi-pun BO tidak menggunakan bahasa Indonesia, melainkan menggunakan bahasa Belanda. Dalam rapat-rapat, BO tidak pernah membahas tentang kesadaran berbangsa dan bernegara yang merdeka. Mereka hanya membahas bagaimana memperbaiki tarap hidup orang-orang Jawa dan Madura di bawah pemerintahan Ratu Belanda.

Di dalam Pasal 2 Anggaran Dasar BO tertulis tentang tujuan organisasi yakni untuk menggalang kerjasama guna  memajukan tanah dan bangsa Jawa dan Madura secara harmonis. Tujuan BO tersebut jelas bersifat Jawa-Madura sentris, sama sekali bukan kebangsaan. BO juga memandang Islam sebagai batu sandungan bagi upaya mereka. Noto Soeroto, salah seorang tokoh BO, di dalam salah satu pidatonya tentang Gedachten van Kartini Alsrichtnoer voor de Indische Vereniging  berkata : “ Agama Islam merupakan batu karang yang sangat berbahaya.... sebab itu soal agama harus disingkirkan, agar perahu kita tidak karam dalam gelombang kesulitan “. Sebuah artikel di ”Suara Umum “ sebuah media massa milik BO di bawah asuhan Dr. Soetomo terbitan Surabaya, yang dikutip oleh  Al-Ustadz A. Hassan dalam majalah “ Al-Lisan “  terdapat tulisan yang antara lain berbunyi : “Digul lebih utama dari pada Mekkah, Buanglah Ka’bah dan jadikanlah Demak itu kamu punya kiblat. “ ( M.S. Al-Lisan Nomer 24, 1938).

Karena sikapnya yang tunduk dan setia kepada pemerintah kolonial Belanda, maka tidak ada satu orang pun anggota BO yang ditangkap dan dipenjarakan Belanda. Arah perjuangan BO yang tidak berasas kebangsaan , melainkan chauvinisme sempit, sebatas memperjuangkan Jawa dan Madura saja telah membuat kecewa dua tokoh besar BO sendiri, yakni Dr. Soetomo dan Dr. Cipto Mangunkusumo, sehingga keduanya kemudian hengkang dari BO. 

Ketua pertama #BoediOetomo yakni Raden Adipati Tirtokusumo, ternyata juga adalah seorang anggota Freemasonry. Dia aktif di Loji (baca: tempat beribadah anggota-anggota Freemasonsry) Mataram sejak tahun 1895.
Sumber: aenyandeleeb
Bukan itu saja, di belakang BO pun terdapat fakta yang mencengangkan. Ketua pertama BO yakni Raden Adipati Tirtokusumo, ternyata juga adalah seorang anggota Freemasonry. Dia aktif di Loji (baca: tempat beribadah anggota-anggota Freemasonsy) Mataram sejak tahun 1895.  Sekertaris BO (1916) , Boediardjo , juga seorang mason yang mendirikan cabang sendiri dengan nama Mason Boediardjo. Hal ini diungkapkan dalam buku “ Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962, karya Dr. Th. Stevens.” Sebuah buku yang dicetak terbatas dan hanya diperuntukan bagi angota Mason Indonesia.
Sumber: aenyandeleeb
Menurut KH Firdaus AN tiga tahun sebelum BO didirikan, Haji Samanhudi dan kawan-kawan mendirikan  Syarikat Islam  (SI) yang awalnya bernama Syarikat Dagang Islam (SDI) di  Solo pada tanggal 16 Oktober 1905. Ini merupakn organisasi Islam tertua dari semua organisasi masa di tanah air.  SI lebih nasionalis. Keanggotaan SI terbuka bagi semua rakyat Indonesia yang mayoritas muslim. Sebab itu para pengurusnyapun terdiri dari berbagai macam suku, seperti : Haji Samanhudi dan HOS Tjokroaminoto berasal dari Jawa Tengah dan Timur, Agus Salim dan Abdoel Moeis dari Sumatra Barat, dan AM Sangaji dari Maluku. SI bertujuan Islam Raya dan Indonesia Raya, bersifat nasional, Anggaran Dasarnya ditulis dalam Bahasa Indonesia, bersikap non-kooperatif dengan Belanda, SI memperjuangkan kemerdekaan dan ikut mengantarkan bangsa ini melewati pintu gerbang kemerdekaan. Hari Kebangkitan Nasional yang telah kadung diperingati setiap tanggal 20 Mei , seharusnya digantikan dengan tanggal 16 Oktober, hari berdirinya Syarikat Islam.

KH. Firdaus AN (seperti ditulis Zulfahmi, save-islam) juga mengungkap penyimpangan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang menurut beliau semestinya harus ada sebuah koreksi-sejarah yang dilakukan oleh ummat Islam. Koreksi sejarah tersebut menyangkut pembacaan teks Proklamasi yang setiap tahun dibacakan dalam upacara kenegaraan. Dalam penjelasan ensiklopedi bebas (wikipedia), naskah Proklamasi ditulis tahun 05 karena sesuai dengan tahun Jepang yang kala itu adalah tahun 2605. Berikut isi teks Proklamasi yang diatasnamakan oleh Soekarno- Hatta: 

"Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia. Hal -hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja".

Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05
Atas nama bangsa Indonesia.
Soekarno/Hatta
Teks tersebut merupakan hasil ketikan Sayuti Melik (Sajoeti Melik), salah seorang tokoh pemuda yang ikut andil dalam persiapan proklamasi. Proklamasi kemerdekaan itu diumumkan di Rumah Bung Karno, Jl. Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta, pada 17 Agustus 1945, hari Jum'at, bulan Ramadhan, pukul 10.00 pagi.
Kritik KH Firdaus AN terhadap teks Proklamasi adalah:
  1. Teks Proklamasi seperti tersebut diatas jelas melanggar konsensus, atau kesepakatan bersama yang telah ditetapkan oleh BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada 22 Juni 1945.
  2. Yang ditetapkan pada 22 Juni 1945 itu ialah, bahwa teks Piagam Jakarta harus dijadikan sebagai Teks Proklamasi atau Deklarasi Kemerdekaan Indonesia.
  3. Alasan atau dalih Bung Hatta seperti diceritakan dalam bukunya "Sekitar Proklamasi" hal. 49, bahwa pada malam tanggal 16 Agustus 1945 itu, "Tidak seorang di antara kami yang mempunyai teks yang resmi yang dibuat pada tanggal 22 Juni 1945, yang sekarang disebut Piagam Jakarta", tidak dapat diterima, karena telah melanggar kaidah-kaidah sejarah yang harus dijunjung tinggi. Mengapa mereka tidak mengambil teks yang resmi itu di rumah beliau di Jl. Diponegoro yang jaraknya cukup dekat, tidak sampai dua menit perjalanan? Mengapa mereka bisa bertandang ke rumah Nisimura, penguasa Jepang yang telah menyerah dan menyempatkan diri untuk bicara cukup lama hingga larut malam, tapi untuk mengambil teks Proklamasi yang resmi dan telah disiapkan sejak dua bulan sebelumnya mereka tidak mampu? Sungguh tidak masuk akal jika esok pagi Proklamasi akan diumumkan, jam dua malam masih belum ada teksnya. Dan akhirnya teks itu harus dibuat terburu-buru, ditulis tangan dan penuh dengan coretan, seolah-olah Proklamasi yang amat penting bagi sejarah suatu bangsa itu dibuat terburu-buru tanpa persiapan yang matang!
  4. Teks Proklamasi itu bukan hanya ditandatangani oleh 2 (dua) orang Tokoh Nasional (Soekarno- Hatta), tetapi harus ditandatangani oleh 9 (sembilan) orang tokoh seperti dicantum dalam Piagam Jakarta. Keluar dan menyimpang dari ketentuan tersebut tadi adalah manipulasi dan penyimpangan sejarah yang mestinya harus dihindari. Teks itu tidak autentik dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Deklarasi Kemerdekaan Amerika saja ditandatangani oleh lebih dari 5 (lima) orang tokoh.
  5. Teks Proklamasi itu terlalu pendek, hanya terdiri dari dua alinea yang sangat ringkas dan hampa, tidak aspiratif. Ya, tidak mencerminkan aspirasi bangsa Indonesia; tidak mencerminkan cita-cita yang dianut oleh golongan terbesar bangsa ini, yakni para pemeluk agama Islam.
Tak heran jika banyak pemuda yang menolak teks Proklamasi; yang dipandang sebagai gegabah itu. Tak ada di dunia, teks Proklamasi atau Deklarasi Kemerdekaan yang tidak mencerminkan aspirasi bangsanya. Teks Proklamasi itu manipulatif dan merupakan distorsi sejarah, karena tidak sesuai dengan fakta yang ada di lapangan. Dalam sejarah tak ada kata "maaf", karena itu harus diluruskan kembali teks Proklamasi yang asli. Adapun teks Proklamasi yang autentik, yang telah disepakati bersama oleh BPUPKI pada 22 Juni 1945 itu sesuai dengan teks atau lafal Piagam Jakarta. Jelasnya, teks proklamasi itu haruslah berbunyi seperti di bawah ini: 

PROKLAMASI

Bahwa kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia ini harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan peri keadilan. Dan perjuangan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke pintu gerbang Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka dengan ini rakyat Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Kemudian dari pada itu, untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia, yang melindungi segenap bangsa Indonesia, dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa , dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasarkan kepada ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Jakarta, 22 Juni 1945
(Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta, Mr. Ahmad Soebardjo, Abikusno Tjokrosujoso, A.A. Maramis, Abdul Kahar Muzakir, H. Agus Salim, KH. Wahid Hasjim, Mr. Muh Yamin).

KH Firdaus AN mengusulkan supaya dilakukan koreksi sejarah. Untuk selanjutnya, demi menghormati musyawarah BPUPKI yang telah bekerja keras mempersiapkan usaha persiapan kemerdekaan Indonesia, maka semestinya pada setiap peringatan kemerdekaan RI tidak lagi dibacakan teks proklamasi “darurat” susunan Soekarno-Hatta. Hendaknya kembali kepada orisinalitas teks proklamasi yang autentik seperti tercantum dalam Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Wallahu a’lam bis-showwab

--diolah dari berbagai sumber

irfblog. Diberdayakan oleh Blogger.