Popular Posts

irfblogBacklink






Rating for erosisland.blogspot.com

My Ping in TotalPing.com

desain 1

Lawan rasa takut dan jalin silaturahmi dengan sesama rekan alumni.

desain 2

Lawan rasa takut dan jalin silaturahmi dengan sesama rekan alumni.

desain 3

Lawan rasa takut dan jalin silaturahmi dengan sesama rekan alumni.

desain 4

Lawan rasa takut dan jalin silaturahmi dengan sesama rekan alumni.

desain 5

Lawan rasa takut dan jalin silaturahmi dengan sesama rekan alumni.

Tampilkan postingan dengan label history. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label history. Tampilkan semua postingan

Senin, 26 Agustus 2013

Snouck Hurgronje: Bapak Orientalis Imperialis yang Hafal al-Quran


Nama lengkapnya adalah Christiaan Snouck Hurgronje; seorang orientalis Belanda terkenal dan ahli politik imperialis. Lahir pada 8 Februari 1857 di Oosterhout dan meninggal pada 26 Juni 1936 di Leiden. Ia merupakan anak keempat pendeta J.J. Snouck Hurgronje dan Anna Maria, putri pendeta Christiaan de Visser. Perkawinan kedua orang tuanya didahului oleh skandal hubungan gelap sehingga mereka dipecat dari gereja Hervormd di Tholen (Zeeland) pada 3 Mei 1849.

Seperti ayah, kakek, dan kakek buyutnya yang betah menjadi pendeta Protestan, Snouck sempat bercita-cita ingin menjadi seorang pendeta. Oleh karena itu, pada 1874 ia memasuki Fakultas Teologi di Universitas Leiden. Setelah lulus sarjana muda pada 1878, Snouck melanjutkan ke Fakultas Sastra Jurusan Sastra Arab di Universitas
yang sama. Ia berhasil meraih gelar doktor dalam bidang Sastra Semit pada 1880 dengan disertasi berjudul Het Mekkansche Feest (Perayaan Mekah). Beberapa orientalis terkenal menjadi guru dan sahabat Snouck serta sangat mempengaruhi pandangannya tentang Islam dan politik imperialis. Mereka antara lain adalah Abraham Kuenen, C.P. Tieles, L.W.E. Rauwenhoff, M.J. de Goeje, Ignaz Goldziher, Theodor Nöldeke, dan R.P.A. Dozi.

Untuk memperdalam pengetahuan tentang Islam dan bahasa Arab, pada 1884 Snouck pergi ke Mekah.
Di hadapan para ulama, ia menyatakan masuk Islam dan memakai nama Abdul Ghaffar. Ia mengadakan
hubungan langsung dengan para pelajar dan ulama yang berasal dari Hindia Belanda. Pengetahuannya tentang Islam memang cukup luas. Ia sangat menguasai bahasa Arab, bahkan juga hafal Al-Qur’an.
Kelak ketika bertugas di Hindia Belanda, banyak pribumi muslim memberinya gelar Syaikhul Islam Tanah Jawi karena terkagum dengan ilmunya dan menyangkanya benar-benar sebagai muslim. Padahal, menurut P. Sj. Van Koningsveld, keislaman Snouck Hurgronje hanyalah tipu muslihat. 

Karena sering menghadapi perlawanan jihad dari umat Islam, pemerintah kolonial Hindia Belanda pada 1889
mendatangkan Snouck Hurgronje ke Indonesia. Mereka mengangkatnya sebagai penasihat untuk urusan-urusan Arab dan pribumi. Tugasnya adalah melakukan penyelidikan mengenai hakikat agama Islam di Indonesia dan memberikan nasihat kepada pemerintah mengenai urusan-urusan agama Islam.

Deislamisasi dan Imperialisme

Sesuai dengan tugasnya, Snouck merumuskan kebijakan pemerintah Hindia Belanda dalam menangani masalah Islam. Ia membedakan Islam dalam arti “ibadah” dengan Islam sebagai “kekuatan sosial politik”.

Ia membagi masalah Islam atas tiga kategori.
  • Pertama, dalam semua masalah ritual keagamaan atau aspek ibadah, rakyat Indonesia harus dibiarkan bebas menjalankannya. Snouck menyatakan bahwa pemerintah Belanda yang ”kafir” masih dapat memerintah Indonesia sejauh mereka dapat memberikan perlakuan yang adil dan sama-rasa sama-rata, bebas dari ancaman dan despotisme.
  • Kedua, sehubungan dengan lembaga-lembaga sosial Islam atau aspek muamalat, seperti perkawinan, warisan, wakaf, dan hubungan-hubungan sosial lain, pemerintah harus berupaya mempertahankan dan menghormati keberadaannya.
  • Ketiga, dalam masalah-masalah politik, Snouck menasihati pemerintah untuk tidak menoleransi kegiatan apa pun yang dilakukan kaum Muslim yang dapat menyebarkan seruan-seruan Pan-Islamisme atau menyebabkan perlawanan politik atau bersenjata menentang pemerintah kolonial Belanda. Dalam hal ini, Snouck menekankan pentingnya politik asosiasi kaum Muslim dengan peradaban Barat. Cita-cita seperti ini mengandung maksud untuk mengikat jajahan itu lebih erat kepada penjajah dengan menyediakan bagi penduduk jajahan itu manfaat-manfaat yang terkandung dalam kebudayaan pihak penjajah dengan menghormati sepenuhnya kebudayaan asal (penduduk).

Agar asosiasi ini berjalan dengan baik dan tujuannya tercapai, pendidikan model Barat harus dibuat terbuka bagi rakyat pribumi. Sebab, hanya dengan penetrasi pendidikan model Baratlah pengaruh Islam di Indonesia bisa disingkirkan atau setidaknya dikurangi. Dalam bukunya, Nederland en de Islam, Snouck menyatakan,
“Opvoeding en onderwijs zijn in staat de Moslims van het Islamstelsel te emancipeeren”. Artinya, “Pendidikan dan pelajaran dapat melepaskan kaum Muslim dari genggaman Islam.” (hlm. 79)

Melalui pendidikan itu, pemikiran Snouck tentang Islam disebarkan. Seperti gurunya, Ignaz Goldziher, Snouck mengingkari turunnya wahyu kepada Rasulullah Muhammad SAW. Ia bahkan menuduh Al-Qur’an sebagai hasil saduran Muhammad dari Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. (Mohammedanism, hlm. 30-31) Snouck juga melecehkan syariat Islam. Ia menyatakan dalam Nederland en de Islam (hlm. 61) bahwa syariat Islam hanya cocok untuk peradaban abad pertengahan; bukan untuk abad modern. Oleh karena itu, poligami, mempermudah ikatan pernikahan, dan sikap tunduk wanita pada hegemoni laki-laki –misalnya– menghalangi tercapainya kemajuan keluarga yang normal.

Menurut ulama dan sejarawan Indonesia, Abdullah bin Nuh, pemikiran seperti itu sengaja disebarkan untuk
menjauhkan pribumi Indonesia yang mengenyam pendidikan Barat dari agama Islam dan syariatnya, sesuai politik imperialis dan tujuan misi Kristen di Indonesia. (Darsun min Hayâh Mustasyriq, hlm. 29). Oleh karena itu, dari sekolah-sekolah Barat yang didirikan pemerintah Hindia Belanda pada masa politik etis muncullah golongan nasionalis sekuler. Mereka sering melecehkan Islam meskipun mengaku sebagai muslim.

