Popular Posts

irfblogBacklink






Rating for erosisland.blogspot.com

My Ping in TotalPing.com

Rabu, 01 Desember 2010

SIAPA MOGI DARUSMAN?

"AJE GILE" 

MOGI Darusman (31 tahun) yang mengaku dirinya banyak makan garam musik pop di mancanegara, muncul di Tanah Air dengan kaset 'Aje Gile'. Produksi perusahaan rekaman Naviri ini memuat 13 buah lagu yang bagaikan memadukan gaya menyanyi Farid Harja si Bani Adam, dengan syair logat Betawi yang kocak -- nyentil dari Benyamin S, berbau Jazz dan Bob Dylan.


Lirik terus terang untuk kaset ini yang ditulis Teguh Esha--pengarang Ali Topan -- merupakan kritik sosial yang barangkali untuk pertama kalinya klop dengan musiknya dalam perjalanan kaset pribumi. Di samping mengkritik, terasa lugu dan lucu, didukung oleh aransemen dan vokal Mogi yang pas.

Kritik tidak lagi merupakan tempelan. Ia mengalir dalam musik yang kompak dan secara teknis padu.

Cacing Belagu Buaye

Kaset dibuka dengan lagu Aje Gile yang dilontarkan seperti bantingan suasana gambang kromong kecampuran musik Bob Dylan. Di sambung irama country lantas berakhir sebagai musik jazz dari periode rag-time. Intronya penuh kecurigaan: "Lu kan pegawai negeri kok rumah lu gede, mercy lu ada tiga?" Kemudian disusul dengan lirik yang dibawakan dalam suasana sedikit stoned :

Aje gile, lu kire lu siape tampang bodo lagak lu sok jagoe, ape gile, lu sangke lu gaye gue tau kartu lu semuanye. Jangan lu betingke di depan mata gue kalo lu berani jangan bawa nama babe kepale gile kagak lagi jamannye aje gile cacing belagu buaye Aje gile, proyek lu gede-gede.
numpang nanya bekingan lu siapee, aje gile, mendingan lu diem aje dari pade bikin ngiler tetangge

Lirik ini sesudah dinyanyikan tidak terasa bombas sebagaimana kalau kita mendengar lirik-lirik protes Harry Rusli. Soalnya ia masuk ke dalam musik dan dibawakan dengan akrab. Terasa ada pengalaman dan perhitungan dalam pengolahannya, sehingga protes tidak hanya terhidang sebagai ide -- sebagaimana kadang kita tangkap juga dari lagu-lagu Leo Kristi. Peranan Mogi dalam menghidupkan kata-kata protes di sini amat menonjol.

Lagu kedua berjudul Rayap-rayap. Di sini protes makin menjitak. Suasana lucu dalam lagu pertama berubah menjadi sikap anak muda yang marah. Namun karena musiknya tetap sederhana sambil menjaga kemantapannya, sementara suara Mogi dilatari duet Yessi dan Tessi, protes tetap basah dan dapat dinikmati dengan enak. Padahal kata-kata dalam lagu ini bisa membahayakan peredaran kaset ini.

Kita kutip:

Kau tahu rayap-rayap makin banyak di mana-mana
di balik baju resmi merongrong tiang negara
kau tahu babi-babi makin gemuk di negeri kita
mereka dengan tenang memakan kota dan desa

Rayap-rayap yang ganas merayap
berjas dasi dalam kantor makan minum darah rakyat
babi-babi yang gemuk sekali tenang tentram berkembang biak tak ada yang peduli
Menggemuk para rayap dalam bumi yang kian rapuh
resahnya ibu rakyat yang terbantai tanpa aduh
merayap para babi di lautan sawah dan hutan
menggencet anak rakyat meremas jantung mereka


Selain yang dua di atas masih ada lagu bernama Koruptor. Juga dikerjakan dengan baik, sehingga sindiran tidak hanya merupakan umpatan klise yang bikin mual. "Koruptor di dalam kantormu, sembunyi di balik bajumu, tiada seorangpun tau, aduh .... ," kata Mogi membawakan lirik Teguh Esha.

