Popular Posts

irfblogBacklink






Rating for erosisland.blogspot.com

My Ping in TotalPing.com

Minggu, 06 Januari 2013

Membaca Sajak WS Rendra

Orang-Orang Miskin

Orang-orang miskin di jalan,
yang tinggal di dalam selokan,
yang kalah di dalam pergulatan,
yang diledek oleh impian,
janganlah mereka ditinggalkan.

Angin membawa bau baju mereka.
Rambut mereka melekat di bulan purnama.
Wanita-wanita bunting berbaris di cakrawala,
mengandung buah jalan raya.

Orang-orang miskin. Orang-orang berdosa.
Bayi gelap dalam batin. Rumput dan lumut jalan raya.
Tak bisa kamu abaikan.
Bila kamu remehkan mereka,
di jalan kamu akan diburu bayangan.

Tidurmu akan penuh igauan,
dan bahasa anak-anakmu sukar kamu terka.
Jangan kamu bilang negara ini kaya
karena orang-orang miskin berkembang di kota dan di desa.

Jangan kamu bilang dirimu kaya
bila tetanggamu memakan bangkai kucingnya.
Lambang negara ini mestinya trompah dan blacu.
Dan perlu diusulkan
agar Tata Negara Mataram jangan di kedepankan lagi.

Orang-orang miskin di jalan
masuk ke dalam tidur malammu.
Perempuan-perempuan bunga raya
menyuapi para putramu.

Tangan-tangan kotor dari jalanan
meraba-raba kaca jendelamu.
Mereka tak bisa kamu hindarkan.
Jumlah mereka tak bisa kau mistik jadi nol.

Mereka akan menjadi pertanyaan
yang mencegat ideologimu.
Gigi mereka yang kuning
akan meringis di muka agamamu.

Kuman-kuman sipilis dan tbc dari gang-gang gelap
akan hinggap di gorden presidenan
dan buku programma gedung kesenian.

Orang-orang miskin berbaris sepanjang sejarah,
bagai udara panas yang selalu ada,
bagai gerimis yang selalu membayang.

Orang-orang miskin mengangkat pisau-pisau mereka
tertuju ke dada kita,
atau ke dada mereka sendiri.

O, kenangkanlah :
orang-orang miskin
juga berasal dari kemah Ibrahim..

Djogja, 4 Februari 1978
Potret Pembangunan dalam Puisi

- - - - - - - - - - - - - - - - -
"Di dalam pergerakan, di dalam kehebohan-kehebohan, keributan-keributan,
sosial politik atau ekonomi, selalu para ibu, para perempuan yang menjadi korban, tetapi
jangan takut ibu..."

Jangan Takut Ibu


Matahari musti terbit.
Matahari musti tenggelam.
Melewati hari-hari yang fana
ada kangker payudara, ada encok,
dan ada uban.
Ada gubernur sarapan bangkai buruh pabrik,
Bupati mengunyah aspal,
Anak-anak sekolah dijadikan bonsai.

Jangan takut, Ibu!
Kita harus bertahan.
Karena ketakutan
akan meningkatkan penindasan.

Manusia musti lahir.
Manusia musti mati.
Di antara kelahiran dan kematian
bom atom dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki,
serdadu-serdadu Jepang memanggal kepala patriot-patriot Asia,
Ku Klux Klan membakar gereja-gereja orang hitam Amerika,
Teroris Amerika meledakkan bom di Oklahoma
memanggang orangtua, ibu-ibu, dan bayi-bayi,
Di Miami turis Eropa dirampok dan dibunuh,
Serdadu Inggris membantai pemuda Irlandia,
Orang Irlandia meledakkan bom di London yang tidak aman.

Jangan takut, Ibu!
Jangan mau digertak.
Jangan mau diancam.
Karena ketakutan
meningkatkan penjajahan.

Sungai waktu
menghanyutkan keluh-kesah yang meranggas.
Keringat bumi menyangga peradaban insan
Menjadi uranium dan mercury.

Tetapi jangan takut, ibu!
Bulan bagai alis mata terbit di ulu hati.
Rasi Bima Sakti berzikir di dahi.

Aku cium tanganmu, Ibu!
Rahim dan susumu adalah persemaian harapan.
Kekuatan ajaib insan
Dari zaman ke zaman.

(Hamburg, 30 September 2003)

- - - - - - - - - - - - - - - - -

"Sekali lagi tentang perempuan, sebagai akibat dari pergulatan sosial-ekonomi.."