Dari Asosiasi Hingga Kristenisasi

Politik asosiasi yang direkomendasikan Snouck Hurgronje dalam kenyataan bertemu dengan politik Kristenisasi. Para misionaris Kristen berpendapat bahwa apabila asosiasi dapat dipenuhi, mereka dapat berusaha agar bisa lebih diterima oleh penduduk. Sebaliknya, pertukaran agama penduduk menjadi Kristen akan menguntungkan negeri Belanda. Sebab setelah masuk Kristen, mereka akan menjadi warga negara yang loyal lahir batin kepada pemerintahan Belanda. (Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, hlm. 26-27)

Snouck menggalakkan pembukaan sekolah-sekolah misi dengan harapan agar penganut Islam secara berangsur beralih ke agama Kristen. Cara demikian ditempuh karena ratusan ribu penduduk merindukan pendidikan, tetapi mereka tidak menyukai pendidikan Kristen untuk anak-anak mereka. Aktivitas mereka pun didasarkan pada politik asosiasi karena ia berpendapat bahwa penyebaran sekolah-sekolah berpola Eropa merupakan satu-satunya sarana untuk mewujudkan impian, sekali pun hal itu dilakukan melalui sekolah-sekolah misi. (Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje, Jilid X,  hlm. 165-166)

Kepada para zendeling dan misionaris, Snouck mengingatkan bahwa Kristenisasi pribumi tetap harus dalam
kerangka politik asosiasi. Snouck mengatakan, “Mereka yang percaya pada Kristenisasi umat Islam pribumi
(telah saya katakan mengapa saya tidak ikut berharap) paling tidak harus melihat dalam penyatuan bangsa
dan politik para kawula Belanda sebagai langkah pertama menuju ke sana. Oleh karena itu, mereka harus
bekerja keras untuk menunjangnya. Memang seperti halnya orang Belanda mana pun, dari sekte dan kelas
mana pun, misionaris lebih diterima oleh rekan setanah air kita di Timur, yang berperadaban kita, daripada oleh kawula pribumi yang berasal dari rezim yang lama, yang mudah-mudahan segera lenyap.”
(Nederland en de Islam, hlm. 94)

Snouck memang telah meninggal pada 1936. Namun, semangat dan pemikirannya meninggalkan pengaruh besar di Indonesia. Ia telah memperlebar akses sekulerisasi dan Kristenisasi. Hingga kini, kedua hal ini menjadi tantangan dakwah terbesar umat Islam Indonesia. Wallahu a‘lam.

Penulis: Muhammad Isa Anshori
Peneliti pada Pusat Studi Peradaban Islam (PSPI)

Minggu, 17 Februari 2013

Siapa Sangka Kalau Zaman Dulu Pria Memakai High Heels

Sepatu berhak tinggi yang kini kebanyakan dipakai oleh perempuan, ternyata pernah menjadi aksesori penting bagi laki-laki selama beberapa generasi.

Selama ini pengguna sepatu berhak tinggi terkesan cantik, provokatif dan seksi, tetapi tak sedikit yang menyebutkan sepatu jenis ini tidak praktis, dan bukan pilihan yang tepat untuk berjalan, mendaki ataupun menyetir.

Sejatinya, sepatu berhak tinggi ini memang tidak dirancang untuk berjalan kaki.

“Sepatu berhak tinggi dulu digunakan selama beberapa abad di seluruh wilayah timur sebagai bentuk alas kaki untuk berkuda,” kata Elizabeth Semmelhack dari Museum Sepatu Bata di Toronto.

Keahlian menunggang kuda sangat penting dalam gaya bertempur di Persia, atau yang kini dikenal dengan nama Iran.

“Ketika para tentara berdiri di pijakan kaki, hak tinggi membantunya untuk tetap berada dalam posisinya jadi dia dapat menembakkan anak panah dengan efektif,” kata Semmelhack.

Pada akhir abad 16, Shah Abbas yang berasal dari Persia memiliki pasukan kavaleri terbesar di dunia. Dia sangat berminat untuk menjalin hubungan dengan penguasa di Eropa Barat untuk membantunya melawan musuh besarnya, Kerajaan Ottoman.

Jadi pada 1599, Abbas mengirimkan misi diplomatik Persia pertama ke Eropa – ke negara-negara Rusia, Norwegia, Jerman dan Spanyol.

Gelombang ketertarikan kepada sesuatu yang berbau Persia pun terjadi di Eropa Barat. Model sepatu Persia pun diadopsi oleh para aristokrat salah satunya penggunaan hak tinggi.

Ketika masyarakat kelas bawah mulai menggunakan sepatu berhak tinggi, para aristokrat pun menambah ukuran hak di sepatu mereka agar tak sama.

“Salah satu cara terbaik untuk menjelaskan status adalah melalui melalui sesuatu yang tidak praktis,” kata Semmelhack, sembari menambahkan bahwa kalangan kelas atas selalu menggunakan sesuatu yang tidak penting, tidak nyaman dan pakaian mewah untuk menunjukan status mereka.

“Mereka tidak berada di lapangan untuk bekerja dan mereka tidak harus berjalan jauh.”

Kalangan kerajaan

Salah satu raja yang menggunakan sepatu berhak tinggi adalah Louis XIV dari Prancis, dengan lapisan berwarna merah. Kemudian, Charles II dari Inggris dalan potret penobatannya di tahun 1661 tampak menggunakan sepatu dengan gaya hak merah dari Prancis.
Louis XIV mengenakan sepatu berhak tinggi pada lukisan tahun 1701
Pada 1670an, Louis XIV menerbitkan maklumat yang berisi, hanya kalangan istana yang diijinkan untuk menggunakan sepatu berhak merah.

Meski pertama kali diadopsi oleh laki-laki, tetapi kemudian digunakan oleh busana perempuan yang mulai memasukan elemen pakaian pria dalam busana mereka.

“Pada tahun 1630 an anda dapat melihat perempuan memotong rambut mereka, menambahkan tanda pangkat pada pakaian mereka,” Semmelhack.

“Mereka merokok, menggunakan topi yang membuat mereka lebih maskulin. Dan ini alasan mengapa perempuan mengadopsi sepatu berhak tinggi – merupakan salah satu upaya untuk memasukan unsur maskulin ke busana mereka.”

Tetapi tren itu terjadi sampai abad 17, seiring dengan perubahan tren.

“Anda dapat melihat perubahan pada hak sepatu,” kata Helen Persson, seorang kurator di Museum Victoria dan Albert di London. “Para pria mulai menggunakan hak sepatu kotak, dan lebih rendah, sementara perempuan mengunakan hak sepatu yang ramping.”

Pada 1740 an para pria menghentikan penggunaan sepatu berhak tinggi. Setelah revolusi Prancis, hak tinggi juga menghilang dari gaya busana perempuan.

Tetapi kemudian, pada pertengahan abad ke 19, sepatu hak tinggi kembali muncul dalam sebuah foto porno di kartu pos yang menampilkan model dengan pose telanjang dengan menggunakan high heels.

Elizabeth Semmelhack yakin asosiasi terhadap pornografi itu yang membuat penggunaan high heels dianggap seksi bagi perempuan.
Model sepatu laki-laki yang baru yang digunakan para koboi pada 1960an.
(dari berbagai sumber).

