"AJE GILE"
MOGI  Darusman (31 tahun) yang mengaku dirinya banyak makan garam musik pop  di mancanegara, muncul di Tanah Air dengan kaset 'Aje Gile'. Produksi  perusahaan rekaman Naviri ini memuat 13 buah lagu yang bagaikan  memadukan gaya menyanyi Farid Harja si Bani Adam, dengan syair logat  Betawi yang kocak -- nyentil dari Benyamin S, berbau Jazz dan Bob Dylan.
Lirik  terus terang untuk kaset ini yang ditulis Teguh Esha--pengarang Ali  Topan -- merupakan kritik sosial yang barangkali untuk pertama kalinya  klop dengan musiknya dalam perjalanan kaset pribumi. Di samping  mengkritik, terasa lugu dan lucu, didukung oleh aransemen dan vokal Mogi  yang pas.
Kritik tidak lagi merupakan tempelan. Ia mengalir dalam musik  yang kompak dan secara teknis padu.
Cacing Belagu Buaye
Kaset  dibuka dengan lagu Aje Gile yang dilontarkan seperti bantingan suasana  gambang kromong kecampuran musik Bob Dylan. Di sambung irama country  lantas berakhir sebagai musik jazz dari periode rag-time. Intronya penuh  kecurigaan: "Lu kan pegawai negeri kok rumah lu gede, mercy lu ada  tiga?" Kemudian disusul dengan lirik yang dibawakan dalam suasana  sedikit stoned :
Aje gile, lu kire lu siape tampang bodo lagak lu sok jagoe, ape gile, lu sangke lu gaye gue tau kartu lu semuanye. Jangan lu betingke di depan mata gue kalo lu berani jangan bawa nama babe kepale gile kagak lagi jamannye aje gile cacing belagu buaye Aje gile, proyek lu gede-gede. 
numpang nanya bekingan lu siapee, aje gile, mendingan lu diem aje dari pade bikin ngiler tetangge
numpang nanya bekingan lu siapee, aje gile, mendingan lu diem aje dari pade bikin ngiler tetangge
Lirik  ini sesudah dinyanyikan tidak terasa bombas sebagaimana kalau kita  mendengar lirik-lirik protes Harry Rusli. Soalnya ia masuk ke dalam  musik dan dibawakan dengan akrab. Terasa ada pengalaman dan perhitungan  dalam pengolahannya, sehingga protes tidak hanya terhidang sebagai ide  -- sebagaimana kadang kita tangkap juga dari lagu-lagu Leo Kristi.  Peranan Mogi dalam menghidupkan kata-kata protes di sini amat menonjol.
Lagu  kedua berjudul Rayap-rayap. Di sini protes makin menjitak. Suasana lucu  dalam lagu pertama berubah menjadi sikap anak muda yang marah. Namun  karena musiknya tetap sederhana sambil menjaga kemantapannya, sementara  suara Mogi dilatari duet Yessi dan Tessi, protes tetap basah dan dapat  dinikmati dengan enak. Padahal kata-kata dalam lagu ini bisa  membahayakan peredaran kaset ini.
Kita kutip:
Kau tahu rayap-rayap makin banyak di mana-mana
di balik baju resmi merongrong tiang negara
kau tahu babi-babi makin gemuk di negeri kita
mereka dengan tenang memakan kota dan desa 
 Rayap-rayap yang ganas merayap 
berjas dasi dalam kantor makan minum darah rakyat 
babi-babi yang gemuk sekali tenang tentram berkembang biak tak ada yang peduli
Menggemuk para rayap dalam bumi yang kian rapuh
resahnya ibu rakyat yang terbantai tanpa aduh
merayap para babi di lautan sawah dan hutan
menggencet anak rakyat meremas jantung mereka 
Selain  yang dua di atas masih ada lagu bernama Koruptor. Juga dikerjakan  dengan baik, sehingga sindiran tidak hanya merupakan umpatan klise yang  bikin mual. "Koruptor di dalam kantormu, sembunyi di balik bajumu, tiada seorangpun tau, aduh .... ,"  kata Mogi membawakan lirik Teguh Esha.
