Popular Posts

irfblogBacklink






Rating for erosisland.blogspot.com

My Ping in TotalPing.com

Senin, 23 Agustus 2010

Enough is Enough For Malaysia!

"Selama ini mayoritas penduduk Malaysia berasal dari etnis keturunan China. Namun untuk kepentingan politik, data yang diumumkan ke dunia luar bahwa yang menjadi mayoritas penduduk di Malaysia adalah etnis Melayu".

Nah, untuk mengisi ketidak seimbangan itu, Malaysia sangat memerlukan kedatangan TKI dalam jumlah yang cukup massif. Agar suplai bantuan Indonesia itu tidak mencolok, Malaysia meminta agar menggunakan jalur wilayah Timur seperti Tarakan atau perbatasan di daerah Kalimantan. Hingga lima tahun lalu, jumlah TKI di Malaysia tercatat sekitar 1,5 juta orang. Dari jumlah itu, Malaysia mencatat separuh dari mereka merupakan pendatang haram. Tren yang terjadi belakangan ini cukup jelas. Para pendatang haram ini akan diusir oleh Malaysia, manakala Indonesia sedang sibuk mengurusi berbagai persoalan dalam negeri. Kebetulan cukup banyak soal yang diurusi oleh pemerintah RI.

Di saat-saat seperti itulah Malaysia mengangkat isu pendatang haram. Sebagai contoh ketika pemerintah Indonesia harus fokus pada persoalan pelik di dalam negeri, di saat itulah Malaysia mengeluarkan isu pendatang haram.

Minggu ini, ketika Indonesia sibuk mau menyerang Malaysia karena insiden perbatasan, Kualalumpur kemudian mengumumkan bahwa "Ratusan WNI terancam Pidana Mati di Malaysia.Peristiwa-peristiwa lainnya yang dijadikan momentum pengusiran pendatang haram asal Indonesia misalnya setelah terjadi kerusuhan rasial 1998 dan menjelang Pemilu Presiden 2004.

Padahal yang namanya tenaga kerja di Malaysia, sebetulnya tidak lagi semuanya berasal dari Indonesia. Juga ada warga yang berasal dari Srilanka, India, Birma dan lain-lain. Itu sebabnya kebijaksanaan Malaysia dalam pengusiran TKI patut dilihat sebagai bagian dari skenario untuk mengerdilkan Indonesia. Paling tidak kebijakan tersebut mencerminkan Malaysia tidak punya kepedulian dan kepekaan terhadap Indonesia sebagai satu bangsa dari rumpun yang sama.

Catatan hitam berikutnya: Patok Perbatasan! Klaim Malaysia atas kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan bisa saja membuat heboh. Tetapi itu terjadi setelah sebelumnya Malaysia melalukan uji coba. Yang menjadi lahan percobaan adalah wilayah perbatasan sepanjang bagian Utara, Kalimantan. Laporan dari Pemda setempat menyatakan patok-patok perbatasan di Kalimantan sudah bergeser jauh ke dalam wilayah Indonesia.

Dengan kata lain, Malaysia telah mencaplok lahan daratan yang cukup luas dari Indonesia. Hingga sekarang patok itu belum semuanya dikembalikan. Entah karena sadar bahwa Indonesia tidak perduli atau dianggap tidak punya kemampuan militer, maka pencaplokan dilanjutkan di tempat lain. Kali ini dipilih dua pulau di bagian Timur Kalimantan, yaknsi Sipadan dan Ligitan.

Jika benar Malaysia menganggap Indonesia sebagai saudara serumpunnya, klaim kepemilikan Sipadan dan Ligitan itu, pasti akan dilakukan dengan cara persaudaraan. Bukan dengan menggunakan kekuatan militer. Penyelesaian sengketa atas kepemilikian itu juga tidak akan sampai ke sidang Mahkamah Internasional. Namun dua opsi inilah yang dipilih Malaysia. Kualalumpur dengan halusnya menolak melanjutkan perundingan bilateral.

Artinya, Malaysia sebenarnya tidak punya niat berbicara dari hati ke hati dengan saudara serumpunnya.
Kasus lainnya Bintan! Oleh karena itu insiden perbatasan di Pulau Bintan baru-baru ini sudah sepatutnya menjadi awal kebangkitan Indonesia melawan Malaysia. Indonesia memiliki sejumlah alasan yang kuat untuk memusuhi Malaysia.