Sabtu, 16 Februari 2013

Perkumpulan Kipas Hitam di Indonesia

Meski kalah perang, Jepang tak mau menyerah begitu saja. Untuk menghadapi Sekutu, dibentuklah sejumlah perkumpulan rahasia. Anggota Kipas Hitam membantu gerakan Dood alle Inlanders (bunuh semua bangsa Indonesia).

Setelah Jepang menyerah terhadap Sekutu pada 14 Agustus 1945, Departemen Propaganda (Sendenbu) di bawah pimpinan Hitoshi Shimizu berusaha melakukan perlawanan. Dia mendirikan perkumpulan rahasia Ular Hitam, berisi orang-orang Indo-Belanda bermarkas di Bogor; Chin Pan, menampung orang-orang Tionghoa; dan yang terpenting adalah Kipas Hitam.

“Kipas Hitam dibentuk untuk mempersiapkan orang-orang Indonesia melakukan perang kemerdekaan di bawah bimbingan Jepang,” tulis Joyce C. Lebra dalam Tentara Gemblengan Jepang.

Menurut Aiko Kurasawa dalam Mobilisasi dan Kontrol, Shimizu adalah seorang propagandis profesional yang memulai kariernya di China pada 1930-an. Dia kembali ke Jepang pada 1940 dan bergabung dengan Persatuan Pembantu Pemerintahan Kekaisaran (Taisei Yokusankai), organisasi massa bentukan pemerintah Jepang, yang kemudian menjadi model bagi Jawa Hokokai. Dia juga bergabung dengan Toa Remmei (Federasi Asia Timur).

Shimizu, sebagai dikutip Lebra, ingat, “Saya berafiliasi dengan Toa Remmei di masa lalu, dan saya punya gagasan untuk mengembangkannya di Indonesia sebuah gerakan spiritual populer yang mencerahkan, yang bisa disebut sebagai gerakan Asia.”

Shimizu sempat berhenti dan bekerja di Biro Penerangan Kabinet (Naikaku Johokyoku), hingga ditarik oleh Angkatan Darat ke-16 sebagai atase sipil yang bertugas militer dan bertanggungjawab atas propaganda di Indonesia. Di sinilah ide-idenya direalisasikan, dengan membentuk organisasi-organisasi massa yang akan dimobilisasi untuk memberi dukungan politik bagi kepentingan perang Jepang.
Shimizu dekat dengan orang-orang Indonesia, dari kalangan pemuda maupun tokoh nasional seperti Sukarno-Hatta. Dia memberikan rumah di Pegangsaan Timur 56 dan mobil limusin Buick –kelak menjadi mobil kepresidenan– untuk Sukarno. Menjelang proklamasi, dia membantu mencarikan kain merah putih untuk bahan Fatmawati membuat bendera.

Dia berperan dalam pembentukan organisasi massa yang menggerakkan dukungan politik bagi Jepang: Gerakan Tiga-A (Jepang Cahaya Asia, Jepang Pelindung Asia, Jepang Pemimpin Asia), Pusat Tenaga Rakyat, Jawa Hokokai (Himpunan Kebaktian Rakyat), dan Shuisintai (Barisan Pelopor).
Dia juga mendirikan Asrama Angkatan Muda di Menteng 31, yang menyediakan tempat bagi para pemuda untuk mendapatkan pendidikan politik. Pembentukan sejumlah perkumpulan rahasia menjadi salah satu upaya terakhirnya di tengah kekalahan perang Jepang.

Kipas Hitam bukanlah khas Indonesia. Menurut R-H. Barnes dalam Fransiskus/Usman Buang Duran: Catholic, Muslim, Comunist, Kipas Hitam bersama Banteng Hitam dan Naga Hitam merupakan bagian dari Perkumpulan Naga Hitam (Kokuryukai).

Perkumpulan Naga Hitam merupakan kelompok ultranasionalis paramiliter Jepang yang dibentuk pada 1901 oleh Ryohei Uchida. Perkumpulan ini menerbitkan jurnal dan menggelar sekolah pelatihan spionase, yang dikirim untuk mengumpulkan informasi dari Rusia, Manchuria, Korea, dan China. Selain itu, organisasi ini menekan para politisi Jepang agar mengadopsi kebijakan luar negeri yang kuat. Kokuryukai mendukung Pan-Asianisme.

“Para anggota Perkumpulan Naga Hitam melakukan aksi bersenjata, provokasi dan pembunuhan guna kepentingan rezim kekaisaran. Terutama saat penaklukan Manchuria (China), mereka melakukan pembunuhan dan propaganda yang aktif dan efektif,” tulis Peter Schumacher dalam Een Bende op Java.

Di Indonesia, suratkabar Persatoean mengindikasikan bahwa dana pembentukan Kipas Hitam berasal dari “fonds kemerdekaan” yang dikumpulkan Jepang selama pendudukan. Fonds ini dimaksudkan untuk kegiatan pemuda, pendidikan, dan bantuan bagi rakyat miskin. “Yang harus bertanggung jawab atas sebagian besar propaganda ini ialah Hitoshi Shimizu,” tulis Persatoean, 9 Mei 1946.

Tapi Shimizu tak bisa mengawal perkumpulan rahasianya. Dia keburu ditangkap Sekutu pada akhir 1945. Dia diinterogasi di Jakarta dan mengaku bertanggung jawab atas propaganda supaya penduduk membeci segala bangsa berkulit putih, terutama Belanda, “dan menyusun gerakan rahasia yang akan mampu bekerja atas kemauan sendiri, bila Jepang terpaksa menyerah sendiri, dia mendirikan Kipas Hitam,” tulis Soeloeh Ra’jat, 23 Agustus 1946.

Tanpa Shimizu, Kipas Hitam terus berjalan. Keberadaannya bahkan menarik perhatian banyak pemuda, dan juga Sutan Sjahrir. Dalam pamfletnya Perdjoengan Kita, Sjahrir menulis betapa perkumpulan rahasia Jepang, termasuk Kipas Hitam, mulai memberi pengaruh pada para pemuda. "

Meskipun secara lahir para pemuda membenci Jepang, namun jiwa mereka telah terpengaruh oleh propaganda Jepang, sehingga tingkah laku dan cara berpikir mereka mencontoh Jepang. Ini terlihat dari kebencian mereka terhadap bangsa-bangsa asing, terutama Sekutu dan Belanda,” tulis Sjahrir.

Alih-alih melawan Sekutu, Kipas Hitam malah membuat kekacauan di sejumlah tempat. Di Bondowoso, misalnya, ditemukan selebaran dan pamflet, mengatasnamakan Kipas Hitam dan Pedang Samurai, yang berisi ancaman kepada polisi setempat. “Pedang Samurai yang selama perang hanya membuktikan kekejaman terhadap penduduk dan Kipas Hitam yang hanya mengacau dan merusak harus lenyap dari Indonesia,” tulis Pelita Rakjat, 2 Juli 1948.

Anggota Kipas Hitam pun harus berhadapan dengan para pemuda republiken. Soeara Rakjat, 1 Oktober 1945, memberitakan pemuda republiken menangkap 20 anggota Kipas Hitam di stasiun kereta api dan menyita sejumlah senjata. Penangkapan dilakukan oleh para pemuda kereta api, Barisan Pelopor, polisi, dan lain-lain. Pemuda kereta api juga menangkap empat anggota lainnya di sebuah terowongan kereta api dan menyita uang sebesar f.50.000.

