Popular Posts

irfblogBacklink






Rating for erosisland.blogspot.com

My Ping in TotalPing.com

desain 1

Lawan rasa takut dan jalin silaturahmi dengan sesama rekan alumni.

desain 2

Lawan rasa takut dan jalin silaturahmi dengan sesama rekan alumni.

desain 3

Lawan rasa takut dan jalin silaturahmi dengan sesama rekan alumni.

desain 4

Lawan rasa takut dan jalin silaturahmi dengan sesama rekan alumni.

desain 5

Lawan rasa takut dan jalin silaturahmi dengan sesama rekan alumni.

Rabu, 30 Juni 2010

The Best Pictures From Reuters

Reuters merupakan sebuah kantor berita yang bermarkas di
London, Inggris. Perusahaan ini didirikan tahun 1851. Saingan utamanya adalah Bloomberg L.P. dan Dow Jones Newswires.

Kini menjadi sponsor utama di tim Williams F1. Reuters merupakan sebuah koperasi yang dimiliki oleh perusahaan surat kabar yang menyumbangnya dari stasiun-stasiun penyiar di Britania Raya, yang keduanya menyumbangka berita dan menggunakan material yang ditulis oleh para stafnya.

Tanpa banyak ba-bi-bu, langsung cek hasil karya wartawannya:

Selasa, 29 Juni 2010

Membaca Catatan Porno Acep Zamzam Noor

KETIKA mendengar berita diturunkannya Pink Swing Park karya instalasi Agus Suwage dan Davy Linggar dari arena CP Bienalle 2005 di Museum Bank Indonesia saya merasa kaget sekaligus tak habis pikir. Kaget, karena mengeliminasi sebuah karya pada saat pameran berlangsung adalah peristiwa yang langka dalam dunia senirupa kita, apalagi pameran ini bertarap internasional. Tak habis pikir, karena diturunkannya karya yang dianggap porno tersebut hanya berdasar atas desakan sekolompok orang yang mengatasnamakan agama. Sejumlah pertanyaan kemudian muncul di kepala saya: kenapa aparat keamanan mau melaksanakan desakan sekelompok orang yang sebetulnya belum tentu sebagai pihak yang benar? Kenapa penanggungjawab CP Bienalle 2005 setuju menurunkan karya tersebut dan bukannya menutup pameran secara keseluruhan, sebagai protes atas kesewenang-wenangan? Kenapa karya Agus Suwage dan Davy Linggar yang dijadikan test case atau pemanasan menjelang ditetapkannya Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) padahal unsur pornografi pada karya instalasi tersebut masih bisa diperdebatkan, dan kenapa bukan tabloid-tabloid seperti Lipstik, Bibir Plus, Buah Bibir, Metropolis misalnya, yang jelas-jelas membuat kita – paling tidak saya sendiri – merasa terangsang? Saya khawatir peristiwa semacam ini akan terus berlanjut dan melebar ke mana-mana, ke arah dan wilayah yang mungkin tidak pernah kita bayangkan sebelumnya.

Kalau mau jujur masyarakat kita adalah masyarakat yang sejak awal sudah porno, masyarakat yang dalam kesehariannya tidak terlepas dari sesuatu yang berbau porno, masyarakat yang mempunyai kebudayaan dan nenek-moyang yang menganggap pornografi sebagai bagian dari kehidupan. Tidak perlu jauh-jauh menengok ke Bali atau Irian yang memang mempunyai tradisi di mana memperlihatkan bagian tubuh tertentu adalah sesuatu yang lumrah, tak perlu mengunjungi candi-candi di Jawa yang relief-reliefnya banyak menggambarkan adegan persetubuhan, tak perlu pergi ke museum-museum untuk melihat patung-patung karya leluhur kita yang dengan terang-terangan menonjolkan alat kelamin. Kita juga tak perlu repot-repot membongkar khasanah sastra lama di berbagai daerah yang banyak mengungkapkan dunia spiritual dengan simbol-simbol yang erotis.