Kekuatan yang terasa dalam keseluruhan kaset ini merupakan hasil kombinasi semangat protes yang selama ini sudah dicoba-lontarkan oleh banyak musisi muda, tapi baru kali ini dibikin lancar dan musikal. Meski memang tidak orisinil, karena sering rekaman ini serasa mencari sandaran pada musik manis model 'The Cats' (Belanda) serta bau ambiguitas musik Bob Dylan (Amerika).

Sementara itu, di balik rekaman yang menggembirakan ini kita jadi tertegun melihat pada daftar lagu kurang jelas siapa sebenarnya yang menulis lagu. Di bawah tulisan Aje Gile misalnya terdapat tanda kurung yang berisi nama M. Darusman, J. Veerman,Teguh Esha. Kemudian kode AME 10987. Seakan lagu itu sudah pernah direkam di luar negeri.

Apalagi Teguh pada saat tulisan ini diturunkan mengatakan kepada TEMPO sudah memutuskan hubungan dengan Mogi. "Mula-mula saya kira lagu itu ciptaan Mogi. Tapi belakangan saya rasa semuanya berasal dari lagu Barat. Setelah saya cek dengan Mogi, ia mengaku lagu itu semuanya bukan ditulisnya sendiri," kata Teguh."Ia mengaku beberapa lagu ditulisnya bersama J. Veerman." Teguh kemudian menunjuk lagu Cita-Cita misalnya adalah contekan dari lagu grup Eagles.

Teguh juga mengaku sempat didatangi Mogi, beberapa saat setelah Aje Gile, Keresahan dan Laut Biru sempat diputar di TV tanggal 25 Oktober lalu. Mogi minta Teguh mengganti lirik Aje Gile dan juga Rayap-rayap, karena lagu itu tak bisa disiarkan dalam acara niaga kecuali syairnya diganti.

Teguh menolak. "Kalau mau diganti itu urusan kamu," kata Teguh. Hubungan tampaknya sudah menjadi panas, karena ada beberapa persoalan bisnis di antara keduanya tak bisa didamaikan. Yang terang Aje Gile tidak bisa masuk TV lagi.

Perusahaan rekaman kaset Naviri yang dipimpin Darmawan Susanto, ketika dihubungi mengatakan bahwa Mogi memang sudah sempat tampil dalam acara TV membawakan Aje Gile, Keresahan dan Laut Biru. Tapi ketika ia mengusulkan Aje Gile dipakai iklan dalam Siaran Niaga, pihak TV dari bagian iklan menolak. Sehingga yang kemudian masuk hanya keresahan.

Sementara bagian iklan TVRI sendiri lewat telepon membenarkan -- dan menyatakan mereka punya hak melakukan seleksi. Lebih jauh, Darmawan tidak tahu menahu dicantumkannya nama Keenan Nasution dalam keterangan kaset. Ia hanya mengatakan bahwa di samping aransemen memang dikerjakan oleh Mogi, musik di garap oleh Karim, Alex, Wimpy dan kawan-kawannya.

Keenan Nasution yang dicantumkan tidak ikut. Jadi kalau warnanya kemudian mengarah ke jazz, dapat dimaklumi -- mengingat orang-orang itu memiliki reputasi dalam dunia jazz pribumi."Saya tidak tahu-menahu mengenai redaksi yang disebutkan dalam keterangan kaset," kata Darmawan. Aje Gile merupakan rekaman Mogi yang pertama. Kontraknya dengan Naviri berlaku setahun, dan dalam jangka ia harus menghasilkan dua kaset lagi. Kaset ini memberi sumbangan pada warna musik pop pribumi.

Musik Indonesia Musik Cukong

Pemusik pop Mogi Darusman yang bermukim di Jerman telah menghasilkan 5 buah piringan hitam single; 2 buah long-play. Ia menilai lagu Pop Indonesia suka saling meniru.