Kekuatan yang terasa dalam  keseluruhan kaset ini merupakan hasil kombinasi semangat protes yang  selama ini sudah dicoba-lontarkan oleh banyak musisi muda, tapi baru  kali ini dibikin lancar dan musikal. Meski memang tidak orisinil, karena  sering rekaman ini serasa mencari sandaran pada musik manis model 'The  Cats' (Belanda) serta bau ambiguitas musik Bob Dylan (Amerika).
Sementara  itu, di balik rekaman yang menggembirakan ini kita jadi tertegun  melihat pada daftar lagu kurang jelas siapa sebenarnya yang menulis  lagu. Di bawah tulisan Aje Gile misalnya terdapat tanda kurung yang  berisi nama M. Darusman, J. Veerman,Teguh Esha. Kemudian kode AME 10987.  Seakan lagu itu sudah pernah direkam di luar negeri.
Apalagi Teguh pada saat tulisan ini diturunkan mengatakan kepada TEMPO sudah memutuskan hubungan dengan Mogi. "Mula-mula  saya kira lagu itu ciptaan Mogi. Tapi belakangan saya rasa semuanya  berasal dari lagu Barat. Setelah saya cek dengan Mogi, ia mengaku lagu  itu semuanya bukan ditulisnya sendiri," kata Teguh."Ia mengaku beberapa lagu ditulisnya bersama J. Veerman." Teguh kemudian menunjuk lagu Cita-Cita misalnya adalah contekan dari lagu grup Eagles.
Teguh  juga mengaku sempat didatangi Mogi, beberapa saat setelah Aje Gile,  Keresahan dan Laut Biru sempat diputar di TV tanggal 25 Oktober lalu.  Mogi minta Teguh mengganti lirik Aje Gile dan juga Rayap-rayap, karena  lagu itu tak bisa disiarkan dalam acara niaga kecuali syairnya diganti.
Teguh menolak. "Kalau mau diganti itu urusan kamu," kata Teguh.  Hubungan tampaknya sudah menjadi panas, karena ada beberapa persoalan  bisnis di antara keduanya tak bisa didamaikan. Yang terang Aje Gile  tidak bisa masuk TV lagi.
Perusahaan rekaman kaset Naviri  yang dipimpin Darmawan Susanto, ketika dihubungi mengatakan bahwa Mogi  memang sudah sempat tampil dalam acara TV membawakan Aje Gile, Keresahan  dan Laut Biru. Tapi ketika ia mengusulkan Aje Gile dipakai iklan dalam  Siaran Niaga, pihak TV dari bagian iklan menolak. Sehingga yang kemudian  masuk hanya keresahan.
Sementara bagian iklan TVRI sendiri lewat  telepon membenarkan -- dan menyatakan mereka punya hak melakukan  seleksi.  Lebih jauh, Darmawan tidak tahu menahu  dicantumkannya nama Keenan Nasution dalam keterangan kaset. Ia hanya  mengatakan bahwa di samping aransemen memang dikerjakan oleh Mogi, musik  di garap oleh Karim, Alex, Wimpy dan kawan-kawannya.
Keenan Nasution  yang dicantumkan tidak ikut. Jadi kalau warnanya kemudian mengarah ke  jazz, dapat dimaklumi -- mengingat orang-orang itu memiliki reputasi  dalam dunia jazz pribumi."Saya tidak tahu-menahu mengenai redaksi yang disebutkan dalam keterangan kaset," kata Darmawan.  Aje  Gile merupakan rekaman Mogi yang pertama. Kontraknya dengan Naviri  berlaku setahun, dan dalam jangka ia harus menghasilkan dua kaset lagi.  Kaset ini memberi sumbangan pada warna musik pop pribumi.
Musik Indonesia Musik Cukong
Pemusik pop Mogi Darusman yang bermukim di Jerman telah menghasilkan 5 buah piringan hitam single; 2 buah long-play. Ia menilai lagu Pop Indonesia suka saling meniru.
MOGI  Darusman lahir 23 Januari 1947. Ayahnya Soesono Darusman berasal dari  Bogor, pernah menjabat duta besar Indonesia antara lain di Vatikan dan  Austria. Ibunya orang Padang.