Kalau mau jujur sampai sekarang pun masyarakat di sekitar kita masih porno, masih sering mengucapkan kata-kata seperti "cecer" atau "itil" jika mengungkapkan kekesalan, padahal baik cecer maupun itil adalah nama alat kelamin dalam bahasa Sunda. Masyarakat kita juga masih terbiasa memanggil anak-anak kesayangan dengan "thole" atau "nduk", yang artinya dalam bahasa Jawa kurang lebih sama. Belum lagi bagi pengidap penyakit latah, kata-kata seperti "heunceut", "kontol", atau "kanjut" akan berhamburan dengan ringan. Begitu juga "jancuk", "pukimak" atau "tempek" yang sudah menjadi umpatan kita sehari-hari, padahal artinya porno juga.

Di tatar Sunda ada makanan tradisional yang namanya Ewe Jero, Ewe Deet, Kontol Tidagor dan Cara Bikang, ada rujak buah lobi-lobi yang dinamai Ngaloco, juga ada buah duren yang karena saking enaknya dinamai Kadu Itil Menak. Di sekitar Ciamis dan Tasikmalaya ada kampung yang namanya Tepung Kanjut, Kontol Bangkong, Legok Hangseur, Ciewe, Parawan, Peureus dan Bobos, di Kuningan ada Baok dan Tembong Podol, di Garut ada Sarkanjut, di Kabupaten Bandung ada Bojong Kenyot, yang semuanya sangat berkaitan dengan nama alat kelamin dan persetubuhan. Nama-nama tersebut ada juga yang sudah diganti, misalnya desa Baok yang berarti jembut diganti menjadi Mekarsari.

Di dunia pesantren mengungkapkan hal-hal yang berbau porno bukanlah sesuatu yang luar biasa. Dalam kitab-kitab fikih elementer ada bab yang membahas masalah persetubuhan dalam kaitannya dengan mandi junub. Begitu juga di kitab-kitab yang memang secara khusus mengupas adab-adab suami-istri, pembahasan tentang persetubuhan bisa sangat detail. Biasanya para santri yang sudah mengantuk kembali antusias karena kiai menyampaikannya dengan diselingi humor-humor segar yang juga berbau porno. Selain itu, tak sedikit juga para mubalig kita yang suka menyelipkan humor yang berbau porno dalam dakwah-dakwahnya sebagai selingan. D. Zawawi Imron, penyair yang juga mubalig dari Sumenep bahkan mempunyai anekdot-anekdot berbau porno khas Madura yang jumlahnya ratusan. Begitu juga Ahmad Syubanuddin Alwy, penyair jebolan pesantren ini banyak mengoleksi humor-humor porno khas Cirebon yang sering dibawakan dengan jenaka di berbagai forum.

Beberapa tahun lalu saya diajak K.H. A. Mustofa Bisri untuk berpameran di Masjid Raya Surabaya. Perhelatan yang juga menampilkan para penyair dan pemusik terkenal ini menjadi heboh karena salah satu lukisan Gus Mus, panggilan akrab K.H. A. Mustofa Bisri, menggambarkan Inul Daratista sedang ngebor di tengah para kiai. Panitia mendapat surat ancaman akan diserbu jika tidak segera menutup pameran yang dianggap menghina agama itu. Panitia juga diteror terus-terusan lewat telepon. Baik panitia maupun Gus Mus nampaknya tenang-tenang saja, malah mengundang para pengancamnya untuk dialog. Namun para pengancam yang di antaranya mengatasnamakan organisasi itu, tidak merespon ajakan dialog tersebut dan pameran pun terus berlangsung.