MOGI Darusman lahir 23 Januari 1947. Ayahnya Soesono Darusman berasal dari Bogor, pernah menjabat duta besar Indonesia antara lain di Vatikan dan Austria. Ibunya orang Padang.

Sejak usia 11 tahun ia berada di luar negeri. Kemudian terjun dalam kegiatan musik pop, sempat menghasilkan 5 buah piring hitam single dan 2 buah long-play. Tinggal di Jerman, bekerja sebagai pengaransir lagu. Bulan April yang lalu ia muncul kembali di Indonesia bersama isterinya Gisele pribumi Jerman, dan anaknya Marcus.

Orang tuanya masih di Wassenar, Negeri Belanda, karena sakit. Dalam festival lagu pop di Tokyo tahun 1971, ia ikuti dan berhasil masuk babak semi final mewakili Austria. Waktu itu Indonesia diwakili Ellya Srikudus. Tahun berikutnya -- menurut keterangan di dalam kaset -- ia mengikuti festival musik I Bokacio, Barcelona.

Tapi baru tahun 1975 ia muncul sebagai pemenang dalam festival di North Ontario dengan lagunya You're not the same. Mogi menguasai berbagai bahasa Inggris, Jerman, Italia, Spanyol, Belanda dan Sunda. Ia mengaku belajar gitar selama 3 tahun pada Maestro Nati di Roma (1965 - 1968). Juga belajar teknik panggung, balet modern, dan dekorasi panggung di s-Gravenhage Belanda sampai mendapat ijazah.

Di bawah ini adalah petikan wawancara Bachrun Suwatdi dari TEMPO.

Siapa sebenarnya pengarang lagu-lagu yang Anda nyanyikan dalam Aje Gile?
Saya sendiri bersama NM Burry dari The Cats. Syairnya saya ganti, kerjasama dengan Teguh Esha. Karena saya orang baru disini, belum tahu soal bikin syair bahasa Indonesia. Misalnya kata membara, bintang kejora, terpesona, saya sama sekali tidak pernah gunakan. Kalau ada yang mengatakan saya jiplak, silahkan cek pada Union Artisten Komponisten Musik Verlager di Austria. Saya jadi anggota perkumpulan itu tahun 1968. Pada kertas kaset saya taruh nama NM Burry, J. Veerman, F. Wasser, S. Sirkadan nomor-nomor piringan hitam, karena kalau tidak, kalau saya datang ke Jerman bisa dituntut.

Benarkah Aje Gile, dan Rayap-rayap tidak diperkenankan di TV? 
Setelah disiarkan di TV tanggal 25 Oktober, keesokan harinya ada petugas dari TVRI datang ke rumah mengatakan tidak bisa disiarkan. Alasannya syairnya terlalu tajam dan penampilan saya kurang sopan. Kata mereka di TV tidak boleh melirik-lirik, tolak pinggang atau memeluk tangan. Alasannya TV juga ditonton para pejabat. Padahal lagu itu membutuhkan gerak-gerik tersebut, kok kalau lagu dang-dut dengan gaya "sadis" boleh. TV menuntut kalau mau disiarkan syair lagu-lagu tersebut harus diganti. Saya tak mau, karena memang kenyataannya begitu. Bukankah lagu itu bisa mendukung opstibnya Pak Domo?

Lagu Cita-Cita apa benar nyontek lagu Eagles?
Memang intro Cita-Cita saya ambil dari There is a new boy intown dari album Eagles 'Hotel California'. Sedang Aje Gile memang lagu saya, judul aslinya Dog Gone My Soul (?). Musik saya Country Rock, warnanya mirip Bob Dylan, karena saya memang kagum pada dia. Hubungan saya dengan The Cats juga baik sekali, kita bikin aransemen sama-sama. 