Sejak usia 11 tahun ia berada di luar  negeri. Kemudian terjun dalam kegiatan musik pop, sempat menghasilkan 5  buah piring hitam single dan 2 buah long-play. Tinggal di Jerman,  bekerja sebagai pengaransir lagu. Bulan April yang lalu ia muncul  kembali di Indonesia bersama isterinya Gisele pribumi Jerman, dan  anaknya Marcus.
Orang tuanya masih di Wassenar, Negeri Belanda, karena  sakit. Dalam festival lagu pop di Tokyo tahun 1971, ia ikuti dan  berhasil masuk babak semi final mewakili Austria. Waktu itu Indonesia  diwakili Ellya Srikudus. Tahun berikutnya -- menurut keterangan di dalam  kaset -- ia mengikuti festival musik I Bokacio, Barcelona.
Tapi baru  tahun 1975 ia muncul sebagai pemenang dalam festival di North Ontario  dengan lagunya You're not the same.  Mogi menguasai  berbagai bahasa Inggris, Jerman, Italia, Spanyol, Belanda dan Sunda. Ia  mengaku belajar gitar selama 3 tahun pada Maestro Nati di Roma (1965 -  1968). Juga belajar teknik panggung, balet modern, dan dekorasi panggung  di s-Gravenhage Belanda sampai mendapat ijazah.
Di bawah ini adalah petikan wawancara Bachrun Suwatdi dari TEMPO.
Siapa sebenarnya pengarang lagu-lagu yang Anda nyanyikan dalam Aje Gile?
Saya  sendiri bersama NM Burry dari The Cats. Syairnya saya ganti, kerjasama  dengan Teguh Esha. Karena saya orang baru disini, belum tahu soal bikin  syair bahasa Indonesia. Misalnya kata membara, bintang kejora,  terpesona, saya sama sekali tidak pernah gunakan. Kalau ada yang  mengatakan saya jiplak, silahkan cek pada Union Artisten Komponisten  Musik Verlager di Austria. Saya jadi anggota perkumpulan itu tahun 1968.  Pada kertas kaset saya taruh nama NM Burry, J. Veerman, F. Wasser, S.  Sirkadan nomor-nomor piringan hitam, karena kalau tidak, kalau saya  datang ke Jerman bisa dituntut.
Benarkah Aje Gile, dan Rayap-rayap tidak diperkenankan di TV? 
Setelah  disiarkan di TV tanggal 25 Oktober, keesokan harinya ada petugas dari  TVRI datang ke rumah mengatakan tidak bisa disiarkan. Alasannya syairnya  terlalu tajam dan penampilan saya kurang sopan. Kata mereka di TV tidak  boleh melirik-lirik, tolak pinggang atau memeluk tangan. Alasannya TV  juga ditonton para pejabat. Padahal lagu itu membutuhkan gerak-gerik  tersebut, kok kalau lagu dang-dut dengan gaya "sadis" boleh. TV menuntut  kalau mau disiarkan syair lagu-lagu tersebut harus diganti. Saya tak  mau, karena memang kenyataannya begitu. Bukankah lagu itu bisa mendukung  opstibnya Pak Domo?
Lagu Cita-Cita apa benar nyontek lagu Eagles?
Memang  intro Cita-Cita saya ambil dari There is a new boy intown dari album  Eagles 'Hotel California'. Sedang Aje Gile memang lagu saya, judul  aslinya Dog Gone My Soul (?). Musik saya Country Rock, warnanya mirip  Bob Dylan, karena saya memang kagum pada dia. Hubungan saya dengan The  Cats juga baik sekali, kita bikin aransemen sama-sama. 
Bagaimana hubungan Anda dengan Teguh Esha? Hubungan  bisnis putus prinsip kita berdua berbeda. Waktu saya datang dari  Jerman, saya hanya membawa uang untuk bertahan 2 - 3 bulan. Maksud  pulang ke tanah air karena permintaan Kedubes RI di Jerman Barat untuk  membentuk Asean Culture Team ke Eropa, disamping, menjajagi kemungkinan  bisa hidup di sini. Setelah uang habis saya bertemu Teguh, ia bersedia  membantu, dengan syarat kalau nanti saya berhasil pembagian keuntungan  separo-separo --disaksikan notaris H. Zawir Simon SH. Tapi setelah  kerjasama berjalan beberapa bulan, kita tidak cocok dan bubar.