Masalah pelanggaran batas oleh Malaysia di perairan Riau Kepulauan, tidak perlu lagi dianggap hal yang bisa dirundingkan. Pemerintah dan rakyat Indonesia, seluruh kekuatan bangsa, wajib merespons sikap arogan Malaysia. Respons terukur perlu dilakukan. Yang harus dicegah adalah terjadi miskoordinasi di antara sesama petinggi Indonesia.

Menteri Kelautan dan Maritim Fadel Muhamad bicara keras tapi keesokan harinya Menlu Marty Natalegawa melakukan barter diplomasi dengan Malaysia. Sementara Presiden SBY tetap saja dengan gaya: menjaga citra alias jaim (jaga imaje).

Kalau di zaman Soekarno ada istilah Ganyang Malaysia, di era sekarang semboyan itu perlu dikobarkan kembali. Martabat bangsa Indonesia harus diangkat kembali. Menghadapi Malaysia, Indonesia memiliki alasan yang cukup banyak untuk mengatakan: cukup! Atau seperti ungkapan asing: enough is enough!

Latar Belakang Sejarah :

Konfrontasi Indonesia-Malaysia

Pada 1961, Kalimantan dibagi menjadi empat administrasi. Kalimantan, sebuah provinsi di Indonesia, terletak di selatan Kalimantan. Di utara adalah Kerajaan Brunei dan dua koloni Inggris; Sarawak dan Britania Borneo Utara, kemudian dinamakan Sabah. Sebagai bagian dari penarikannya dari koloninya di Asia Tenggara, Inggris mencoba menggabungkan koloninya di Kalimantan dengan Semenanjung Malaya untuk membentuk Malaysia. 

Rencana ini ditentang oleh Pemerintahan Indonesia; Presiden Soekarno berpendapat bahwa Malaysia hanya sebuah boneka Inggris, dan konsolidasi Malaysia hanya akan menambah kontrol Inggris di kawasan ini, sehingga mengancam kemerdekaan Indonesia. Filipina juga membuat klaim atas Sabah, dengan alasan daerah itu memiliki hubungan sejarah dengan Filipina melalui Kepulauan Sulu.

Di Brunei, Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU) memberontak pada 8 Desember 1962. Mereka mencoba menangkap 

Sultan Brunei, ladang minyak dan sandera orang Eropa. Sultan lolos dan meminta pertolongan Inggris. Dia menerima pasukan Inggris dan Gurkha dari Singapura.

Pada 16 Desember, Komando Timur Jauh Inggris (British Far Eastern Command) mengklaim bahwa seluruh pusat pemberontakan utama telah diatasi, dan pada 17 April 1963, pemimpin pemberontakan ditangkap dan pemberontakan berakhir.

Filipina dan Indonesia resminya setuju untuk menerima pembentukan Malaysia apabila mayoritas di daerah yang ribut memilihnya dalam sebuah referendum yang diorganisasi oleh PBB. Tetapi, pada 16 September, sebelum hasil dari pemilihan dilaporkan. Malaysia melihat pembentukan federasi ini sebagai masalah dalam negeri, tanpa tempat untuk turut campur orang luar, tetapi pemimpin Indonesia melihat hal ini sebagai perjanjian yang dilanggar dan sebagai bukti imperialisme Inggris.
"Sejak demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur, ketika para demonstran menyerbu gedung KBRI, merobek-robek foto Soekarno, membawa lambang negara Garuda Pancasila ke hadapan Tunku Abdul Rahman—Perdana Menteri Malaysia saat itu—dan memaksanya untuk menginjak Garuda, amarah Soekarno terhadap Malaysia pun meledak. "

Soekarno yang murka karena hal itu mengutuk tindakan Tunku yang menginjak-injak lambang negara Indonesia dan ingin melakukan balas dendam dengan melancarkan gerakan yang terkenal dengan GANYANG MALAYSIA! Soekarno menyatakan PERANG!

Pada 20 Januari 1963, Menteri Luar Negeri Indonesia Soebandrio mengumumkan bahwa Indonesia mengambil sikap bermusuhan terhadap Malaysia. Pada 12 April, sukarelawan Indonesia (sepertinya pasukan militer tidak resmi) mulai memasuki Sarawak dan Sabah untuk menyebar propaganda dan melaksanakan penyerangan dan sabotase.

Pada 27 Juli, Sukarno mengumumkan bahwa dia akan meng-"ganyang Malaysia". Pada 16 Agustus, pasukan dari Rejimen Askar Melayu DiRaja berhadapan dengan lima puluh gerilyawan Indonesia.