Perempuan yang Tergusur


Hujan lebat turun di hulu subuh
disertai angin gemuruh
yang menerbangkan mimpi
yang lalu tersangkut di ranting pohon

Aku terjaga dan termangu
menatap rak buku-buku
mendengar suara hujan menghajar dinding
rumah kayuku.

Tiba-tiba pikiran mengganti mimpi
dan lalu terbayanglah wajahmu,
wahai perempuan yang tergusur!

Tanpa pilihan
ibumu mati ketika kamu bayi
dan kamu tak pernah tahu siapa ayahmu.
Kamu diasuh nenekmu yang miskin di desa.
Umur enam belas kamu dibawa ke kota
oleh sopir taxi yang mengawinimu.
Karena suka berjudi
ia menambah penghasilan sebagai germo.

Ia paksa kamu jadi primadona pelacurnya.
Bila kamu ragu dan murung,
lalu kurang setoran kamu berikan,
ia memukul kamu babak belur.
Tapi kemudian ia mati ditembak tentara
ketika ikut demonstrasi politik
sebagai demonstran bayaran.

Sebagai janda dan pelacur
kamu tinggal di gubuk di tepi kali
dibatas kota
Gubernur dan para anggota DPRD
menggolongkanmu sebagai tikus got
yang mengganggu peradaban.
Di dalam hukum positif tempatmu tidak ada.
Jadi kamu digusur.

Didalam hujuan lebat pagi ini
apakah kamu lagi berjalan tanpa tujuan
sambil memeluk kantong plastik
yang berisi sisa hartamu?
Atau kah berteduh di bawah jembatan?

O, Impian dan usaha
bagai tata rias yang luntur oleh hujan
mengotori wajahmu.
kamu tidak merdeka.
Kamu adalah korban tenung keadaan.
Keadilan terletak diseberang highway yang berbahaya
yang tak mungkin kamu seberangi.

Aku tak tahu cara seketika untuk membelamu.
Tetapi aku memihak kepadamu.
Dengan sajak ini bolehkah aku menyusut keringat dingin
dari jidatmu?

O,cendawan peradaban!
O, teka-teki keadilan!

Waktu berjalan satu arah saja.
Tetapi ia bukan garis lurus.
Ia penuh kelokan-kelokan yang mengejutkan,
gunung dan jurang yang mengecilkan hati,
Setiap kali kamu melewati kelokan yang berbahaya
puncak penderitaan yang menyesakan hati,
atau tiba di dasar jurang yang berlimbah lelah,
selalu kamu dapati kedudukan yang tidak berubah,
ya, kedudukan-kedudukan kaum terhina.

Tapi aku kagum pada daya tahanmu,
pada caramu menikmati setiap kesempatan,
pada kemampuanmu berdamai dengan dunia,
pada kemampuanmu berdamai dengan diri sendiri,
dan caramu merawat selimut dengan hati-hati.

Ternyata di gurun pasir kehidupan yang penuh bencana
semak yang berduri bisa juga berbunga.
Menyaksikan kamu tertawa
karena melihat ada kelucuan di dalam ironi,
diam-diam aku memuja kamu di hatiku ini.

Cipayung Jaya
3 Desember 2003
Rendra

- - - - - - - - - - - - - -
"ini juga tentang penderitaan seorang ibu..."

IBU DI ATAS DEBU


perempuan tua yang termangu
teronggok di tanah berdebu
wajahnya bagai sepatu serdadu

ibu,ibu....
kenapa kamu duduk di situ,
kenapa kamu termangu
apakah yang kamu tunggu?

Jakarta menjadi lautan api
mayat menjadi arang
mayat hanyut di kali
apakah kamu tak tahu dimana
kini putramu?
perempuan tua yang termangu
sendiri
sepi
mengarungi waktu
kenapa kamu duduk disitu

ibu,ibu...
dimana rumahmu, dimana
rumahmu?
dimana rumah hukum
dimana rumah daulat rakyat
dimana ada gardu jaga tentara
yang mau melindungi rakyat
tergusur
dimana pos polisi
yang mau membela para
petani dari pemerasan para pejabat
desa

ibu,ibu...
kamu yang duduk termangu
terapung bagai tempurung
di samudra waktu
berapa lama sudah kamu duduk
disitu
berapa hari, berapa minggu, berapa bulan
berapa puluh tahun kamu
termangu di atas debu