Di Surabaya, dilakukan razia, terlebih tersiar kabar anggota Kipas Hitam membantu gerakan Dood alle Inlanders (bunuh semua bangsa Indonesia). Menurut Sutomo, para pemuda dan anak kampung sering memberhentikan mobil pembesar Jepang. Setelah berhenti, mereka memaksa penumpang turun, dan menginterogasi apakah kenal gerakan Kipas Hitam atau tidak. Jika tak kenal, mereka boleh melanjutkan perjalanan tapi dengan berjalan kaki. Mobil disita. “Alasan mencari kaki tangan Kipas Hitam terus digunakan oleh rakyat dan pemuda dalam usaha menambah jumlah kendaraan untuk Republik Indonesia,” kata Sutomo dalam Pertempuran 10 November 1945: Kesaksian dan Pengalaman Seorang Aktor Sejarah.

Gerakan Kipas Hitam perlahan memudar.

Di kemudian hari, Shimizu tetap menjalin kontak dengan Indonesia. Dia membentuk Asosiasi Kebudayaan Jepang-Indonesia dan, setelah tahun 1964, berusaha menghubungkan perkumpulan kebudayaannya dengan Lembaga Persahabatan Indonesia-Jepang, yang diketuai Ratna Sari Dewi sejak Mei 1964. Dia kembali mengadakan pertemuan dengan sejumlah tokoh yang pernah dia kenal di zaman Jepang pada 1977, termasuk menemui Fatmawati.

(Teks, Foto diambil dari berbagai sumber)

Senin, 11 Februari 2013

Matahari

Matahari, Pelacur Yang Sekaligus Menjadi Mata-Mata

Penari

Seorang wanita Belanda di era PD-I menjadi penari orientalis dan spion politik untuk pemerintah Jerman dan Perancis. Gadis Belanda itu bernama Margarethe Gertruide Zelle. Dia lahir di Leeuwarden, Belanda. Ketika dia berusia 19 tahun, tepatnya tahun 1895, dia dinikahi oleh Rudolph Macleod,(39 tahun). Rudolph adalah perwira tinggi militer Belanda yang bertugas di Indonesia.

Pasangan baru nikah ini diboyong ke Indonesia, pertama kali tinggal di Semarang. Margarethe senang dengan rumah di Semarang yang nyaman. Tak berapa lama lagi, suaminya harus berpindah tugas ke Malang, di daerah Tumpang. Di situ Margarethe suka bermain ke candi Jago, candi Kidal, candi Singosari. Dia mengagumi tarian Serimpi yang ditarikan di candi-candi tersebut. Kemudian suaminya dipindah tugaskan ke Sumatra.

Margarethe tidak kerasan tinggal di Sumatra. Dia rindu dengan suasana di Jawa. Apalagi anak laki-lakinya Norman meninggal di Sumatra. Tahun 1902 pasangan ini kembali ke Belanda. Dan berakhir dengan perpisahan. Rudolph tinggal dengan anak perempuannya. Masih tahun yang sama Margarethe pergi ke Paris, dengan tujuan akan belajar balet yang kemudian timbul niat Margarethe untuk menjadi penari orientalis di sebuah klab malam. Dia mencoba menari sebisanya bergaya tarian Jawa. Apalagi dia dulu sering melihat tari Serimpi di candi Jago, Malang. Pakaianpun dia variasi sendiri. Bahkan Margarethe sebenarnya tidak tahu banyak kesenian Jawa, apalagi agama nenek moyang orang Jawa. Dia nekat saja menari dan berpakaian khas ketimuran.

Tarian dia membuat gebrakan baru. Bukan saja dia pandai menari orientalis di mata orang Paris, namun dia juga menari dengan eksotik dan telanjang. Dalam waktu singkat namanya sudah cepat melambung. Banyak kaum elit Paris dan Eropa lainnya terkesima dengan penampilannya. Ketika banyak media menyorotnya. Dia mengaku kalau lahir di kota Jaffnapatam, pantai Malabar, India. Sedang ayahnya seorang Brahmana dan ibunya seorang penari di candi. Kebohongannya membuat publik makin yakin. Apalagi setelah nama yang sebenarnya sebagai istri Rudolph Mcleod itu diganti dengan nama MATA HARI.

Nama itu kedengarannya sangat asing di telinga orang barat. Khas ketimurannya menonjol. Mata Hari memang cocok dianggap orang timur. Bukan saja rambutnya yang hitam kelam dan kulitnya yang kecoklatan. Tapi bibir dan matanya tampak bukan seperti orang barat. Tariannya sungguh liar dan mengundang decak kagum banyak penonton.

Seorang yang dibuat tergila-gila pertama kali adalah Emile Guimet. Dia pengusaha industri sabun cuci dari kota Lyon, Perancis. Sejak tahun 1885, Guimet telah mendirikan museum yang mengkoleksi barang-barang seni orientalis dan dia juga mempersilakan museumnya untuk pentas dan mengenalkan pada kalangan elit Paris. Honor yang didapat Mata Hari saat itu berupa emas seharga 1000 Franc. Pada tahun 1905 Mata Hari telah melakukan pertunjukan sebanyak 35 kali. Penonton yang terbanyak di Olympia-Theater, dia mendapat bayaran sejumlah 10.000 Francs. Di samping dia pentas di pertunjukan umum, juga melayani pentas privat. Mata Hari bercita-cita punya pacar orang kaya. Dan kini cita-citanya telah tercapai. Tak hanya orang kaya dan bangsawan yang menjadi pacarnya, tapi termasuk para perwira tinggi. Dia hidup dengan kemewahan.

Kemudian Mata Hari berganti pacar lagi, kali ini dengan seorang pengacarabernama Edouard Clunet. Dia meminta saran Clunet untuk menghubungkan dengan sebuah agen yang profesional untuk mengurus pementasannya. Clunet lalu menghubungkan dengan agen teater terkenal bernama Gabriel Astruc. Pada Januari 1906, pertama kali Mata Hari pentas di luar Perancis yaitu di Madrid. Pada Pebruari 1906 penari yang juga menyandang nama Margarethe itu pergi ke Berlin.

Dia tak butuh waktu lama untuk memperkenalkan kebolehannya ke publik. Apalagi ada dukungan dari seorang bangsawan setempat. Kemudian dia pergi lagi ke Wina, karena dia mendapatkan surat dari Astruc untuk pentas di ibu kota kekaisaran Austria-Hongaria. Publik di Wina luar biasa. Media terkecoh dengan pemberitaan asal mula Margarethe. Beberapa media menulis bervariasi, dia berasal dari Belanda, Jawa, Bali dan India. Postur tubuhnya juga diekpos, besar dan langsing. Kemolekannya seperti seekor binatang liar.

Seorang perempuan cantik yang mirip dewi aneh, berkulit gelap mirip gelapnya malam. Sebuah media mewartakan, kalau Margarethe berusia 30 tahun, tapi wajahnya seperti gadis muda. Bahkan di bulan Desember di Belanda terbit sebuah buku berjudul:"The Life of Mata Hari, the Biography of my Daughter". Buku itu ditulis oleh Adam Zelle, ayah Margarethe. Margarethe tidak yakin, kalau itu tulisan ayahnya sendiri. Dia percaya, kalau ada dua penulis mendatangi ayahnya, karena kepopulerannya.