Bagaimana hubungan Anda dengan Teguh Esha? Hubungan bisnis putus prinsip kita berdua berbeda. Waktu saya datang dari Jerman, saya hanya membawa uang untuk bertahan 2 - 3 bulan. Maksud pulang ke tanah air karena permintaan Kedubes RI di Jerman Barat untuk membentuk Asean Culture Team ke Eropa, disamping, menjajagi kemungkinan bisa hidup di sini. Setelah uang habis saya bertemu Teguh, ia bersedia membantu, dengan syarat kalau nanti saya berhasil pembagian keuntungan separo-separo --disaksikan notaris H. Zawir Simon SH. Tapi setelah kerjasama berjalan beberapa bulan, kita tidak cocok dan bubar.

Bagaimana pendapat Anda tentang lagu pop Indonesia sekarang? Pop di sini banyak yang saling meniru. Seolah Chrisye dan Keenan maniak. Kita disajikan yang mirip-mirip, entah ini yang diminta produser. Musik Indonesia musik cukong, artis didikte cukong. Produser hanya memikirkan kwantitas. Saya tidak mau seperti itu.

Adapun Teguh Esha adalah pengarang Novel Ali Topan. Lahir di Banyuwangi 8 Mei 1947. Ayahnya seorang tukang listrik dari Madura dan ibunya tukang jahit. Teguh masih di tingkat V Publisistik Universitas Prof. Dr. Mustopo, sekaligus tingkat III FISIP UI jurusan ilmu politik. Ia pernah jadi ketua IMADA (1973 -1975), wakil pimpinan majalah Sonata, dan kemudian sejak 1976 Pimpinan Redaksi Majalah Le Laki. Sekarang preman!! Lagu Ali Topan yang dinyanyikan Franky dan Jane adalah ciptaannya, baik musik maupun melodi.

Ditanya tentang Mogi Darusman ia berkata. "Musiknya memang baik. Ia bagus sebagai penyanyi dan mengaransir. Tetapi pribadinya meragukan. Baginya tujuan menghalalkan cara. Ada kesan ia seorang bajingan,"  katanya terus terang.

sumber : Tempo Edisi. 38/IIIIIIII/18 - 24 November 1978

Gemerutuk Musikal Mogi Darusman - oleh Denny Sakrie/KPMI

Air mukanya keras. Hampir jarang menyungging senyum. Tatapan matanya tajam seolah siap menerkam. Guratan syair lagunya sarat gugat. Ingatkah Anda dengan penggalan lirik ini?

Kau tahu rayap-rayap, makin banyak dimana-mana Di balik baju resmi Merongrong tiang negara Kau tahu babi babi makin gemuk di negeri kita Mereka dengan tenang Memakan kota dan desa Rayap-rayap...

Lirik lagu bertajuk Rayap-Rayap ini ditulis oleh Mogi Darusman dan Teguh Esha, seniman yang melahirkan novel Ali Topan Anak Jalanan dan melodinya diambil dari hits The Cats She Was Too Young karya Piet Veerman, sahabat Mogi di Eropa.

Lagu kontroversial ini direkam dalam album Aje Gile di tahun 1979. Bayangkan, di era Orde Baru, ada sosok pemusik yang luar biasa berani melakukan kritik terbuka terhadap pemerintah. Sesuatu yang di zamannya nyaris musykil.

Tapi itu dilakukan Mogi Darusman, anak seorang diplomat yang menghabiskan separuh masa remajanya di negara-negara Eropa. Ironisnya, Mogi menempatkan diri sebagai oposisi sejati yang sangat sinis terhadap rezim Soeharto yang tengah berkuasa.

Hebatnya, Mogi Darusman siap menerima risiko dari apa yang telah dilakukannya. Albumnya dibreidel. Ia pernah meringkuk di kantor Polsek Senayan, Jakarta. Ia pernah dicekal seusai manggung, karena memojokkan Presiden Soeharto dan berbagai aktivitas berskala ekstrem lainnya. Alhasil, karena kredo bermusiknya yang senantiasa bermuara pada ranah kritik sosial, sosok Mogi Darusman disejajarkan dengan pemusik-pemusik seperti Harry Roesli, Gombloh, Leo Kristi, atau Iwan Fals.