apakah yang kamu harapkan
apakah yang kamu nantikan
apakah harapan pensiun buruh di
desa
apakah harapan tunjangan tentara yang
kehilangan satu kakinya
siapa yang mencuri laba dari
rotan di hutan
siapa yang menjarah kekayaan
lautan

ibu,ibu...
dari mana asalmu
apakah kamu dari Ambon, dari
Aceh, dari Kalimantan, dari Irian

nusantara, nusantara...
untaian zamrud yang tenggelam
di lumpur
pengantin yang koyak-koyak
dandanannya
dicemaskan tangan asing
tergolek di kebon kelapa yang
kaya raya

indonesia, indonesia...
kamu lihatlah ibu-ibu kita duduk disitu
teronggok di atas debu
tak jelas menatap apa
mata kosong tetapi mengandung
tuntutan
terbatuk batuk
suara batuk
seperti ketukan lemah di pintu
tapi mulutnya terus membisu

indonesia, indonesia...
dengarlah suara batuk itu
suara batuk ibu-ibu
terbatuk batuk
suara batuk
dari sampah sejarah yang hanyut
di kali

10 Muharram 1340 H, Perguruan Islam Salafiyah Kajen - Pati, Jawa Tengah

- - - - - - - - - - - - - - - - -

Rayu Santi – Santi

Ratap tangis menerpa pintu kalbuku
Bau anyir darah mengganggu tidur malamku

Oh tikar tafakur
Oh bau sungai Tohor yang kotor
Bagaimana aku bisa membaca keadaan ini?

Di atas atap kesepian nalar pikiran
Yang digalaukan oleh lampu-lampu kota yang bertengkar dengan malam
Aku menyerukan namamu,
Wahai! Para leluhur nusantara!

Oh Sanjaya,
Leluhur dari kebudayaan tanah
Oh Purnawarman,
Leluhur dari kebudayaan air
Kedua wangsa mu telah mampu mempersekutukan budaya tanah dan budaya air,
tanah,
air

Oh Resi Kuturan,
Oh Resi Nerarte,
Empu-empu tampan yang penuh kedamaian
Telah kamu ajarkan tatanan hidup yang aneka dan sejahtera
Yang dijaga oleh dewan hukum adat

Oh, bagaimana aku bisa mengerti bangsa bising dari bangsaku ini?

Oh, Kajau Lalido,
Bintang cemerlang tanah ugi
Negarawan yang pintar dan bijaksana
Telah kamu ajarkan aturan permainan di dalam benturan-benturan keinginan yang berbagai ragam di dalam kehidupan
Ade, Wicara, Rabang, dan Wali
Ialah adat, peradilan, Yudis-prodensi, dan pemerincian perkara
Ya, dijaman itu, di Eropa, belum ada
Kode Napoleon 2 abad lagi baru dilahirkan

Oh lihat lah wajah-wajah berdarah
Dari rahim yang diperkosa
Muncul dari puing-puing tatanan hidup yang porak-poranda
Kejahatan kasat mata tertawa tanpa pengadilan
Kekuasaan kekerasan kaki-tangan penguasa berak dan berdahak di atas bendera kebangsaan
Dan para hakim yang tak mau dikontrol korupsinya,
Berakrobat jumpalitan di atas meja hijau mereka

Oh Airlangga,
Raja tampan bagai Arjuna,
Dalam usia 17 tahun
Kau dorong rakyat di desa-desa adat untuk menyempurnakan keadilan hukum adat mereka yang berbeda-beda
Dan lalu kau perintahkan,
Agar setiap adat mempunyai 40 prajurit adat
Yang menjaga berlakunya hukum adat
Sehingga hukum adat menjadi adil, mandiri, dan terkawal
Baru kemudian sesudah itu,
Empu Baradah membantumu menciptakan hukum kerajaan
Yang mempersatukan cara-cara kerjasama antara hukum adat yang berbeda-beda
Sehingga penyair Tantular berseru, Bhineka Tunggal Ika!

Tetapi lihatlah di jaman ini,
Para elit politik
Hanya terlatih untuk jalan-jalan di pasar
Tersenyum, dan melambaikan tangan
Sok egaliter!
Tetapi egalitarianisme tidak otomatis berarti demokrasi

Dengan puisi ini aku bersaksi:
Bahwa hati nurani itu mesti dibakar
Tidak bisa menjadi abu
Hati nurani senantiasa bisa bersemi
Meski sudah ditebang putus di batang
Begitulah,
Fitrah manusia ciptaan Tuhan, yang maha Esa

0 komentar

irfblog. Diberdayakan oleh Blogger.