Meskipun Filipina tidak turut serta dalam perang, mereka memutuskan hubungan diplomatik dengan Malaysia.

Federasi Malaysia resmi dibentuk pada 16 September 1963. Brunei menolak bergabung dan Singapura keluar di kemudian hari.

Ketegangan berkembang di kedua belah pihak Selat Malaka. Dua hari kemudian para kerusuhan membakar kedutaan Britania di Jakarta. Beberapa ratus perusuh merebut kedutaan Singapura di Jakarta dan juga rumah diplomat Singapura. Di Malaysia, agen Indonesia ditangkap dan massa menyerang kedutaan Indonesia di Kuala Lumpur.

Di sepanjang perbatasan di Kalimantan, terjadi peperangan perbatasan; pasukan Indonesia dan pasukan tak resminya mencoba menduduki Sarawak dan Sabah, dengan tanpa hasil. Pada 1964 pasukan Indonesia mulai menyerang wilayah di Semenanjung Malaya. Di bulan Agustus, enam belas agen bersenjata Indonesia ditangkap di Johor. Aktivitas Angkatan 

Bersenjata Indonesia di perbatasan juga meningkat. Tentera Laut DiRaja Malaysia mengerahkan pasukannya untuk mempertahankan Malaysia. Tentera Malaysia hanya sedikit saja yang diturunkan dan harus bergantung pada pos perbatasan dan pengawasan unit komando. Misi utama mereka adalah untuk mencegah masuknya pasukan Indonesia ke Malaysia.

Sebagian besar pihak yang terlibat konflik senjata dengan Indonesia adalah Inggris dan Australia, terutama pasukan khusus mereka yaitu Special Air Service(SAS). Tercatat sekitar 2000 pasukan khusus Indonesia (Kopassus) tewas dan 200 pasukan khusus Inggris/Australia (SAS) juga tewas setelah bertempur dibelantara kalimantan (Majalah Angkasa Edisi 2006).

Pada 17 Agustus pasukan terjun payung mendarat di pantai barat daya Johor dan mencoba membentuk pasukan gerilya. Pada 2 September 1964 pasukan terjun payung didaratkan di Labis, Johor. Pada 29 Oktober, 52 tentara mendarat di Pontian di perbatasan Johor-Malaka dan ditangkap oleh pasukan Resimen Askar Melayu DiRaja dan Selandia Baru dan bakinya ditangkap oleh Pasukan Gerak Umum Kepolisian Kerajaan Malaysia di Batu 20, Muar, Johor.

Ketika PBB menerima Malaysia sebagai anggota tidak tetap. Sukarno menarik Indonesia dari PBB pada tanggal 20 Januari 1965 dan mencoba membentuk Konferensi Kekuatan Baru (Conference of New Emerging Forces, Conefo) sebagai alternatif.

Sebagai tandingan Olimpiade, Soekarno bahkan menyelenggarakan GANEFO (Games of the New Emerging Forces) yang diselenggarakan di Senayan, Jakarta pada 10-22 November 1963. Pesta olahraga ini diikuti oleh 2.250 atlet dari 48 negara di Asia, Afrika, Eropa dan Amerika Selatan, serta diliput sekitar 500 wartawan asing.

Pada Januari 1965, Australia setuju untuk mengirimkan pasukan ke Kalimantan setelah menerima banyak permintaan dari Malaysia.

Pasukan Australia menurunkan 3 Resimen Kerajaan Australia dan Resimen Australian Special Air Service. Ada sekitar empat belas ribu pasukan Inggris dan Persemakmuran di Australia pada saat itu. Secara resmi, pasukan Inggris dan Australia tidak dapat mengikuti penyerang melalu perbatasan Indonesia. Tetapi, unit seperti Special Air Service, baik Inggris maupun Australia, masuk secara rahasia (lihat Operasi Claret). Australia mengakui penerobosan ini pada 1996.

Pada pertengahan 1965, Indonesia mulai menggunakan pasukan resminya. Pada 28 Juni, mereka menyeberangi perbatasan masuk ke timur Pulau Sebatik dekat Tawau, Sabah dan berhadapan dengan Resimen Askar Melayu Di Raja dan Kepolisian North Borneo Armed Constabulary.

Forum Detik

0 komentar

irfblog. Diberdayakan oleh Blogger.