Semangat antikorupsi sudah dicanangkannya sejak awal meniti karier di negeri tercinta ini. Sebelumnya, sejak akhir dasawarsa 60-an, Mogi memang telah menjejakkan kaki dalam industri musik pop di Eropa. Tahun 1969, ia telah merilis single perdananya bertajuk Born In A Second Time yang dirilis di Jerman dan Belanda. Mogi Darusman bahkan mewakili negara Austria dalam ajang 'World Pop Song Festival 1971' yang berlangsung di Budokan Hall Tokyo, Jepang.

Saat itu ia sempat masuk ke tahap semifinal yang kedua pada 26 November 1971 dengan membawakan karyanya sendiri bertajuk Puppet On Life. Di acara yang sama, Indonesia mengirimkan wakil yaitu Elly Sri Kudus dengan lagu With The Deepest Love of Djakarta karya Mochtar Embut. Dua tahun berselang, Mogi yang dikenal dengan nama populer Mogi D, kembali mewakili Austria pada Festival El Boccacio di Barcelona, Spanyol dan Folk Song Festival North Ontarioa pada tahun 1975 di North Ontario, Canada.

Siapa Mogi Darusman? 

Jika menyebut nama ini, orang senantiasa berkonotasi tentang sosok seniman pemberontak yang selalu menghujam pendengarnya lewat sederet lagu-lagu beratmosfer protes. Gemerutuk lagu-lagunya gamblang, lugas bahkan nyaris tanpa tedeng aling-aling.

Pria ini dilahirkan di Bogor, 13 September 1947, dari pasangan Boesono Darusman dan Mariati Mahdi Marzuki. Mogi bersaudara sepupu dengan politikus, Marzuki Darusman dan Candra Darusman, pemusik yang lebih banyak berkutat di ranah jazz.

Karena mengikuti ayah tercinta yang berkarier sebagai diplomat, menjadikan kehidupan masa kecil hingga remajanya justeru berpindah-pindah dari satu negara ke negara lainnya. Ketika di bangku SD kelas 1, Mogi telah menetap di India. Seterusnya ia dan keluarganya hengkang ke Amerika hingga Eropa.

Yang lama adalah ketika Mogi bermukim di negara asal Wolfgang Amadeus Mozart, Austria. Karier musiknya justeru berkembang pesat di negara ini. Mogi selama lima tahun mengenyam pendidikan musik formal di sebuah konservatorium musik di jurusan Penata Musik dan Instrumen Gitar. Selain menguasai permainan gitar, ia juga terampil bermain piano hingga harmonika. Mogi pun memainkan musik rock, jazz, hingga blues.

Pulang kampung 

Di tahun 1978, Mogi yang telah menikah dengan wanita Jerman bernama Gizela, pulang kampung ke Jakarta. Kegiatannya di dunia seni pun mulai difokuskan di Indonesia. Mogi memang seniman komplet. Tak hanya menguasai musik, ia pun menekuni seni teater, koreografi tari, dan seni ballet. Makanya tak heran belum setahun bermukim di Jakarta, Mogi pun ditawari bermain dalam film layar lebar Perawan Desa (1978), Di Ujung Malam (1979), dan Dokter Karmila (1981).

Entah kenapa dalam film-filmnya itu, Mogi senantiasa kebagian peran antagonis. Misalnya, dalam Perawan Desa, ia memerankan sosok anak muda berandal yang memperkosa wanita penjual jamu. Film ini memang diinspirasikan dari peristiwa nyata tragedi Sum Kuning, tentang pemerkosaan wanita penjual jamu di Yogyakarta. Sejak mengeluarkan album Pusing di tahun 1992, Mogi memang nyaris tak pernah merilis album lagi.

Tiba-tiba ia seperti raib ditelan bumi. Namun, antara tahun 1998 hingga 2003, ia sesekali muncul dalam komunitas penggemar musik blues di Jakarta. Di komunitas ini, Mogi sesekali melakukan jam session memainkan blues melalui gerayangan jemarinya di atas tuts piano atau meniup harmonika. Republika,

Senin, 09 April 2007.