Spion (Double Eye Spy)

Sudah berbulan-bulan telah beredar desas-desus ketegangan internasional di seluruh Eropa. Perang akan terancam meletus. Pada awal Agustus 1914 diumumkan perang telah meletus. Orang-orang di jalan marah dan beringas. Pertokoan di sepanjang jalan di Paris yang berlabel Jerman atau Austria dibakar. Tak ada lagi "Brasserie Viennoise" dan "Café Klein". Polisipun kewalahan antara memihak bangsanya atau manusia pada umumnya. Di Berlin reaksinya tak beda dengan di Paris. Bangsa Jerman dan Perancis bersitegang dan dipertanyakan, kenapa Margarethe mondar-mandir di Berlin? Hanya seorang penari, namun banyak punya kenalan luas dan orang-orang penting. Akhir bulan Juli 1914 Margarethe menjalin hubungan dengan seorang komandan polisi bernama Griebel. Margarethe sebagai gundiknya ikut melihat demonstrasi di luar istana kaisar. 

Semboyan "Deutschland über Alles" mengumandang keras. Dalam beberapa hari saja, Margarethe kena sasaran aksi anti orang asing. Suasana yang mencekam itu juga mengkhawatirkan keselamatan Margarethe. Kini dia sudah berusia 38 tahun. Dia punya akal ke Paris lewat Zürich, Switzerland. Namun pada 7 Agustus dia sudah berada di Berlin lagi. Bukan saja dia tanpa kawan di Berlin, tapi juga tanpa pakaian. Dia beruntung ada orang Belanda tua yang baik hati dan membelikan tiket kereta api untuk keluar dari Berlin menuju Belanda. Pada 14 Agustus dia meninggalkan Berlin dan berhenti di Frankfurt meminta dokumen perjalanan konsul Belanda. 

Tanggal 16 Agustus dia tiba di Amsterdam. Pada 14 Desember 1914 untuk pertama kalinya Margarethe manggung di publik Belanda. Gedung teater di Den Haag penuh sesak pengunjung. Semua orang ingin melihat penampilan Mata Hari yang sudah tersohor itu. Tak begitu lama Margarethe menemukan pasangan barunya, Baron Edouard van der Capellen. Baron Edouard tak hanya kaya, tapi juga pimpinan kavaleri. Dia berusia 52 tahun. Dalam tempo sebulan dari perjumpaannya Margarethe dibuatkan sebuah rumah mungil nan indah oleh Baron di Den Haag. Baron menganggap Margarethe bagaikan prostitusi.

Pada 13 Maret 1915 Margarethe membaca koran Belanda yang memuat fotonya dengan judul "Madame Mata Hari". Dia sedih meratapi masa jayanya yang sudah lewat, sementara di rumah pemberian Baron seperti terkekang. Pada Agustus 1915 Margarethe berulang tahun yang ke 39 tahun. Kehidupan sehari-hari Margarethe terasa sepi, karena Baron sering bertugas berbulan-bulan tak pulang. Margarethe mencoba kabur dan akan kembali ke Paris lagi. Jalan yang dia tempuh harus berkeliling dari Amsterdam menuju pelabuhan Inggris, selat Biskaya ke Vigo,Spanyol utara. kedatangan Margarethe di Paris Desember 1915 menjadi sorotan agen Prancis. Margarethe mengenakan pakaian mahal dan berlagak sombong. Apalagi dia merasa pernah menjadi bintang di Paris.

Pada suatu kesempatan Margarethe mengungkapkan:

Suatu malam bulan Mei 1916 di Den Haag aku didatangi seseorang yang bernama Karl Kramer. Kramer memberitahu tentang hubungannya dengan Perancis. Dan dia tanya aku, apakah kiranya aku bisa sedikit berbuat yang bisa membuat senang bangsa Jerman? Margarethe menirukan tawaran Kramer: "Kalau kamu bisa bantu, aku gembira dan aku sediakan bayaran sebanyak 20.000 Franc."


Mendengar tawaran uang, Margarethe terpikat. Namun dia butuh beberapahari untuk mempertimbangkan. Bagi Margarethe tidaklah teramat sulit, karena dia sudah terbiasa berbuat naif dan menjalani liku-liku dengan berbagai kalangan elit. Margarethe mengajukan usulan, seandainya dirinya bisa berbuat lebih, bisakah ditambah bayarannya? Dan Kramer menyetujui. Akhirnya dia menulis surat jawaban ke Kramer, kalau dirinya sanggup menerima tawaran. Betapa senang Kramer, dia cepat-cepat mendatangi rumah Margarethe sambil membawa uang kontan 20.000 Franc. Kramer juga membawa peralatan tulis rahasia berupa tiga botol tinta. Dua botol diantaranya berupa tinta tanpa warna.

Sedang sebuah botol berisi tinta berwarna biru kehijauan. Cairan di botol pertama berfungsi untukmelembabkan kertas. Cairan botol kedua untuk menulis berita dan cairan di botol ketiga untuk menghapus. Margarethe tampak heran dengan peralatan rahasia itu. Tapi dia mempercayai Kramer. Tak hanya di situ persiapan sebagai agen ata-mata. Namun ada sandi khusus yang harus dipakai Margarethe yaitu sandi nomor: H21. Sandi nomor itu harus ditulis sebagai tanda tangan. Dan semua beritaharus dikirim ke alamat Hotel de l`Europe di Amsterdam.

Lalu Margarethe dikirim ke Paris, untuk mengirim berita-berita yang penting.
Tapi Margarethe tak tahu apa-apa tentang tugas yang akan dilakukan. Memang antara dunia spionase dan seks sangat erat. Orang-orang yang penting posisinya dan intelek sekalipun tetap akan bertekuk lutut di atas ranjang. Di Paris petualangan cinta Margarethe dimulai lagi. Kali ini dengan seorang perwira muda Rusia bernama Vadime de Masloff. Pada suatu malam ulang tahun Margarethe yang ke 40 itu, pemuda Vadime bercinta di kamar Grand Hotel. Vadime usianya 20 tahun lebih muda dari Margarethe.

Bahkan Margarethe berujar, selama hidupnya dia hanya bercinta dengan para perwira. Suatu hari sebuah musibah menimpa pada Vadime. Sebuah granat meledak dan melukai wajah serta leher Vadime dan terkena asap gas beracun. Dia harus dirawat di rumah sakit tentara. Margarethe cemas dan bermaksud ingin mengunjungi Vadime di rumah sakit. Namun diperlukan surat khusus dari sebuah kantor kementerian perang di Boulevard St.Germain. Tak tahunya di kantor itu juga dipakai sebagai kantor agen spion Perancis. Di sebuah tangga gedung itu, secara kebetulan Margarethe berpapasan dengan kapten George Ladoux.

Hubungan antara Margarethe dan Ladoux makin dekat. Makin diketahui, kalau Ladoux sebenarnya ketua spion Perancis. Margarethe ditawari, untuk bekerjasebagai spion untuk Perancis. Ladoux menanyakan berapa gaji yang diminta? Bayangan Margarethe melambung tinggi, utamanya mencita-citakan hidup di masa depan dengan pacar terbarunya Vadime. "Satu Juta Franc", jawab Margarethe. Ladoux mempertimbangkannya, karena gaji sejumlah itu sama dengan gaji untuk 12 spion paling handal. Namun Ladoux mencurigai, kalau Margarethe sebenarnya adalah spion untuk Jerman. Mendengar permintaan gaji yang kurang ditanggapi Ladoux, maka Margarethe mencoba meyakinkan lagi. Kalau dirinya juga kenal orang penting di Jerman bernama Kramer. Telinga Ladoux hampir pecah mendengar nama Kramer. Karena memang dia orang penting Jerman. Dari sini Ladoux makin yakin, kalau Margarethe benar-benar spion Jerman. Dan Margarethe mencoba akan menjadi double agen. Ladoux tidak mau mengambil resiko lebih jauh. Dia tak menyanggupi membayar satu juta Franc.