Para kiai maupun santri-santri dari kalangan pesantren, khususnya pesantren yang “kultural”, nampaknya bisa lebih santai dan terbuka menghadapi sesuatu yang dianggap porno. Mungkin karena masalah pornografi sifatnya ikhtilaf hingga meributkannya pun hanya buang-buang waktu dan energi saja. Pada tahun 2000 yang lalu misalnya, Gus Mus menerbitkan kumpulan puisi cinta yang sebagian besar kandungannya mengungkapkan imaji-imaji yang erotis. Kumpulan puisi yang berjudul Gandrung ini mungkin bisa dikategorikan porno oleh Pansus RUU APP karena di dalamnya terdapat kata-kata yang menyebut bagian-bagian tubuh tertentu. Tapi anehnya dari kalangan pesantren sendiri tak ada reaksi apapun, bahkan dalam waktu singkat buku mungil ini terjual habis sehingga sulit dicari di toko-toko buku. Saya sendiri kebetulan mendapatkan langsung dari penyairnya. Di sini saya ingin mengutip salah satu puisi yang paling saya sukai dalam kumpulan ini, judulnya Al’isyq:

Bintang-bintang ceria. Kereta senja.
Tanganku yang manja.
Bangku tua. Betismu yang belia.
Warung siang. Majalah-majalah usang.
Lututmu yang merangsang.
Dingklik antik. Jemarimu yang menggelitik
Malam senyap. Kamar pengap.
Nafasku yang megap-megap.
Purnama di genting kaca. Pahamu yang menyala.
Mentari berseri. Gang-gang berkelok.
Pinggulmu yang elok.
Becak berlari. Kelelakianku yang menari.
Bus-bus nakal. Tiang-tiang terminal.
Nafasku yang banal.
Jalan panjang. Lehermu jenjang.
Gardu telepon. Hujan rintik.
Rambutmu yang cantik.
Pasar asing. Dadaku yang bising.
Rumah kuna. Dipan sederhana.
Mataku yang terpesona.
Bantal tanpa warna. Tidurmu yang lena.
Baju hitam. Kutang kusam. Celana dalam.
Matamu yang terpejam.
Ketiak apak. Mulut mendongak. Puting papak.
Bulu-bulu rampak.
Setanku yang merangkak.
Langit fajar. Mushalla terlantar. Tikar terhampar.
Sujudku yang hambar.
Semua saksi
Tak mencatat kencan-kencan kita
Juga tanda-tanda sayang
Yang kutebar di sekujur dirimu
Sirna entah kemana.
Sementara hingga kini
Bau lipatan-lipatan tubuhmu
Masih mengganggu perjalanan
Ibadahku.
Apakah cinta kita tak utuh
Mengapa kita tak juga bersetubuh?


Bagi mereka yang jiwa dan pikirannya belum “tercerahkan” mungkin akan pingsan membaca puisi di atas karena idiom-idiomnya banyak mengeksplorasi bagian-bagian tubuh perempuan. Di mata mereka puisi semacam ini pasti mengagetkan, lebih-lebih karena ditulis oleh seorang kiai khos, pengasuh pesantren terkenal dan pimpinan organisasi keagamaan terbesar. Sebenarnya puisi-puisi erotis semacam ini – tentu dengan bentuk yang berbeda – banyak sekali ditulis oleh penyair atau pengarang lain dari kalangan pesantren. Idiom-idiom seperti "payudara yang meledak", "hutan bakau di selangkanganmu", "hutan lindung di bawah pusarmu", "sejengkal dari pusarmu", "ubur-ubur di susumu", "terengah mendaki bukit-bukit di dadamu" dan seterusnya bukanlah sesuatu yang luar biasa. Belakangan saya juga banyak menerima kiriman puisi dari para santri yang idiom-idiomnya bisa saja dituduh sebagai pornografi.

Jika RUU APP jadi ditetapkan oleh DPR, maka puisi karya Mustofa Bisri di atas pasti kena berangus dan penyairnya akan diadili karena melanggar pasal 4 yang melarang mengeksploitasi bagian-bagian tubuh tertentu. Begitu juga dengan karya-karya Rendra, Subagio Sastrowardoyo, Goenawan Mohamad, Sutardji Calzoum Bachri, Linus Suryadi A.G. atau Ayu Utami yang di dalamnya terdapat kata-kata seperti pantat, kelentit, kontol, jembut, zakar, kelamin, susu, vagina, penis dan lain-lain. Padahal karya-karya mereka telah mendapat pengakuan dan penghargaan internasional.