Mogi Darusman kini telah tiada. Ia meninggal dunia dalam usia 60 tahun, pada Selasa (18/9/2007) pukul 20.15 WIB, di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta Selatan. Penyanyi, pemain musik, dan pencipta lagu ini dikenal pada era 1970-1980-an. Berita duka itu disampaikan oleh Putri, sulung dari tiga putri Mogi. "Ayah meninggal karena komplikasi," kata Putri ketika ditelepon oleh KCM, Rabu (19/9.2007). "Sakitnya sudah tiga tahun. Terakhir di rumah sakit dua minggu," sambungnya.

Namun, ia tak bersedia memberi keterangan lebih lanjut mengenai komplikasi itu. Rabu, pukul 10.00 WIB, jenazah Mogi dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta Selatan. "Yang ikut berbicara dalam acara pemakaman itu Rosihan Anwar," kata Putri lagi, yang mempunyai dua adik, Nuga dan Yuka.

’Classic Rock’ dan Protes Politik  - oleh Riza Sihbudi

Kau tau rayap-rayap makin banyak di mana-mana Di balik baju resmi merongrong tiang negara Kau tau babi-babi makin gemuk di negeri kita Mereka dengan tenang memakan kota dan desa Rayap-rayap yang ganas merayap Berjas dasi dalam kantor makan minum darah rakyat (Mogi Darusman, Rayap-Rayap, 1978).

Nama Mogi Darusman barangkali tak dikenal oleh generasi sekarang, yang tentu lebih mengenal Iwan Fals sebagai ”pengusung” lagu-lagu rock bertema protes sosial-politik pada dekade 1970. Tapi apa yang ditulis Mogi, khususnya yang terdapat dalam album Aje Gile (1978) sebagaimana dikutip di atas, tergolong sangat keras, straightforward, dan berani untuk masa itu—masa ketika cengkeraman rezim Soeharto masih sangat kuat. Yang menarik, apa yang diteriakkan Mogi 25 tahun silam—juga lagu-lagu Koruptor dan Aje Gile—masih sangat relevan menggambarkan Indonesia masa kini.

Di Indonesia, Mogi jelas bukan yang memelopori munculnya tema-tema protes sosial-politik dalam lirik rock era 1970—aliran musik yang sering disebut wartawan Kompas Budiarto Shambazy sebagai lagu-lagu rock yang ”abadi” (klasik). Sebelum Mogi, ada Remy Sylado, Harry Roesli, Leo Kristi, dan Gombloh & Lemon Trees. Seperti Mogi, Remy dan Harry lantang dalam mengecam ”budaya korupsi” di era Soeharto. Perhatikan lirik-lirik Remy dalam album Orexas (Organisasi Sex Bebas), Folk Rock, Nyanyian Khalayak, dan Bromocorah, atau Philosophy Gang dan Ken Arok milik Harry pada pertengahan 1970-an.

Dalam Bromocorah, Remy mempertanyakan apa bedanya bromocorah (garong) dan koruptor, jika sama-sama mendapatkan harta secara haram. Bromocorah dihukum, sementara koruptor justru dibiarkan berkeliaran. Inilah realitas Indonesia yang oleh Remy digambarkan sebagai ”Negeri Elok yang banyak Cukongnya”.

Sedangkan dalam lagu Peacock Dog (album Philosophy Gang, 1973), Harry menggambarkan Indonesia sebagai negara berwajah ganda: antara ”merak yang indah” dan ”anjing yang menyebalkan”. Kritik Harry terhadap rezim Soeharto sangat telak dalam Ken Arok (1977). Soal merajalelanya korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan juga diangkat oleh Barong’s Band (Eros Djarot dkk.) dan Keenan Nasution (Di Batas Angan-Angan, 1977).

Korupsi bukan satu-satunya problematika politik yang diangkat para musikus dasawarsa 1970 (lihat Denny Sakrie, Napak Tilas Anak Muda 1970-an, Kompas, 29 April 2002). Masalah Timor Timur pun tak luput dari perhatian mereka.