Pada 13 Pebruari Albert Priole, komandan polisi mengetuk pintu kamar hotel, tempat Margarethe menginap. Polisi itu membawa surat perintah penahanan dantertulis: "Madame Zelle, Margarethe dengan nama Mata Hari, beragama kristen protestan, lahir di Belanda 7 Agustus 1876, tinggi 1,75, bisa baca tulis telah dinyatakan terdakwa sebagai spion yang menyebarkan berita ke musuh."

Margarethe resmi menjadi tahanan di Palais de Justice. dibawah pengawasan kapten Pierre Bouchardon. Kapten Bouchardon terus mempelajari dokumen yang dikirim dari kantor Ladoux. Margarethe dikeluarkan dari sel untuk dilakukan pemeriksaan. Kesibukan pemeriksaan makin ditingkatkan, kasus per kasus yang telah terlewati dipertanyakan langsung pada Margarethe. Hasil pemeriksaan, sangat diragukan loyalitas Margarethe sebagai spion Perancis. Dia dituduh berbohong dan jelas terbukti sebagai spion Jerman. Margarethe mengelak dan justru mengaku bekerja untuk Ladoux. Buktinya dia sudah mengirim berita penting dari Madrid. Dalam pemeriksaan Ladoux tidak ada di tempat. Margarethe meminta menghadirkan Ladoux. Pada 10 April pihak kepolisian menyerahkan bukti pemeriksaan pada zat-zat kimia yang dipakai Margarethe. Sebuah botol tinta bertuliskan: Beracun, ternyata sebuah tinta tanpa warna itu dari bahan kwalitas terbaik. Ketika temuan polisi itu diutarakan Margarethe oleh Bouchardon. Margarethe mengelak, dia mengaku memesan di Spanyol.

Pada 25 Juli 1917 sebuah sidang tertutup digelar dengan penjagaan ekstraketat. Beberapa saksi dan pejabat militer perang hadir. Oleh hakim pengadilan perang, Margarethe disodorkan delapan pertanyaan. Dan Margarethe dinyatakan terbukti bersalah sebagai spion Jerman. Untuk itu pengadilan perang Perancis menjatuhkan hukuman mati pada Margarethe. Pelaksanaan hukuman mati pada Senin, 15 Oktober 1917 di Bois de Vincennes, bagian timur kota Paris. 12 resimen artileri siap dengan senapan di sebuah pagi yang dingin dan berkabut. Sedang usia semua tentara tersebut masih muda, sekitar 20 tahun. Sehari setelah pelaksanaan eksekusi, tepatnya pada Selasa, 16 Oktober 1917, berbagai media internasional memberitakan. "The Time" memberitakan penari Mata Hari telah dihukum tembak. "Daily Express", juga melangsir berita dengan judul "Spion cantik Mata Hari dihukum mati". "New York Times" menulis, penari danpetualang Mata Hari dijatuhi hukuman mati. Dia diambil dari penjara St.Lazare dan dibawa ke Vincennes untuk dihadapkan regu tembak. "Le Figoro" mengabarkan, spion Mata Hari dihukum mati dan mayatnya dikubur di kuburan Vincennes. Dua tahun kemudian Jeanne-Louise, anak perempuan Mata Hari yang sedang menginjak usia 21 tahun meninggal dunia akibat pendarahan di otak.

Minggu, 03 Februari 2013

Penyelam Tradisional Wanita di Jepang Tanpa Mengenakan Pakaian

Di Jepang, banyak wanita telanjang berprofesi sebagai penyelam tradisional, mereka para wanita telanjang untuk mengambil kerang, rumput laut, serta ikan yang mungkin ditemukan saat mereka menyelam, tradisi nan unik dan sungguh menakjubkan.
Salah satunya adalah kedigdayaan para perempuan yang bekerja keras demi keluarga. Mereka bahkan rela mencari ikan menyelam ke laut dalam tanpa peralatan apa pun. Ternyata tradisi ini sudah bertahan sejak ribuan tahun.

Di Jepang, mereka disebut Ama (kata "ama" juga dipakai untuk penyelam laki-laki, namun yang membedakan penulisan huruf kanjinya). Para penyelam ini mencari ikan hingga kedalam 25 meter atau lebih di bawah laut tanpa tangki oksigen atau alat bantu pernapasan lainnya.

Konon ama sudah ada sejak 2000 tahun lalu. Beberapa referensi yang menyebut tentang ama misalnya koleksi puisi Man'yoshu dari abad ke 8 dan buku Sei Shonagon's dari abad ke 10. Ama juga pernah dimunculkan dalam film James Bond "You Only Live Twice" (1967).

Hingga tahun 1960-an, perempuan yang menjadi ama biasa berenang bertelanjang dada. Pelindung tubuh hanya di bagian perut ke bawah, yang disebut fundoshi. Seiring perubahan jaman, barulah mereka menggunakan pakaian yang lebih lengkap.

Ada beberapa teori yang menyebabkan para perempuan tersebut menjadi penyelam laut dalam. Kemungkinan di jaman dulu jumlah lelaki dan perempuan seimbang. Ketika kaum laki-laki memilih pergi berlayar menjadi pelaut, para wanita yang berdiam di rumah mencari ikan dengan cara menyelam. Akhirnya kebiasaan ini diteruskan dari generasi ke generasi.

Kamis, 10 Januari 2013

Catatan Sejarah Narkoba di Indonesia : Bukti Potret Masa Lalu Pengguna Narkoba, Sampai Ke 'Factori Outlet' Narkoba

Oleh Irwan Firdaus

Pabrik Candu di Batavia

Sepintas, gedung ini adalah sebuah rumah tinggal. Letaknya berada di pinggir jalan raya Kota Batavia Centrum (Weltervreden-Jakarta Pusat). Di depannya terdapat rel listrik yang menunjukkan bahwa tempat ini merupakan jalan ramai. Entah untuk merusak mental bangsa Indonesia yang mereka sebut inlanders; candu, madat, atau opium bukanlah barang terlarang pada masa penjajahan.
Sebuah pabrik opium di Weltevreden Batavia, 1936

Foto yang diabadikan pada masa kolonial ini adalah sebuah pabrik candu. Kala itu, pabrik candu terletak di Gang Kenari, dekat Universitas Indonesia (UI), Salemba, Jakarta Pusat. Ribuan butir candu dihasilkan tiap hari dan juga didistribusikan ke seluruh kepulauan nusantara. Penjajah ketika itu juga menyediakan tempat lokalisasi para pemadat. Namanya adalah Gang Madat yang terletak di sebelah kiri Jalan Gajah Mada apabila kita menuju Jakarta Kota. Lokalisasi ini ditutup pada masa pendudukan Jepang (1942).