Lantas bagaimana dengan kiai-kiai yang dalam pengajiannya suka menerangkan soal persetubuhan dengan sangat detail? Bagaimana dengan mubalig-mubalig yang dalam dakwahnya sering menyelipkan humor-humor porno sebagai selingan agar mustami tidak jenuh? Bagaimana dengan perempuan-perempuan di desa yang pergi ke sumur atau sungai hanya mengenakan handuk yang menutupi dada sehingga bagian terbesar dari tubuhnya masih tetap terbuka? Bagaimana dengan ibu-ibu muda yang mengeluarkan payudara untuk menyusui bayinya di tempat-tempat umum? Bagaimana dengan abang-abang becak yang membuka kaosnya karena kegerahan hingga dadanya yang berbulu kelihatan? Bagaimana dengan supir-supir truk yang biasa kencing di pinggir jalan sambil berdiri? Bagaimana dengan para binaragawan yang hanya memakai cawat di depan khalayak? Bagaimana pula dengan para pegulat, para petinju, para perenang dan seterusnya? Kalau berpedoman pada RUU APP yang absurd itu tentu semuanya masuk dalam katagori pornografi, padahal yang mereka lakukan sangat jauh dari niatan seperti itu.

Persoalan pornografi adalah persoalan kebudayaan. Dalam sejarah kebudayaan kita kisah-kisah atau adegan-adegan erotis bukanlah sesuatu yang dianggap porno. Bahkan karya-karya sastra lama atau candi-candi yang dianggap sakral penuh dengan muatan erotisme, yang tentu saja waktu itu bersifat spiritual. Berkembangnya kebudayaan seiring dengan masuknya agama atau kepercayaan baru memang telah mengubah pandangan bahwa yang tadinya bagian dari kehidupan, bahkan yang berkaitan langsung dengan dunia spiritual kemudian dianggap porno atau negatif. Perubahan ini tidak serta merta dan prosesnya masih terus berlangsung sampai sekarang. Jejak-jejak dari pornografi yang sakral tadi masih tetap hidup di tengah masyarakat dengan kadar yang berbeda-beda. Dalam berbagai ekspresi kesenian tradisional misalnya, jejak-jejak itu masih sangat terasa. Namun di luar semua itu, persoalan pornografi adalah juga persoalan kejujuran.

***

Kembali kepada kasus Pink Swing Park karya Agus Suwage dan Davy Linggar. Saya kebetulan tidak menyaksikan karya instalasi yang menghebohkan itu secara langsung, namun dari tayangan televisi, foto-foto di media serta rekaman video dari senimannya saya melihat gugatan yang dilancarkan sekelompok orang yang mengatasnamakan agama sepertinya salah alamat. Dalam penglihatan saya tidak ada sesuatu yang kontroversial dari karya Agus Suwage dan Davy Linggar ini. Sebuah becak yang digantung jelas tidak akan membangkitkan syahwat siapapun, sedang rangkaian foto Anjasmara dan Isabel Yahya yang tak sepenuhnya telanjang itu rasanya bukanlah sesuatu yang bisa mengguncangkan keimanan seseorang. Bahkan foto-foto kedua model tadi justru mengingatkan saya pada sebuah peristiwa keagamaan: turunnya Adam dan Hawa ke dunia. Selain itu pose-posenya juga mengingatkan saya pada lukisan-lukisan Kahlil Gibran yang menjadi ilustrasi kumpulan puisi sufistiknya yang terkenal, Sang Nabi. Pendeknya, saya malah melihat paling tidak masih ada nilai-nilai spiritual pada karya instalasi hasil kolaborasi tersebut.

Lalu kenapa Pink Swing Park yang menjadi korban? Saya pikir bukan sekedar salah tafsir dari mereka yang menggugat, namun juga banyak terkait dengan persoalan lain. Kini sebagian masyarakat kita sedang belajar menikmati kebebasan dalam banyak hal, namun proses belajar ini sering kali menimbulkan kerancuan, keruwetan dan malah kekacauan. Semangat yang menggebu dalam membela sesuatu yang diyakini membuat mereka harus melupakan banyak hal, termasuk soal melanggar kepentingan pihak lain. Bahkan untuk tetap berada di garis depan “perjuangan”, nampaknya mereka akan terus mencari sasaran, terus mencari lawan, terus mencari persoalan dan terus mencari “trik” bagaimana agar tetap diperhatikan. Dan kebetulan CP Bienalle 2005 berlangsung ketika RUU APP mulai diwacanakan, maka jadilah karya instalasi yang tidak “berdosa” ini sasaran empuk mereka.