Perhatikan lirik Leo Kristi dalam album Nyanyian Tanah Merdeka, Nyanyian Malam, dan Nyanyian Cinta. Leo memang tidak seperti Mogi, Remy, atau Harry, yang cenderung blak-blakan dalam mengkritik penguasa. Ia, misalnya, lebih menyoroti penderitaan korban perang Timor Timur: ”… Tubuh-tubuh terbujur kaku/Di antara altar dan bangku-bangku/Rumput sabana jadi merah/Ternak-ternak pun musnah/Saudara telah tiada/Entah di mana mereka…”.

Protes dan kritik sosial-politik merupakan bagian integral dalam classic rock. Ini tentu tak lepas dari setting sosial-politik waktu itu yang didominasi aroma Perang Dingin antara Timur dan Barat, seperti Perang Vietnam serta mewabahnya apa yang dikenal sebagai flower generation. The Beatles sebagai pelopor aliran musik ini, misalnya, sejak 1967—yang dianggap sebagai tonggak lahirnya classic rock—sangat keras dalam menyuarakan protes dan kritik terhadap kondisi sosial-politik, baik domestik maupun internasional. Kendati dalam Taxman (1966), Beatles sudah mulai melancarkan kritik terhadap para petugas pajak Inggris, sikap anti-kemapanan mereka semakin ”menjadi-jadi” dalam Sgt. Pepper’s Lonely Hearts Club Band (1967) hingga Let It Be (1970).

Ketika Amerika Serikat dan para sekutu Baratnya gencar menempatkan komunisme Uni Soviet dan RRC sebagai ”musuh umat manusia”, John Lennon dan kawan-kawan justru dengan sinis ”mengajak kembali ke Uni Soviet” karena di Moskwa banyak gadis menawan (Back in the USSR). Beatles juga memanggil ketua Partai Komunis Cina waktu itu dengan sebutan Chairman Mao, dan karenanya ”we all want to change the world” (Revolution 1, 1968). Setelah Beatles bubar (1970), Lennon yang pindah ke Amerika tetap lantang meneriakkan slogan anti-kemapanan.

Tidak mengherankan jika pada 1971 FBI pernah berniat mengusir Lennon dari Amerika, karena dikhawatirkan dapat menghalangi terpilihnya kembali Presiden Richard Nixon. Pada era 1970, selain Beatles, di tingkat dunia tentu banyak nama lain seperti Bob Dylan, Pink Floyd, Joan Baez, Genesis, dan Sex Pistols, yang juga mengusung tema protes sosial-politik dalam musik mereka, terutama dalam memprotes perang di Vietnam.

Tapi, seperti dikatakan Shambazy, jika tak ada Beatles, yang disebut classic rock pun tak akan pernah ada. Beatles tak cuma memelopori munculnya kritik politik dalam musik rock, melainkan juga menjadi panutan dalam hal sikap dan gaya hidup flower generation (rambut gondrong, celana jins ketat, sepatu hak tinggi, rok mini, seks bebas, ganja) yang cenderung menentang segala bentuk kemapanan. Jika saat ini classic rock makin digandrungi bahkan oleh generasi yang lebih muda, bisa jadi—selain faktor nostalgia—karena pengaruh situasi politik, baik domestik maupun internasional, yang makin tak menentu, sementara aspirasi mereka ”tak terwakili” oleh musik masa kini. Classic rock, seperti namanya, memang akan tetap ”abadi” sebagaimana jenis musik klasik lainnya.

Namun, apakah kritik-kritiknya mampu mempengaruhi terjadinya perubahan sosial-politik, tampaknya belum tentu. Bahkan Beatles saja tak mampu mempe-ngaruhi terjadinya perubahan sosial-politik. Apalagi di negara yang dikuasai para elite politik yang sudah kebal dan bebal terhadap berbagai macam kritik.

Tempo Edisi. 30/XXXII/22 - 28 September 2003

0 komentar

irfblog. Diberdayakan oleh Blogger.