Bagaimana pendapat Anda tentang lagu pop Indonesia sekarang?  Pop  di sini banyak yang saling meniru. Seolah Chrisye dan Keenan maniak.  Kita disajikan yang mirip-mirip, entah ini yang diminta produser. Musik  Indonesia musik cukong, artis didikte cukong. Produser hanya memikirkan  kwantitas. Saya tidak mau seperti itu.
Adapun Teguh Esha adalah pengarang Novel Ali Topan. Lahir di Banyuwangi 8 Mei 1947. Ayahnya seorang tukang listrik dari Madura dan ibunya tukang jahit. Teguh masih di tingkat V Publisistik Universitas Prof. Dr. Mustopo, sekaligus tingkat III FISIP UI jurusan ilmu politik. Ia pernah jadi ketua IMADA (1973 -1975), wakil pimpinan majalah Sonata, dan kemudian sejak 1976 Pimpinan Redaksi Majalah Le Laki. Sekarang preman!! Lagu Ali Topan yang dinyanyikan Franky dan Jane adalah ciptaannya, baik musik maupun melodi.
Ditanya tentang Mogi Darusman ia berkata.  "Musiknya memang baik. Ia bagus sebagai penyanyi dan mengaransir.  Tetapi pribadinya meragukan. Baginya tujuan menghalalkan cara. Ada kesan  ia seorang bajingan,"  katanya terus terang.
sumber : Tempo Edisi. 38/IIIIIIII/18 - 24 November 1978
Gemerutuk Musikal Mogi Darusman - oleh Denny Sakrie/KPMI
Air   mukanya keras. Hampir jarang menyungging senyum. Tatapan matanya tajam   seolah siap menerkam. Guratan syair lagunya sarat gugat. Ingatkah Anda   dengan penggalan lirik ini? 
Kau tahu rayap-rayap, makin banyak dimana-mana Di balik baju resmi Merongrong tiang negara Kau tahu babi babi makin gemuk di negeri kita Mereka dengan tenang Memakan kota dan desa Rayap-rayap...
Lirik lagu bertajuk Rayap-Rayap ini ditulis oleh Mogi Darusman  dan Teguh Esha, seniman yang melahirkan novel Ali Topan Anak Jalanan dan melodinya diambil dari hits The Cats She Was Too Young karya Piet Veerman, sahabat Mogi di Eropa.
Lagu kontroversial ini direkam dalam album Aje Gile di tahun 1979. Bayangkan,   di era Orde Baru, ada sosok pemusik yang luar biasa berani melakukan   kritik terbuka terhadap pemerintah. Sesuatu yang di zamannya nyaris   musykil.
Tapi itu dilakukan Mogi Darusman, anak seorang diplomat yang   menghabiskan separuh masa remajanya di negara-negara Eropa. Ironisnya,   Mogi menempatkan diri sebagai oposisi sejati yang sangat sinis terhadap   rezim Soeharto yang tengah berkuasa.
Hebatnya,  Mogi  Darusman siap menerima risiko dari apa yang telah dilakukannya.   Albumnya dibreidel. Ia pernah meringkuk di kantor Polsek Senayan,   Jakarta. Ia pernah dicekal seusai manggung, karena memojokkan Presiden   Soeharto dan berbagai aktivitas berskala ekstrem lainnya.  Alhasil,   karena kredo bermusiknya yang senantiasa bermuara pada ranah kritik   sosial, sosok Mogi Darusman disejajarkan dengan pemusik-pemusik seperti   Harry Roesli, Gombloh, Leo Kristi, atau Iwan Fals.