Saya kurang sependapat kalau kasus Pink Swim Park ini disejajarkan dengan dibredelnya Majalah Tempo, diberangusnya novel-novel Paramudya Ananta Toer, dilarangnya Rendra tampil di Taman Ismail Marzuki atau dijebloskannya Koes Bersaudara ke penjara. Kasus ini lebih dekat dengan kejadian yang menimpa Dewa 19 atau Inul Daratista, sebab nampaknya bukan Agus Suwage atau Davy Linggar sebagai seniman yang menjadi sasaran utama (karena relatif kurang mereka kenal), tapi justru Anjasmara dan Isabel Yahya yang kebetulan menjadi model dalam karya instalasi ini. Hitungannya, dengan membidik kedua artis ternama ini otomatis akan menjadi berita besar. Dan terbukti, kasus ini banyak ditayangkan televisi dan diliput berbagai media.

Meskipun begitu, saya tetap memandang kasus yang menimpa Pink Swing Park adalah persoalan yang serius. Kenapa? Karena kejadian seperti ini menunjukkan betapa rancu, ruwet dan kacaunya kehidupan sosial kita. Kebebasan berekspresi, kebebasan berpendapat serta kebebasan menggugat pihak lain menjadi tidak jelas ukurannya. Ternyata bukan hanya kalangan seniman yang membutuhkan kebebasan berekspresi, kelompok masyarakat lain pun, termasuk yang suka mengatasnamakan agama, juga menuntut hal yang sama. Dalam kondisi demikian siapapun bisa menjadi pelaku atau korban dari situasi yang mungkin masih akan terus bergulir ini.

Di lain pihak, peristiwa ini juga seperti mengingatkan kita bahwa dunia kesenian, khususnya seni rupa, ternyata masih berada di sebuah wilayah yang elit, eksklusif dan sangat jauh dari jangkauan apalagi pemahaman masyarakat. Kurator maupun kritikus senirupa nampaknya belum bisa menjembatani kesenjangan ini. Maka wajar kalau masyarakat kebanyakan tidak tahu mahluk seperti apa kesenian dan seniman itu. Apalagi kesenian dan seniman kontemporer.

Dan kalau saja mereka tahu bahwa seniman adalah manusia yang terus bekerja meskipun tanpa digaji oleh negara, kalau saja mereka tahu bahwa untuk menciptakan sebuah karya seniman harus berjuang sampai berdarah-darah, kalau saja mereka tahu bahwa untuk mengatasi kehidupannya sehari-hari banyak seniman yang gali lobang tutup lobang. Kalau saja mereka tahu bahwa seniman juga sangat tidak suka pada pejabat yang korupsi, sangat membenci wakil-wakil rakyat yang kerjanya hanya kolusi dan sangat muak pada orang-orang partai yang semakin tidak tahu diri. Kalau saja mereka tahu bahwa seniman dengan caranya sendiri juga menolak keras kenaikan harga BBM dan TDL, mendukung penuh ditutupnya Freeport dan sangat tidak setuju dengan dilegonya Blok Cepu.

Kalau saja mereka tahu bahwa para pejabat kita banyak yang porno, para penegak hukum kita banyak yang porno, aparat keamanan kita banyak yang porno, anggota KPU kita banyak yang porno dan para politisi kita hampir semuanya porno. Kalau saja mereka tahu bahwa porno bukan hanya berurusan dengan tubuh namun juga dengan mental, pikiran dan perilaku seseorang. Kalau saja mereka tahu bahwa korupsi itu sangat porno, jual beli perkara itu sangat porno, membohongi dan mengkhianati rakyat juga sangat porno. Dan kalau saja mereka tahu bahwa menyerang pihak lain dengan mengatasnamakan agama, berbuat sewenang-wenang dan merasa paling benar sendiri termasuk bagian dari pornografi juga, mungkin ceritanya akan lain. Mungkin persoalannya akan lain. [ir]

Catatan:

Tulisan ini pernah disampaikan pada diskusi "Seni Yang Terhukum Karena Tafsir" di Galeri Soemardja ITB, Bandung, 2006. Perluasannya disampaikan pada saresehan nasional "Pancasila Rumah Kita" di Hotel Nikko, Jakarta, 2006.