Nama Gang Madat dan Gang Madat Besar diganti menjadi Jl Kesejahteraan dan Keselamatan. Di kamar-kamar berukuran 300 meter itulah, tiap hari para pemadat berkumpul. Dalam foto-foto Batavia tempo doeloe, tampak para pecandu sedang tiduran sambil mengisap barang haram ini. Badan mereka kurus kering. Walaupun dilegalkan, pemakainya tidak sebanyak sekarang. Kala itu, masyarakat mengikuti seruan para alim ulamanya yang mengharamkan candu.

Bisnis narkoba dewasa ini makin merajalela. Indonesia merupakan salah satu tempat bagi jaringan sindikat internasional untuk mengedarkan narkoba ke berbagai lapisan masyarakat. Semakin banyak bandar, pengedar, dan pemakai yang ditangkap, ditahan, dan ditembak mati, makin luas pula jaringan bisnisnya dan makin bervariasi cara peredarannya.

Ternyata, bisnis narkoba bukan barang baru di Indonesia. Pada masa VOC, bisnis itu telah berkembang pesat. Ini sesuai dengan ambisi VOC untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya yang menjadikan narkoba sebagai salah satu mata dagangan penting untuk pundi-pundi VOC. Pada masa gubernur jenderal Gustaaf Baron van Imhoff (1745), diberlakukan sistem perdagangan bebas candu.

Diperkirakan, dari 1619-1799, tiap tahun VOC memasok rata-rata 56 ton candu ke Pulau Jawa. Rupanya, para pedagang Cina, termasuk para kapitennya, waktu itu ketiban rezeki dari perdagangan candu. Mereka berperan sebagai perantara dalam bisnis ini. Tidak tanggung-tanggung, dalam perdagangan candu ini, para pejabat VOC menciptakan sebuah organisasi yang dinamakan Opium Society. Tidak heran, sampai tahun 1880, pajak perdagangan candu merupakan penghasilan paling besar bagi Pemerintah Hindia Belanda. Untuk menjadi penarik pajak candu, diadakan pelelangan besar besaran. Tentu saja, peminatnya besar karena keuntungannya bejibun. (Catatan : Alwi Shahab, Wartawan Republika).

Narkoba Tempo Doeloe

CANDU sudah dikenal oleh orang Jawa sejak berabad-abad lalu, setidaknya pada abad 17 ketika Pemerintah Kolonial Belanda menjadikan candu sebagai komoditas perdagangan yang penting untuk dimonopoli serta menjadi obyek pajak.

Satu dari 20 orang Jawa mengisap candu, tulis pakar candu Henri Louis Charles Te Mechelen tahun 1882, seperti yang tercantum dalam buku Opium To Java karya James R.Rush. Kebiasaan mengisap candu bukan hanya terjadi di tanah Jawa, tetapi juga di sejumlah wilayah koloni Eropa di Asia, tulis Te Mechelen yang waktu itu menjabat sebagai Inspektur Kepala Regi Opium dan Asisten Residen Juwana di wilayah Jawa Tengah masa kini.

Opium atau bunga poppy (papaver somniferum) tidak tumbuh di Jawa, melainkan didatangkan dari daerah lain, diduga dari Turki dan Persia. Dalam buku Opium To Java yang ditulis James R.Rush itu, saudagar Arab disebutkan membawa masuk candu ke wilayah ini, meskipun tidak ditemukan bukti-bukti lain yang menunjukkan sejak kapan candu mulai diperdagangkan di Jawa.

Candu merupakan komoditas penting yang pada awalnya diperebutkan bersama oleh Inggris, Denmark dan Belanda, tetapi kemudian Belanda yang memenangkan monopoli perdagangannya, sedangkan pelaksananya adalah para elit China di Jawa.
Belanda melalui Kompeni Belanda di Hindia Timur (Vereenigde Ost Indische Companie/ VOC) pada 1677 mendapatkan perjanjian dengan raja Jawa ketika itu, Amangkurat II untuk memasukkan candu ke Mataram dan memonopoli perdagangan candu di seluruh negeri. Perjanjian serupa juga disusul di Cirebon setahun kemudian. Sejak tahun 1619-1799 VOC bisa memasukkan 56.000 kg opium mentah setiap tahun ke Jawa. Dan pada 1820 tercatat ada 372 pemegang lisensi untuk menjual opium.

Penikmat candu tersebar di berbagai kalangan dan meluas di Jawa khususnya Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pada papan atas, candu dikonsumsi sebagai gaya hidup, disuguhkan sebagai tanda kehormatan bagi tetamu di rumah para bangsawan Jawa dan China, tetapi kelompok masyarakat lain juga menjadi pecandu, meskipun kebanyakan mengonsumsi candu kualitas rendah.

Mereka adalah kaum pengembara musisi, seniman teater rakyat, pedagang keliling dan tukang-tukang upahan di perkebunan yang memakai candu untuk menikmati sensasi khayali, merajut mimpi dan mengurangi pegal-pegal di badan.

Namun di Banten dan tanah Pasundan, jumlah pecandu tidak besar. Budaya, moral dan agama Islam yang kuat di kalangan masyarakat telah menjadi benteng yang memagari opium di wilayah tersebut.
Sempat ada larangan resmi memperdagangkan opium di wilayah tersebut dan Banten menutup perdagangan opium pada awal abad 19, meskipun demikian pasar gelap candu dapat ditemukan.

James R.Rush juga menuliskan terjadi penyelundupan opium di Priangan pada waktu itu dan ketika kemudian Belanda berhasil membuka perdagangan di wilayah tersebut, jumlah pemakainya jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan wilayah Surakarta, Yogyakarta Kediri, Madiun, Rembang, Kedu, Pasuruan, Probolinggo bahkan juga di eks karesidenan Besuki jauh di timur.

Seorang dokter Inggris, Thomas Syndenham pada 1680 pernah menulis, "Di antara semua obat-obatan yang disediakan bagi manusia atas perkenan Tuhan, tidak ada yang semanjur dan seuniversal opium untuk meringankan penderitaan."

Secara klinis, morfin, sampai sekarang adalah obat paling unggul untuk menghilangkan rasa sakit dan dipergunakan sebagai pengobatan resmi, meskipun penyalahgunaannya juga meluas di seluruh pelosok dunia.

Karakter analgesik opium yang dapat meredakan rasa sakit tidak diragukan menyebabkan benda itu disukai orang Jawa terutama mengingat fasilitas layanan kesehatan yang tidak memadai, lingkungan tinggal yang tidak sehat sehingga banyak penyakit merebak di antara penduduk seperti diare, malaria, tipus, campak, demam.

Dalam suatu survei di kalangan pemakai pada 1890, banyak yang mengaku pada awalnya mereka mencoba opium untuk meringankan penderitaan atas keluhan sakit kepala, disentri, asma, demam biasa hingga malaria, tuberkolosis (batuk berdarah), menghilangkan letih-lesu bahkan mengobati penyakit kelamin.
Di kalangan para seniman yang harus begadang karena pekerjaan, misalnya sinden dan dalang, penari, pemain teater, candu diyakini dapat membuat mereka kuat terjaga dan tetap bugar.

Sempat ada anggapan bahwa candu dapat meningkatkan vitalitas, gairah seksual dan eforia, sampai-sampai tertulis dalam syair Jawa Suluk Gatoloco buah karya priyaji Jawa yang menguasai tradisi dan mistik.