Semangat antikorupsi   sudah dicanangkannya sejak awal meniti karier di negeri tercinta ini.   Sebelumnya, sejak akhir dasawarsa 60-an, Mogi memang telah menjejakkan   kaki dalam industri musik pop di Eropa. Tahun 1969, ia telah merilis single perdananya bertajuk Born In A Second Time yang dirilis di Jerman dan Belanda.  Mogi   Darusman bahkan mewakili negara Austria dalam ajang 'World Pop Song   Festival 1971' yang berlangsung di Budokan Hall Tokyo, Jepang.
Saat itu   ia sempat masuk ke tahap semifinal yang kedua pada 26 November 1971   dengan membawakan karyanya sendiri bertajuk Puppet On Life.  Di acara yang sama, Indonesia mengirimkan wakil yaitu Elly Sri Kudus dengan lagu With The Deepest Love of Djakarta  karya Mochtar Embut. Dua tahun berselang, Mogi yang dikenal dengan nama   populer Mogi D, kembali mewakili Austria pada Festival El Boccacio di   Barcelona, Spanyol dan Folk Song Festival North Ontarioa pada tahun  1975  di North Ontario, Canada.
Siapa Mogi Darusman?
Jika  menyebut nama ini, orang senantiasa berkonotasi tentang sosok  seniman  pemberontak yang selalu menghujam pendengarnya lewat sederet  lagu-lagu  beratmosfer protes. Gemerutuk lagu-lagunya gamblang, lugas  bahkan  nyaris tanpa tedeng aling-aling.
Pria  ini  dilahirkan di Bogor, 13 September 1947, dari pasangan Boesono  Darusman  dan Mariati Mahdi Marzuki. Mogi bersaudara sepupu dengan  politikus,  Marzuki Darusman dan Candra Darusman, pemusik yang lebih  banyak  berkutat di ranah jazz.
Karena  mengikuti ayah tercinta yang berkarier  sebagai diplomat, menjadikan  kehidupan masa kecil hingga remajanya  justeru berpindah-pindah dari satu  negara ke negara lainnya. Ketika di  bangku SD kelas 1, Mogi telah  menetap di India. Seterusnya ia dan  keluarganya hengkang ke Amerika hingga Eropa.
Yang lama adalah ketika Mogi bermukim di negara asal Wolfgang Amadeus Mozart, Austria.  Karier   musiknya justeru berkembang pesat di negara ini. Mogi selama lima  tahun  mengenyam pendidikan musik formal di sebuah konservatorium musik  di  jurusan Penata Musik dan Instrumen Gitar. Selain menguasai permainan   gitar, ia juga terampil bermain piano hingga harmonika. Mogi pun   memainkan musik rock, jazz, hingga blues.
Pulang kampung
Di  tahun 1978, Mogi yang telah menikah dengan wanita Jerman bernama   Gizela, pulang kampung ke Jakarta. Kegiatannya di dunia seni pun mulai   difokuskan di Indonesia. Mogi memang seniman komplet. Tak hanya   menguasai musik, ia pun menekuni seni teater, koreografi tari, dan seni   ballet.  Makanya tak heran belum setahun bermukim di Jakarta, Mogi pun ditawari bermain dalam film layar lebar  Perawan Desa (1978), Di Ujung Malam (1979), dan Dokter Karmila (1981).
Entah kenapa dalam film-filmnya itu, Mogi senantiasa kebagian peran antagonis. Misalnya, dalam Perawan Desa,   ia memerankan sosok anak muda berandal yang memperkosa wanita penjual   jamu. Film ini memang diinspirasikan dari peristiwa nyata tragedi Sum   Kuning, tentang pemerkosaan wanita penjual jamu di Yogyakarta.  Sejak mengeluarkan album Pusing  di tahun 1992, Mogi memang nyaris tak pernah merilis album lagi.
Tiba-tiba ia seperti raib ditelan bumi. Namun, antara tahun 1998 hingga   2003, ia sesekali muncul dalam komunitas penggemar musik blues di   Jakarta. Di komunitas ini, Mogi sesekali melakukan jam session memainkan blues melalui gerayangan jemarinya di atas tuts piano atau meniup harmonika.  Republika,
Senin, 09 April 2007.