(Acep Zamzam Noor, 29 Juni 2010 jam 20:50)

Spirit Of Java

oleh Irwan Firdaus

Welcome to Solo :

Berbagai makanan khas dan wuenak yang ada di Solo rasanya pantas untuk menjadikan kota ini sebagi kota tujuan wisata Kuliner terbaik. Berikut merupakan sebagian dari kekayaan koleksi kuliner yang ada di Solo dan amat sangat layak untuk dicoba pastinya. Solo memang surganya bagi wisata kuliner Anda.


Nasi Liwet:
Nasi Liwet mungkin adalah makanan khas Kota Solo yang paling terkenal, bahkan nasi liwet sudah masuk menjadi menu di hotel-hotel berbintang di kota-kota besar di Indonesia.
 
Di Solo sendiri Nasi Liwet sudah sangat membumi, hingga setiap saat dan hampir dimanapun, anda akan dapat menemukan Nasi Liwet dengan mudah. Mulai dari Nasi Liwet yang paling terkenal di Solo, Nasi Liwet Wongso Lemu yang berlokasi di Keprabon (Jalan Teuku Umar) dan Nasi Liwet Yu Sani yang berlokasi di kawasan Solo Baru yang berjualan di malam hari hingga para mbakyu yang berjualan di pagi hari dengan berkeliling diperumahan.
 
Pada dasarnya Nasi liwet adalah beras yang dimasak dengan santan dan kaldu ayam sehingga hasil akhirnya membuat nasi terasa gurih, beraroma dan lezat. Kemudian, nasi tersebut dicampur dengan sayuran jipang (labu siam) yang dimasak pedas, telur pindang rebus, daging ayam yang disuwir, kumut (terbuat dari kuah santan yang dikentalkan). Sering juga ditambah dengan usus ayam, hati/ampela yang direbus, bacem tahu tempe atau rambak kulit sapi sebagai pelengkap. Penyajiannya pun tidak menggunakan piring, tetapi dengan daun pisang yang dipincuk.
Timlo :
Timlo merupakan salah satu makanan khas di Kota Solo. Berbeda dengan makanan sejenis yang dimiliki daerah lain, Timlo Solo tidak mempergunakan soun dan jamur merang.

Untuk menikmati rasa Timlo yang khas Solo, anda harus datang ke Timlo Sastro di daerah Balong Pasar Gede atau di cabangnya di Pasar m’Beling dan Timlo Solo di Jl. Urip Sumoharjo. Tempat ini benar-benar jagonya timlo. Timlo Solo adalah hidangan berkuah bening yang berisi ’sosis’ daging ayam yang dipotong-potong, potongan telur pindang, hati dan ampela ayam.
 
Timlo Sastro mempunyai cara menghitung pesanan yang unik, pesanan tidak dicatat di atas kertas, melainkan ditulis di atas papan tulis kecil (Sabak) dan baru kemudian harganya dijumlah. Semangkuk Timlo komplit dapat dinikmati hanya dengan mengeluarkan uang Rp 9.000 ,-
 
Semangkuk Timlo panas, dimakan bersama nasi putih yang ditaburi bawang goreng dan ditemani segelas es jeruk pasti akan membuat anda ingin kembali berulang kali.
 
Sate Buntel :
Sate Buntel adalah sate kambing khas Kota Solo yang lain dari pada yang lain. Sate Buntel adalah sate yang terbuat dari daging kambing yang dicincang, diberi bumbu bawang dan merica dan kemudian di-buntel (dibungkus) dengan lemak kambing.