Tersebutlah tokoh dalam syair itu, Gatoloco, berwujud kelamin laki-laki yang membentengi diri dengan menelan opium dan merasakan kekuatan candu yang memabukkan itu menyebar ke seluruh tubuh dan membuat seluruh kekuatannya kembali.

Pemakaian candu semakin meluas, dampak negatif juga terlihat cukup termasuk dari pemakaian uang yang cukup besar untuk belanja candu, bahkan juga di kelas pekerja buruh.
Tetapi, pandangan orang Jawa terhadap candu tidaklah seragam. Pada masa itu pun sudah ada kelompok anti candu yang berjuang untuk memeranginya dan menabukan candu dengan memasukkannya pada larangan "molimo" yaitu ajaran moral yang melarang kaum laki-laki berbuat lima kegiatan yang berawalan dengan kata M, yaitu Maling (mencuri), Madon (main perempuan), Minum (alkohol), Main (berjudi) dan Madat (mengisap candu).

Penguasa Surakarta, Raja Paku Buwono IV yang memerintah pada 1788-1820 menuliskan ajaran moral yang benar dalam syair panjang Wulang Reh (ajaran berperilaku benar).

Ia menggambarkan pemadat sebagai pemalas dan orang yang bersikap masa bodoh, yang hanya gemar tidur di bale-bale untuk mengisap candu.
"Jauihi madat: madat tidak baik untukmu semua, mengisap madat itu tidak baik," tulisnya.

Pujangga Ronggowarsito menilai peringatan Paku Buwono IV tentang opium dapat dibaca sebagai komentar terhadap merosotnya nilai-nilai moral istana/kerajaan di Jawa yang membantu mempercepat perpecahan politik dan perbudakan yang dilakukan Belanda terhadap pihak kerajaan.
Peringatan bagi kalangan tinggi di kerajaan akan bahaya opium telah dinyatakan secara berkala dalam dokumen-dokumen sastra. Paku Buwono II malahan menyerukan larangan mengisap opium bagi seluruh keturunannya.

Di pihak Belanda juga tumbuh gerakan etis sejak 1880, yang dilakukan untuk meningkatkan kemakmuran warga (termasuk pribumi). Pieter Brooshooft misalnya mengeluarkan Memorie yang menyerukan pengurangan pajak pada orang pribumi, dan proyek-proyek yang dapat memajukan pertanian rakyat.
Pada 1899 C.Th Deventer membujuk pemerintah Belanda untuk membayar utang kehormatan sebagai ganti rugi atas sikap mengabaikan penduduk di wilayah jajahan, disusul dengan pernyataan resmi Ratu Wilhelmina pada 1901 yang menyatakan penyesalan atas hilangnya kesejahteraan penduduk Jawa.

Tahun-tahun etis ini ditandai dengan perluasan kesempatan pendidikan bagi penduduk,dan upaya perbaikan kesejahteraan lainnya termasuk peraturan mengenai peredaran candu.

Belanda membentuk suatu lembaga khusus yang diberi nama Regi untuk meluruskan kesalahan di masa lalu. Sejak itu semua urusan opium dipusatkan di ibukota, juga pabrik-pabrik opium yang dulu tersebar di daerah dan dikuasai para bandar yang menghasilkan produksi dengan variasi luas baik dari kualitas dan citarasa, kini dipusatkan di Batavia dalam bentuk produksi yang seragam.

Birokrasi dalam pembuatan dan peredaran mulai diterapkan juga untuk mengantisipasi penyalahgunaannya, dan banyak orang terpelajar bergabung dalam regi hingga di tingkat daerah.

Jika Opium To Java (Cornel University Press 1990, diterjemahkan Matabangsa, 2000) mengupas masa kelam legalitas peredaran candu lebih dari tiga abad yang lalu, adalah Alberthien Endah, seorang wartawan masa kini, menulis buku berjudul "Jangan Beri Aku Narkoba" (Gramedia Pustaka Utama, 2004) sebuah karya fiksi untuk mengingatkan generasi masa kini tentang ancaman narkoba.

Perdagangan opium ini memang sudah sejak dulu mendatangkan keuntungan yang amat besar. Dalam catatan yang dibuat oleh Asisten Residen Wiselius pada tahun 1882, antara Januari dan Juni 1879 uang sebanyak 700 ribu gulden telah berpindah tangan dalam transaksi-transaksi opium."

Dan konon katanya GAM (baca: Gerakan Aceh Merdeka) pun pernah membuka ekspor daun ganja ke mancanegara untuk mendapatkan persenjataan waktu itu.[]
 

Yang lebih repot lagi jika ketagihan buat ng-fly sendiri. Kalau komoditinya sebagai tujuan penelitian obat-obatan dan kesehatan -- orang bilang 'no problemo'. 

Di Negeri Belanda Narkoba ini disediakan oleh coffee-coffee shop, namun ada batas pemakaiannya dalam gram, dan kalau berlebih, siap-siap deh ditangkap oleh polisi (he..he..he..). Di Belanda untuk bikin racikan sendiri atau penanaman yang berlebihan juga nggak boleh.

Di Amerika Latin Narkoba malah ada yang dilindungi hukum karena dipakai untuk ritual keagamaan (shaman namanya) malah dilestarikan oleh Negara. Tapi tidak bisa main-main, dan seenaknya, hanya yang sudah "mahir" [baca: jago] yang diperbolehkan "memakainya" (narkoba).

Menurut data dari BNN -- Kerugian ekonomi yang ditimbulkan dari komsumsi narkoba di Indonesia sepanjang 2008 mencapai Rp.15,37 triliun, ”Berdasarkan data BBN itu, dari total kerugian ekonomi akibat penyalahgunaan narkoba, jenis shabu yang paling tinggi komsumsinya dengan kerugian Rp.5,52 triliun, kata Koordinator Satgas I BNN Bapak KBP H Thamrin Dahlan.

Dijelaskan, selain jenis narkoba shabu yang paling banyak menimbulkan kerugian ekonomi dari 33 provinsi di Indonesia, jenis ganja tercatat menimbulkan kerugian ekonomi terbesar kedua yakni Rp.2,37 triliun, menyusul putau bubuk Rp.2,31 triliun dan ekstasi Rp.1,98 triliun dari 14 jenis narkoba yang terdata pada BNN.

Sementara daerah yang tertinggi kerugian ekonominya akibat komsumsi narkoba adalah Jawa Timur dengan jumlah kerugian sebanyak Rp.3,85 triliun, kemudian Jawa Tengah Rp.1,25 triliun dan DKI Jakarta Rp.1,15 triliun.”Kerugian ekonomi yang ditimbukan dari komsumsi narkoba itu cenderung meningkat setiap tahun, sementara pendanaan pemerintah untuk uapaya peventif dan rehabilitasi yang tersedia sangat terbatas,” kata Thamrin.

Terkait dengan hal itu, ia mengharapkan peran aktif masyarakat untuk membantu upaya tersebut, baik melalui lembaga formal maupun non formal. Adapun proyeksi kerugian ekonomi akibat penyalahgunaan narkoba berdasarkan data BNN adalah 2009 akan mencapai Rp. 37 triliun, 2010 Rp. 41,24 triliun, 2011 Rp. 46 triliun, 2012 Rp. 51,29 triliun dan 2013 Rp. 57 triliun. 

Sumber Lain :
Republika Online, 08/05/09
Sumber Foto:
dipinjam dari TEMPO DOELOE 

irfblog. Diberdayakan oleh Blogger.