Mogi Darusman kini telah tiada. Ia meninggal dunia dalam usia 60 tahun, pada Selasa (18/9/2007) pukul 20.15 WIB, di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta Selatan. Penyanyi, pemain musik, dan pencipta lagu ini dikenal pada era 1970-1980-an. Berita duka itu disampaikan oleh Putri, sulung dari tiga putri Mogi. "Ayah meninggal karena komplikasi," kata Putri ketika ditelepon oleh KCM, Rabu (19/9.2007). "Sakitnya sudah tiga tahun. Terakhir di rumah sakit dua minggu," sambungnya.
Namun, ia tak bersedia memberi keterangan lebih lanjut mengenai komplikasi itu.   Rabu, pukul 10.00 WIB, jenazah Mogi dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta Selatan. "Yang ikut berbicara dalam acara pemakaman itu Rosihan Anwar," kata Putri lagi, yang mempunyai dua adik, Nuga dan Yuka.
’Classic Rock’ dan Protes Politik - oleh Riza Sihbudi
Kau tau rayap-rayap makin banyak di mana-mana   Di balik baju resmi merongrong tiang negara   Kau tau babi-babi makin gemuk di negeri kita   Mereka dengan tenang memakan kota dan desa   Rayap-rayap yang ganas merayap   Berjas dasi dalam kantor makan minum darah rakyat (Mogi Darusman, Rayap-Rayap, 1978). 
Nama   Mogi Darusman barangkali tak dikenal oleh generasi sekarang, yang  tentu  lebih mengenal Iwan Fals sebagai ”pengusung” lagu-lagu rock  bertema  protes sosial-politik pada dekade 1970. Tapi apa yang ditulis  Mogi,  khususnya yang terdapat dalam album Aje Gile (1978) sebagaimana  dikutip  di atas, tergolong sangat keras, straightforward, dan berani  untuk masa  itu—masa ketika cengkeraman rezim Soeharto masih sangat  kuat. Yang  menarik, apa yang diteriakkan Mogi 25 tahun silam—juga  lagu-lagu  Koruptor dan Aje Gile—masih sangat relevan menggambarkan  Indonesia masa  kini.
Di Indonesia, Mogi jelas bukan yang  memelopori  munculnya tema-tema protes sosial-politik dalam lirik rock  era  1970—aliran musik yang sering disebut wartawan Kompas Budiarto  Shambazy  sebagai lagu-lagu rock yang ”abadi” (klasik). Sebelum Mogi,  ada Remy  Sylado, Harry Roesli, Leo Kristi, dan Gombloh & Lemon  Trees. Seperti  Mogi, Remy dan Harry lantang dalam mengecam ”budaya  korupsi” di era  Soeharto. Perhatikan lirik-lirik Remy dalam album  Orexas (Organisasi Sex  Bebas), Folk Rock, Nyanyian Khalayak, dan  Bromocorah, atau Philosophy  Gang dan Ken Arok milik Harry pada  pertengahan 1970-an.
Dalam  Bromocorah, Remy  mempertanyakan apa bedanya bromocorah (garong) dan  koruptor, jika  sama-sama mendapatkan harta secara haram. Bromocorah  dihukum, sementara  koruptor justru dibiarkan berkeliaran. Inilah  realitas Indonesia yang  oleh Remy digambarkan sebagai ”Negeri Elok yang  banyak Cukongnya”.
Sedangkan dalam lagu Peacock Dog (album Philosophy  Gang, 1973), Harry  menggambarkan Indonesia sebagai negara berwajah  ganda: antara ”merak  yang indah” dan ”anjing yang menyebalkan”. Kritik  Harry terhadap rezim  Soeharto sangat telak dalam Ken Arok (1977). Soal  merajalelanya korupsi  dan penyalahgunaan kekuasaan juga diangkat oleh  Barong’s Band (Eros  Djarot dkk.) dan Keenan Nasution (Di Batas  Angan-Angan, 1977).
Korupsi  bukan satu-satunya problematika  politik yang diangkat para musikus  dasawarsa 1970 (lihat Denny Sakrie,  Napak Tilas Anak Muda 1970-an,  Kompas, 29 April 2002). Masalah Timor  Timur pun tak luput dari  perhatian mereka.