Sate kambing saja sudah enak, apalagi kalau daging kambingnya dicincang dan dibungkus dengan lemak sebelum dibakar hingga matang di atas bara dan dimakan bersama saus kecap, irisan cabe rawit yang diuleg kasar, bawang merah, irisan kol dan tomat. Lebih nikmat lagi dinikmati bersama acar ketimun.
 
Salah satu warung makan penyedia Sate Buntel yang paling terkenal di Solo adalah warung Sate Kambing Tambak Segaran, Jalan Sutan Syahrir No 39 (Widuran) yang telah berjualan sejak tahun 1948. Kesuksesan warung sate ini mendorong munculnya banyak warung sate buntel lainnya.

Tengkleng :
Tengkleng merupakan salah satu makanan “wajib” bagi pemburu kuliner kota Solo. Gule kambing mungkin merupakan contoh yang paling dekat untuk menggambarkan cita-rasa Tengkleng bagi mereka yang belum pernah menikmatinya. Yang membedakan tentu saja adalah rasa dan kuahnya. Kuah Gule menggunakan santan kelapa, sementara Tengkleng tidak memakai santan. Jadi lumayan, sumber kolesterolnya berkurang satu!
 

Selain itu isi Tengkleng adalah tulang-belulang kambing dengan sedikit daging yang menempel. Sebagai lauk pelengkap, diberi sate daging, sate usus, sate jeroan, otak dan bagian organ kambing lainnya yang ikut digulai bersama tulang-tulang, seperti mata, pipi, kuping, dan kandungan (klepon).

Tahu Kupat :
Ketika pertama kali mencoba makanan khas Solo yang satu ini, anda mungkin akan teringat dengan Tahu Gimbal, makanan khas Semarang. Ya, kedua makanan ini memang mirip.
 

Satu porsi makanan khas ini terdiri dari ketupat, mi basah, taoge, tahu goreng, bakwan gimbal yang dipotong-potong dan kacang goreng yang disiram dengan bumbu kecap manis encer dengan rasa bawang yang cukup terasa. Disamping campuran standard di atas, anda dapat juga menambahkan isi tahu kupat anda dengan telur dadar.

Wedang Ronde :
Wedang ronde dibuat dari campuran kolang kaling , “ronde” , kacang yang di-sangrai dan kuah jahe. Sangat pas dinikmati pada malam hari atau cuaca dingin.


Brambangan Asem :
Brambang Asem terdiri dari rebusan daun ketela pohon yang dicampur tempe gembus (terbuat dari ampas tahu). Yang membuat spesial bagi lidah adalah rasa pedas yang unik dan luarrrr biasa . Bumbu / sambalnya merupakan gabungan dari bawang / berambang , asem Jawa , cabe rawit , gula Jawa dan sedikit garam.


Minggu, 20 Juni 2010

Sexy Dancer From Rio (18+)

Mau tahu kan gimana caranya bikini Rio Dancer itu bisa terus nempel dan tidak lepas, apalagi melorot? Bagi yang berlangganan fashion TV pasti sudah tidak asing lagi, tapi bagi yang belom tahu...(?). Saya kasih tahu deh foto-fotonya di bawah ini: 





Jumat, 18 Juni 2010

Cawangan Bandar Perdana Singapore

This is a kopi tiam in Kuala Lumpur ~ Cawangan Bandar Perdana. The price of kopi, beer, teh, milo, nasi goreng, nasi lemak, nasi ulam, mie goreng, seafood tanghun, beef kway-teow double of what we are paying at other kopi-tiam. The catch : a bevy of really sexy, young and pretty women serve the beverages food. 

They also talk play cards, and watch football channel in sporttv with you. Surprise, the kopi tiam owned by a group of women (who know how to milk the situation) and only employ sexy girls (Remember Hooters?) This one in Kuala Lumpur is WAY BETTER!. The girls said, the salary is comparable with working in the office...Wow! 

Senin, 14 Juni 2010

Sufiah Yusuf Hot Model from Malaysia

irfblog. Diberdayakan oleh Blogger.