Perhatikan lirik Leo Kristi  dalam album Nyanyian  Tanah Merdeka, Nyanyian Malam, dan Nyanyian Cinta.  Leo memang tidak  seperti Mogi, Remy, atau Harry, yang cenderung  blak-blakan dalam  mengkritik penguasa. Ia, misalnya, lebih menyoroti  penderitaan korban  perang Timor Timur: ”… Tubuh-tubuh terbujur kaku/Di  antara altar dan  bangku-bangku/Rumput sabana jadi merah/Ternak-ternak  pun musnah/Saudara  telah tiada/Entah di mana mereka…”.
Protes  dan kritik  sosial-politik merupakan bagian integral dalam classic rock.  Ini tentu  tak lepas dari setting sosial-politik waktu itu yang  didominasi aroma  Perang Dingin antara Timur dan Barat, seperti Perang  Vietnam serta  mewabahnya apa yang dikenal sebagai flower generation. The  Beatles  sebagai pelopor aliran musik ini, misalnya, sejak 1967—yang  dianggap  sebagai tonggak lahirnya classic rock—sangat keras dalam  menyuarakan  protes dan kritik terhadap kondisi sosial-politik, baik  domestik maupun  internasional. Kendati dalam Taxman (1966), Beatles  sudah mulai  melancarkan kritik terhadap para petugas pajak Inggris,  sikap  anti-kemapanan mereka semakin ”menjadi-jadi” dalam Sgt. Pepper’s  Lonely  Hearts Club Band (1967) hingga Let It Be (1970).
Ketika   Amerika Serikat dan para sekutu Baratnya gencar menempatkan komunisme   Uni Soviet dan RRC sebagai ”musuh umat manusia”, John Lennon dan   kawan-kawan justru dengan sinis ”mengajak kembali ke Uni Soviet” karena   di Moskwa banyak gadis menawan (Back in the USSR). Beatles juga   memanggil ketua Partai Komunis Cina waktu itu dengan sebutan Chairman   Mao, dan karenanya ”we all want to change the world” (Revolution 1,   1968). Setelah Beatles bubar (1970), Lennon yang pindah ke Amerika tetap   lantang meneriakkan slogan anti-kemapanan.
Tidak mengherankan jika  pada  1971 FBI pernah berniat mengusir Lennon dari Amerika, karena   dikhawatirkan dapat menghalangi terpilihnya kembali Presiden Richard   Nixon.  Pada era 1970, selain Beatles, di tingkat dunia  tentu  banyak nama lain seperti Bob Dylan, Pink Floyd, Joan Baez,  Genesis, dan  Sex Pistols, yang juga mengusung tema protes  sosial-politik dalam musik  mereka, terutama dalam memprotes perang di  Vietnam.
Tapi, seperti  dikatakan Shambazy, jika tak ada Beatles, yang  disebut classic rock pun  tak akan pernah ada. Beatles tak cuma  memelopori munculnya kritik  politik dalam musik rock, melainkan juga  menjadi panutan dalam hal sikap  dan gaya hidup flower generation  (rambut gondrong, celana jins ketat,  sepatu hak tinggi, rok mini, seks  bebas, ganja) yang cenderung menentang  segala bentuk kemapanan.  Jika  saat ini classic rock makin  digandrungi bahkan oleh generasi yang  lebih muda, bisa jadi—selain  faktor nostalgia—karena pengaruh situasi  politik, baik domestik maupun  internasional, yang makin tak menentu,  sementara aspirasi mereka ”tak  terwakili” oleh musik masa kini. Classic  rock, seperti namanya, memang  akan tetap ”abadi” sebagaimana jenis  musik klasik lainnya.
Namun, apakah  kritik-kritiknya mampu mempengaruhi  terjadinya perubahan  sosial-politik, tampaknya belum tentu. Bahkan  Beatles saja tak mampu  mempe-ngaruhi terjadinya perubahan  sosial-politik. Apalagi di negara  yang dikuasai para elite politik yang  sudah kebal dan bebal terhadap  berbagai macam kritik.
Tempo Edisi. 30/XXXII/22 - 28 September 2003  

















0 komentar
Posting Komentar